Risalah Aswaja KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Bagian-2)
NU Cilacap Online – Risalah Aswaja KH Muhammad Hasyim Asy’ari bagian-2 ini memuat pasal penjelasan tentang Bagaimana Masyarakat Jawa Berpegang Teguh pada Madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah, tentang Kapan Lahirnya Bid’ah dan penyebarannya di Tanah Jawa; tentang Macam-macam Perilaku Ahli Bid’ah yang terjadi di zaman ini, zaman di mana Risalah ini ditulis.
KH Muhammad Hasyim Asy’ari misalnya menulis demikian; di tahun 1330 H, muncul beberapa golongan yang bermacam-macam, dan mulai timbul berbagai pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran, dan pertikaian dikalangan para pemimpin.
Risalah Aswaja KH Muhammad Hasyim Asy’ari Bagian-2 ini merupakan sambungan dari Risalah Aswaja KH Muhammad Hasyim Asy’ari Bagian-1 yang sudah diposting NU Cilacap Online NUCOM sebelumnya. Silakan baca selengkapnya, semoga bermanfaat.
PASALMENJELASKAN TENTANG : BAGAIMANA MASYARAKAT JAWA BERPEGANG TEGUH PADA MADZHAB AHLI AL SUNNAH WA AL JAMA’AH TENTANG KAPAN LAHIRNYA BID’AH DAN PENYEBARANNYA DI TANAH JAWA TENTANG MACAM-MACAM PERILAKU AHLI BID’AH YANG TERJADI DI ZAMAN INI
Masyarakat Muslim di pulau Jawa tempo dulu memiliki pandangan dan madzhab yang sama, memiliki satu referensi dan kecenderungan yang sama. Semua masyarakat Jawa ketika itu menganut dan mengidolakan satu madzhab yakni Imam Muhammad bin Idris Al- Syafi’i dan di dalam masalah teologi atau aqidahnya mengikuti madzhab Imam Abu Hasan al ‘Asy’ari dan di bidang Tasawuf mengikuti madzhab Imam al – Ghazali dan Imam Abi al Hasan al Syadili, Rodiallahu Anhum Ajma’in.
Pada perkembangan selanjutnya di tahun 1330 H, muncul beberapa golongan yang bermacam-macam, dan mulai timbul berbagai pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran, dan pertikaian dikalangan para pemimpin.
Di antara mereka ada yang beraviliasi pada kelompok Salafiyyin, golongan Tradisional yang tetap eksis berpegang teguh pada doktrin ajaran yang diinginkan Salafuna al – Sholih, bermadzhab kepada satu madzhab tertentu, berpegang kepada kitab-kitab mu’tabarah yang beredar, mencintai ahlul bait, para wali dan orang-orang yang sholih, mengharap berkah mereka baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, melakukan ritus ibadah berupa ziarah kubur, mentalqin mayit, shadaqah untuk mayit dan menyakini adanya syafaat atau pertolongan, kemanfaatan doa, mengerjakan tawassul dan lain-lain.
Baca Artikel Terkait
- Muqoddimah Qonun Asasi Hadrotusyekh Hasyim Asy’ari
- NU, Aswaja dan Kebangsaan | Komitmen, Hubungan Dan Kaitan
- Paham Keagamaan Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)
Sebagian dari masyarakat kita terdapat kelompok yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo, yang menyepakati pendapat yang menyatakan bid’ahnya beberapa hal diatas sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab al – Nadji dan Ahmad bin Taimiyah dan dua muridnya yakni Ibnu al-Qoyyim dan Ibnu Abdi al-Hadi, kelompok kedua ini secara tegas mengharamkan apa yang telah menjadi kesepakatan kaum muslimin sebagai bentuk ibadah sunnah, yakni pergi untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Firqoh ini secara terus menerus melakukan penentangan keras terhadap kaum muslimin atas rutinitas yang mereka jalankan.
Imam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Fatawinya: Ketika seseorang itu bepergian untuk ziarah, dan ia menyakini bahwasanya menziarahi makam Rasulillah Saw itu adalah merupakan perbuatan taat, maka hal itu diharamkan menurut Ijma atau konsensus para Ulama’. Konsekwensi dari pengharaman ini diharapkan menjadi sesuatu yang mampu memutuskan aktifitas tersebut.
