Sepak Bola dan Agama

NU CILACAP ONLINE – Agama yang saat ini dipahami, justru memecah belah manusia. Sedangkan sepak bola justru menyatukan manusia. Kita saksikan kemarin laga Timnas Indonesia vs Australia. Para pemain datang dari berbagai suku bangsa. Baik yang asli Indonesia atau pun yang naturalisasi.

Tidak peduli latar belakang. Mereka bersikap dan bekerja penuh profesionalisme dan nasionalisme. Atribut primordial, sikap tribal-primitif terlindas oleh semangat membela negara.

Pun para penonton, yang datang dari berbagai penjuru. Berlatar belakang beragam. Termasuk nilai-nilai primordial. Semua bersatu (union) dalam kesatuan (unity) sebagai bangsa, bukan agama atau apapun nilai-nilai primitif kesukuan lainnya. Dan semua bersatu dalam satu pandangan yang disatukan oleh sepak bola.

Agama sebagai penyatu

Agama, menjadi sebaliknya. Nabi SAW dahulu menyatukan suku-suku Arab, dengan Islam. Bahkan embrio penyatuan itu sesungguhnya terjadi ketika Muhammad belum menjadi nabi. Kejadian ini terjadi ketika Muhammad berusia sekitar 33-35 tahun.

Diriwayatkan bahwa di masa lalu, Ka’bah pernah kebanjiran. Bagi yang pernah haji atau umrah, pasti mengetahui bahwa Ka’bah itu berada di sebuah lembah, yang di sekelilingnya itu terdapat bukit-bukit, atau tanah yang lebih tinggi. Jadi bukan hal yang mustahil bahwa Ka’bah bisa terkena banjir.

Nah, ketika terkena banjir itulah, Ka’bah mengalami kerusakan. Dan suku-suku di Arab bersatu untuk melakukan renovasi.

Permasalahan terjadi justru ketika renovasi Ka’bah itu selesai. Muncul suatu perbedaan pendapat yang menjurus kepada bentrokan, tentang siapakah atau suku apakah yang paling berhak membawa hajar aswad dan meletakan pada posisinya di Ka’bah.

Ini masalah serius, karena masing-masing suku ingin tampil sebagai pembawa dan peletak hajar aswad.

Akhirnya terjadi kesepakatan di antara para suku. Mereka sepakat bahwa yang akan memindahkan hajar aswad di tempat semula, adalah orang yang paling datang pertama kali di Ka’bah esok harinya.

Muhammad pada waktu itu bukan bagian dari suku-suku yang terlibat dalam konflik dan kesepakatan itu. Bahkan dia tidak mengetahui apa yang sesungguhya terjadi. Tetapi pada esok hari yang dimaksud itu, Muhammadlah yang pertama kali datang di Ka’bah.

Salah satu kelebihan dan keutamaan orang-orang dan suku Arab kala itu adalah sikap jujur dan konsisten. Meskpun Muhammad tidak terlibat dan tidak mengetahui tentang apa yang suku-suku di Arab sepakati tentang hajar aswad, tetaplah hak itu diserahkan kepada Muhammad oleh suku-suku yang bersepakat. Muhammad kemudian diberi wewenang untuk memindahkan hajar aswad ke Ka’bah.

Sebelumnya tentu kronologi kejadian telah diberitahukan kepada Muhammad. Meskipun sudah diberi mandat, Muhammad tidak besar kepala, dan kumalungkung.

Dia kemudian menggelar sorbannya dan meketakan hajar aswad di tengah-tengah sorban. Kemudian dia meminta kepada ketua-ketua suku yang bertikai, untuk membawa hajar aswad bersama-sama dengan cara, masing-masing dari mereka memegang ujung-ujung sorban Muhammad.

Setelah dekat Ka’bah, Muhammad kembali yang meletakan hajar aswad pada tempatnya semula. Itulah kebijaksanaan dalan menyatukan perbedaan dan konflik. Dan itu pun dilakukan Muhammad dengan Islam. Alloh berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Tidaklah Aku mengutus engkau Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam ( QS. Al anbiya:107 ).

Itulah cita-cita fundamental dan luhur agama. Muhammad, Islam, hadir untuk seluruh alam, bukan untuk orang-orang Islam saja.

Baca juga Identitas Global Sepak Bola

Agama hari ini

Bandingkan dengan agama hari ini. Banyak tafsir yang secara duratif, bersifat fragmentaris. Ada sekelompok orang muslim yang merasa sebagai pemegang otoritas kebenaran agama.

Mereka menuduh sesama muslim sebagai ahlul bid’ah, kafir, musyrik, penyembah kuburan. Sementara dia sendiri mengklaim sebagai ahlussunah. Apalagi terhadap orang non-muslim.

Baca juga Sepak Bola Liga Santri Warnai Hari Santri Nasional MWCNU Kroya

Tentu bagi mereka, kelompok kafir ini harus diperangi. Negara dianggap sebagai thoghut dan darul harb. Aparatnya disebut pembantu thoghut.

Padahal sesama muslim itu hanya beda amaliah. Atau pun kadang hanya beda orientasi politik (siyasah).

Termasuk di dalamnya adalah pilihan politik tentang bentuk partai politik, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara. Quran dan Kiblatnya sama.

Tetapi perbedaan-perbedaan itu itu mereka seret ke wilayah aqidah. Suatu hal yang sangat serius secara eskatologis.

Baca juga Ghirah, Gairah, Nasionalisme Dalam Katalisator Sepak Bola

Agama yang saat ini dipahami, justru memecah belah manusia. Sedangkan sepak bola justru menyatukan manusia.

Tentu bukan agamanya yang salah. Perbedaan dalam tafsir itu pun tak salah. Faktanya memang tidak ada tafsir tunggal terhadap agama. Ini fakta religius-sosio-anthropologis.

Yang menjadi masalah adalah, adanya orang atau sekelompok orang yang merasa paling benar, dan menjadikan dirinya sebagai panitia akherat, pemegang kunci syurga, dan menguasai data, siapa saja manusia yang akan masuk NERAKA.

Itulah kelompok Khawarij, yang sekarang merusak Islam, merusak agama, menghancurkan peradaban, dan menindas kemanusiaan atas nama AGAMA. ***

Pojok Cilacap, 13 September 2024
Toufik Imtikhani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button