Maulid Nabi, dan Sajak Cinta Para Pujangga
NU CILACAP ONLINE – Sudah menjadi tradisi sejak lama, di kalangan mayoritas muslim, bahwa pada setiap Bulan Rabi’ul Awal, mereka selalu merayakan maulid, yaitu Bulan Kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Saya katakan tradisi, bukan perintah agama. Karena merupakan tradisi, maka tidak ada bentuk yang baku dan paten bagaimana orang itu merayakan maulid. Karena merupakan tradisi, maka batallah orang-orang yang menuduh bahwa maulid itu bid’ah.
Ya, sebab bicara bid’ah, itu bicara syareat. Maulid bukan syariat. Maulid adalah perayaan yang bersifat tradisi sebagai ungkapan rasa gembira atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Karena tradisi pula, maka tidak ada petunjuk baku dan bentuk khusus dalam merayakan maulid. Suka-suka orang bagaimana dan dengan cara apa orang merayakan maulid.
Cinta itu buta
Ada pepatah mengatakan, cinta itu buta. Tai kucing rasa coklat. Termasuk ungkapan bahwa paling sulit itu memberi nasihat orang yang jatuh cinta.
Demikianlah yang terjadi pada mayoritas kaum muslimin. Mereka jatuh cinta kepada Nabinya. Padahal mayoritas para pecinta itu, tidak hidup di jaman Nabi, jauh dari Nabi, tidak pernah melihat Nabi. Dipisahkan oleh dimensi ruang dan waktu yang jauh dan panjang.
Toh cinta itu terus bergelora. Cinta yang bergelora itu, membuat umatnya yakin dan percaya terhadap sabda-sabdanya. Juga kepada jaminan syafaatnya. Namanya terus diagungkan dengan berbagai cara. Kelahirannya terus diperingati dengan berbagai gaya.
Para sahabat, cinta kepada Nabi, wajar. Mereka melihat dan bertemu Nabi. Mereka bergaul dan mungkin pernah makan bersama Nabi. Mereka melihat bagusnya wajah, fisik dan akhlak Nabi.
Tapi kita ini yang jauh, kenapa bisa jatuh cinta, walau tak pernah melihat atau hidup bersama Nabi? Itulah sebenar-benar CINTA. Cinta itu tanpa syarat. Cinta itu taken for garanted.
Baca juga Maulid Nabi SAW Keluarga Besar Warga Padang di Cilacap
Maulid, tradisi para pecinta
Katakanlah dengan bunga. Sebuah diksi yang populer untuk ungkapan cinta seorang laki-laki kepada gadisnya. Makna ” bunga” adalah makna “tradisi” yang simbolik, bukan agama tentunya.
Karena ia makna yang bersifat tradisional, maka bisa saja orang memberi interpretasi terhadap makna bunga secara berbeda, tergantung konteks ruang, jaman dan kepentingan. Bunga, dalam arti denotatif, adalah bunga yang sesungguhnya. Bunga dalam arti konotatif, bisa bunga bank. Dalam arti gramatikal, bahkan bisa bermakna lain. Misal, bunga desa.
Baca juga Harlah NU, Merenungkan Seruan KH Muhammad Hasyim Asyari
Demikian juga Maulid Nabi, sebagai tradisi. Walau mungkin ada contoh dari Nabi dan Sahabat, tetapi tidak spesifik bermakna maulid seperti yang dilakukan sekarang. Nabi, misal pernah ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau menjawab karena hari Senin adalah hari kelahiranku.
Demikian juga kisah Abu Lahab, yang memerdekakan Tsuwaibah, budaknya, sebagai ungkapan rasa gembira atas kelahiran keponakannya, Muhammad SAW. Sehingga konon, setiap hari Senin, siksa Abu Lahab diperingan oleh Alloh SWT. Seperti kita tahu, bahwa Abu Lahab adalah paman sekaligus musuh Nabi SAW.
Kaum muslimin kemudian meneruskan tradisi maulid Nabi sampai detik ini. Caranya beragam, gayanya sesuai suka-suka yang merayakan. Di Keraton Yogya dan Solo, ada gerebeg maulid. Ada juga yang menggerakan majelis sholawat, dengan genre yang berbeda-beda. Habib Sekh, Habib Bidin, Hadad Alwi, sampai Gus Ali Gondrong.
Pada sisi lain,dalam kelompok-kelompok yang berbeda, ada yang mengadakan pengajian-pengajian akbar, lomba-lomba permainan dan yang berunsur ibadah. Semua dilakukan untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Nabi, walau dengan cara yang berbeda-beda.
Upaya meregresi rasa cinta Nabi berupa maulid dan yang lain sebagainya, oleh suatu kompok puritan, skripturalis-tekstual, tidak berpengaruh kepada cinta itu. Upaya menghilangkan cinta itu dengan pandang kecemburuan yang buta.
Bahwa maulid itu bukan ajaran agama. Namun usaha mereka memisahkan cinta sia-sia belaka. Rasa cinta tetap menyala. Bahkan cara-cara mengungkapkan cinta itu semakin beragam. Syai-syair cinta terus tercipta dengan ungkapan yang indah dan penuh makna.
Lagu dan nyanyian serta musik cinta terus berkumandang. Ungkapan cinta nampak dari para penari yang terus bergoyang. Para pecinta itu terus mabuk kepayang. Diri Baginda Nabi terus terbayang malam dan siang.
Cilacap, 17 September 2024
Toufik Imtikhani.