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al–Mut’i di dalam kitab risalahnya yang berjudul Thahiru al-Fuad min Danasi al tiqod mengatakan: Kehadiran firqoh atau sekte-sekte pemecah belah ini memberikan cobaan tersendiri pada mayoritas kaum muslimin baik mereka yang salaf, kelompok tradisionalis maupun generasi khalaf, atau kelompok modernis, sehingga kaum muslimin ketika itu semacam tertimpa musibah keretakan dan perpecahan dikalangan mereka. Ibarat anggota tubuh terkena penyakit yang menular, kemudian ia harus memotongnya agar tidak menjalar atau menular pada anggota tubuh yang lain. Firqoh ini seolah-olah seperti penyakit lepra yang harus kita hindari sejauh mungkin.
Sungguh sekte ini merupakan segolongan kaum Muslim yang mempermainkan agama mereka sendiri, mereka mencaci maki para Ulama Salaf dan Khalaf, kelompok agama yang mempermainkan agama ini berkata : “Mereka semua para Ulama adalah bukanlah orang-orang yang ma’sum, tersucikan, terhindar dari kesalahan dan dosa, maka tidaklah selayaknya untuk taqlid kepadanya, sama saja apakah mereka saat ini masih hidup ataukah sudah wafat”. Selalu saja mereka mencaci maki para Ulama dan mengobarkan shubhat, mereka sebarluaskan kesamaran tersebut dihadapan dhu’afa, dan mereka berupaya untuk membutakan pandangan orang-orang yang lemah agamanya tersebut atas diri mereka. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk mengobarkan permusuhan dan saling membenci, mereka berusaha mencari simpati dan popularitas sehingga dengan leluasa mereka dapat berbuat kerusakan di muka bumi.
Mereka berkata: Kebohongan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT, padahal mereka semua mengetahui, bahwa apa yang mereka katakan adalah untuk mengelabuhi masyarakat awam, agar orang orang awam ini menyangka bahwa merekalah orang orang yang mengemban tugas Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, merekalah orang-orang yang senantiasa memotivasi dan meyakinkan kepada manusia untuk tetap mengikuti syara dan menjauhi bid’ah.
Baca Artikel Terkait
- Sejarah Organisasi NU (Nahdlatul Ulama)
- Sepuluh Prinsip Dasar Islam Nusantara
- Tujuan Dan Usaha Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)
Berkaitan dengan ini Allah-lah Dzat yang menjadi saksi bahwa sesungguhnya sekte inilah yang pada hakikatnya merupakan komplotan orang-orang yang menempuh jalan bid’ah dan menuruti hawa nafsu.
Al-Qodli ‘Iyad di dalam kitab Al Syifa berkata: Kerusakan yang terbesar akibat ulah firqah ini adalah terjadinya distorsi pemahaman agama, dan kerusakan itupun merambah ke dalam persoalan-persoalan dunia sebagai akibat dari provokasi mereka terhadap kaum muslimin untuk bersengketa di dalam masalah agama yang kemudian merambat ke dalam urusan-urusan dunia.
Imam Al-‘Allamah Mullauddin Aly al Qariy mengisyaratkan problematika ini di dalam kitab syarahnya:
وقد حرم الله تعالى الخمر والميسير لهذه العلة قال الله تعالى: انما يريد الشيطان ان يوقع بينكم العداوة والضاء فى الخمر والميسير
Sungguh Allah Ta’ala mengharamkan khomer dan perjudian karena alasan ini, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: Sesungguhnya Syaitan bermaksud untuk mendatangkan sikap permusuhan dan saling membenci di antara kalian semua melalui khomer dan perjudian.
Termasuk dalam katagori gerakan baru yang muncul di pulau Jawa adalah sekte Syi’ah Rafidloh, yakni golongan yang mencela sahabat Abu Bakar al-Shiddiq dan Sayyidina Umar Bin Khattab RA, golongan ini juga membenci para sabahat RA, dan berlebih-lebihan dalam mencintai dan fanatik terhadap Sayyidina Ali RA dan Ahli bait. Sayyid Muhammad di dalam syarah Al – Qomus al – Munith berkata: sebagian dari mereka telah beridentitas sebagai kafir Zindiq, mudah-mudahan Allah menjaga kita dan kaum Muslimin semuanya.
Al – Qodli ‘Iyad di dalam kitab Al-Syifa juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mughoffah RA ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Takutlah kalian semua kepada Allah SWT, takutlah kalian semua kepada Allah SWT dan berhati-hatilah kalian semua dalam menyikapi para sahabatku, mudah-mudahan Allah memberikan penjagaan kepada para sahabatku, janganlah kalian semua bermaksud buruk dan menganiaya mereka setelah kematianku. Barang siapa mencintai mereka maka dengan sepenuh hati aku mencintainya, Barang siapa membenci mereka maka dengan segala kebencianku pula aku membencinya. Barang siapa membenci dan menyakiti mereka berarti ia menyakitiku, barang siapa menyakitiku maka berarti menyakiti Allah, dan barang siapa menyakiti Allah maka bersiaplah untuk menerima adzhab Allah”.
Dan Rasulullah Saw bersabda:
لاتسبوا اصحابي فانه يجئ قوم فى أخر الزمان يسبون اصحابي فلاتصلوا عليهم ولاتصلوا معهم ولاتناكحوهم ولاتجالسوهم فان رضوا فلاتعودوهم
Janganlah kalian semua mencaci maki para sahabatku, karena sesungguhnya akan datang di akhir zaman nanti, sekelompok kaum yang mencela sahabatsahabat ku, maka janganlah kalian semua menshalati janazah mereka, janganlah kalian semua shalat bersama mereka, janganlah kalian semua menjalin pernikahan dengan mereka. Jangan pula kalian berdiskusi bersama mereka, jika mereka sakit, maka jangan jenguk mereka.
Dan dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda:
من سب اصحابى فاضربوه
“Barang siapa mencela sahabat-sahabatku maka bunuhlah dia“.
Pernyataan keras Nabi ini menjelaskan kepada kita bahwa siapa saja yang menyakiti para sahabatnya maka berarti ia menyakiti Nabi, dan menyakiti Nabi Saw adalah haram. Rasulullah Saw bersabda:
لاتؤذون فى اصحابى ومن اذاهم فقد اذانى, وقال لاتؤذونى فى العائشة, وقال فى فاطمة رضي الله عنها بضعة منى يؤذينى مااذاها
Janganlah kalian semua menyakitiku melalui para sahabatku, barang siapa menyakiti sahabat-sahabatku berarti ia menyakitiku, dan Nabi juga bersabda, jangalah kalian menyakitiku dengan cara menyakiti Aisyah dan Nabi bersabda pula ; janganlah pula dengan cara menyakiti diri Fatimah RA karena ia adalah keratan darah dagingku, menyakitiku segala yang menyakitkan dirinya Muncul juga sekelompok kaum yang lantas disebut sebagai sekte Abahiyyun yakni golongan yang memperkenankan untuk melakukan apa saja yang disukai, mereka berkata Sesungguhnya seorang hamba, ketika ia telah sampai kepada puncak rasa cintanya, dan hatinya telah suci dan terbersihkan dari sifat lupa, dan dia telah memilih iman daripada kufur dan kekufuran, maka gugur dan terbebaskanlah ia dari tuntutan perintah dan larangan. Dan tidaklah Allah akan memasukkannya ke neraka sebab melakukan dosa-dosa besar.
Sebagian dari mereka juga berkata: Bagi seorang hamba yang telah sampai pada puncak posisi mahabbah, maka gugurlah baginya kewajiban untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang dlohir, maka yang menjadi substansi ibadahnya adalah bertafakkur dan mempercantik akhlaq batiniahnya. Syayid Muhammad di dalam Syarah Ihya nya berkata: Pernyataan ini adalah kufur zindik dan kesesatan, tetapi golongan Abahiyyun ini memang sudah ada sejak zaman dulu, penganutnya adalah orang-orang bodoh dan sesat mereka tidak memiliki pemimpin yang mengerti tentang ilmu syari’at sebaagimana layaknya.
Muncul pula aliran yang lantas memproklamirkan diri sebagai Tanasukhil al-Arwah, kelompok yang mengaku sebagai titisan ruh-ruh yang selalu berpindah-pindah selama-lamanya dari satu jasad seseorang ke jasad yang lain baik sejenis maupun berlainan jenis. Mereka menyangka bahwa siksaan dan kenikmatan yang dirasakan oleh Arwah tersebut didasarkan atas pertimbangan bersih dan kotornya arwah tersebut. Imam al-Syihab al-Khofaji di dalam syarahnya kitab Al-Syifa berkata: Sungguh ahli syari telah mengkafirkan mereka karena muatan pendapat-pendapatnya ternyata melakukan pembohongan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan kitab suci-Nya.
Sebagian lagi ada yang menganut ajaran Hulul dan Ittihad, mereka adalah orang-orang yang menjalankan tasawufnya dengan kebodohan, mereka berkeyakinan bahwa Allah swt. adalah wujud yang mutlak. Sesungguhnya selain dari pada Allah tidaklah ia memiliki sifat Al-Wujud sama sekali, sehingga bila dikatakan Al-Insanu Maujudun maka makna yang dikehendaki adalah bahwa manusia itu memiliki hubungan dengan Al Wujud al Mutlaq yakni Allah Ta’ala.
Al Allamah al Amir di dalam kitab Hasyiyah-nya Imam Abdi al-Salam, beliau berkata: Ucapan dengan interpretasi di atas, merupakan kufur yang shorih, karena tidaklah mungkin terjadi yang namanya hulul dan ittihad. Bila hal tersebut benar terjadi pada diri para pembesar wali maka kejadian itu harus dita’wili dengan sesuatu yang cocok dengan kondisi dan derajat kewalian mereka. Sebagai mana paham Wahdati al Wujud yang mereka anut. Seperti ucapan mereka;
ما فى الجبة الا الله
(Tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah)
Mereka menghendakinya dengan makna bahwa apa saja yang ada di dalam jubah bahkan apapun yang wujud di dalam seluruh alam ini, tidaklah ia terwujud kecuali atas kehendak Allah, Syaikh Muhammad al Safarini berkata di dalam kitab Lawaaihu al-Anwar: Sebagian dari tanda sempurnanya kema’rifatan adalah kemampuan seorang hamba untuk menyaksikan Tuhannya.
Setiap Arif (orang yang ma’rifat) selama ia masih menafikan pengetahuan atas Tuhannya pada waktu apapun maka bukanlah ia dinamakan sebagai Arif tetapi hanya disebut sebagai Shohibul Haali di mana Syuhudihi Robbahu – nya, (penyaksiannya terhadap realitas Tuhannya) hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu saja. Nah, keberadaan Shohibul Haali ini sama dengan orang yang mabuk, di mana pengetahuan spiritualnya belumlah cukup mengukuhkan eksistensinya sebagai seorang Arif.
Menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan Wahdati al Wujud dan Al Ittihad dalam madzhab tasawuf adalah bukanlah hanya sekedar menggunakan parameter apa yang dhohir saja atau atas dasar persangkaan belaka. Dengan demikian pernyataan/statemen para penyembah berhala yang mengatakan bahwa: Kita tidak menyembah berhala ini kecuali hanya menjadikannya sebagai lantaran agar kita dapat mendekatkan diri kepada Dzat Allah. Bagaimana mungkin pelaku sedemikian (Wahdati Al-Wujud) dianggap sebagai orang-orang yang ma rifat (Arifin).
Padahal makna yang subtansial dari Ittihad itu sendiri adalah sebagaimana dikatakan oleh Al- Aarif:
وعلمك أن كل أمر امرى * هو المعنى المسمى بالا تحاد
Pengetahuan anda atas segala sesuatu adalah urusan saya, inilah makna yang sesungguhnya dinamakan sebagai Al-Ittihad.
Untuk itu jelaslah bahwa setiap umat Islam memiliki kemampuan dan kesempatan untuk meraih maqom ini walaupun pada tingkat yang berbedabeda. Sengaja saya membahas secara panjang lebar terhadap sekte/golongan ini, karena saya menyaksikan bahwa golongan inilah yang sesungguhnya paling membahayakan terhadap kaum Muslimin dibandingkan bahaya yang dimunculkan oleh kaum kafir dan mubtadi’in, para ahli bid ah. Karena mayoritas manusia mengagungkan golongan ini dan begitu antusiasnya ia mendengarkan fatwa-fatwa mereka dengan ketidak mengertiannya terhadap uslub-uslub atau gramatika bahasa arab.
Imam Asmu’i meriwayatkan sebuah hadits dari Imam Kholil dari Abi Amrin bin A’la , beliau berkata :
اكثرمن تزندق بالعراق لجهله بالعربية وهم باعتقاده الحلول والاتحاد كفرة
Kebanyakan orang yang kafir zindik dari penduduk Irak adalah disebabkan oleh ketidakmengertian mereka terhadap literatur Arab mayoritas dari mereka menjadi kufur karena keyakinan mereka yang salah terhadap pemahaman Hulul dan Ittihad .
Qodli Iyadh di dalam kitabnya Al Syifa mewanti-wanti : Sesungguhnya setiap bentuk perkataan yang secara sharih, terang-terangan menafikan atau menghilangkan sifat ketuhanan dan ke Maha Esaannya, melakukan penyembahan terhadap selain Allah atau mempersekutukan Allah pada sesembahannya adalah merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Seperti juga ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh Kaum Duhriyah, Nasrani, Majusi, dan orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan menyembah berhala, Malaikat, Syetan, Matahari, bintang-bintang, dan menyembah api ataupun selain daripada Allah. Demikian juga kekufuran itu terjadi pada orang-orang yang menyakini adanya Hulul (menempatnya Dzat Allah pada diri makhluk) dan terjadinya Al – Tanasukh (Ruh Allah SWT menitis pada diri seorang hamba).
Kekufuran itu dapat pula terjadi pada orang yang mengakui ketuhanan Allah dan ke-Maha Esaannya tetapi ia menyakini bahwa Allah tidaklah hidup atau bukanlah Dzat yang Qadim (terdahulu), atau sesungguhnya Allah adalah dzat yang hadits (baru datang) dan memiliki bentuk, atau menyangka bahwa Allah memiliki anak istri, dan bahkan ia terlahirkan dari sesuatu yang maujud sebelum-Nya, atau sesungguhnya ada sesuatu selain Allah yang menyertai- Nya di zaman Azali, atau menyakini bahwa ada Dzat lain selain Allah yang menciptakan dan mengatur alam ini. Semua keyakinan dan anggapan sebagaimana disebut di atas merupakan bentuk kekufuran menurut ijma kaum muslimin.
Demikian juga kekufuran itu terjadi pada seseorang yang menganggap dirinya dapat duduk bersama Allah, menyertai-Nya naik ke Arasy, berbincang bincang dengan-Nya dan meyakini dapat menyatunya Dzat Allah pada diri seseorang sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kaum Tasawuf, aliran kebatinan dan orang-orang Nasrani.
Termasuk bentuk kekufuran yang lain adalah: seseorang yang menyakini sifat ketuhanan dan ke Maha Esaan Allah tetapi ia menentang pokok-pokok kenabian secara umum atau konsepsi-konsepsi kenabian kita Muhammad Saw secara khusus. Atau salah satu dari para nabi, di mana hal itu terjadi setelah ia mengetahui konsepsi konsepsi nash-Nya, maka tanpa keraguan ia dihukumi kafir. Demikian pula menjadi kafir seseorang yang menyatakan bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah bukanlah ia yang berdomisili di Makkah dan Hijaz.
Kekufuran itu juga akan terjadi sebab beberapa hal berikut ini, antara lain : Seseorang yang mengakui terutusnya Nabi yang lain bersamaan dengan kenabian Nabi Muhammad SAW atau masih akan ada Nabi lagi setelah kenabian Nabi Muhammad SAW juga seorang yang mengklaim bahwa kenabian Muhammad Saw adalah hanya dikhususkan untuk kalangan atau golongannya sendiri (bukan Nabi yang Rahmatan lil alamin). Demikian juga terjadi kekufuran apa bila ada seorang yang kondang sebagai ahli tasawwuf, tetapi hingga kebablasan ia menyatakan diri bahwa ia menerima wahyu dari Allah Ta ala walaupun ia tidak sampai mengaku-aku menjadi Nabi.
Imam Yusuf al Ardhabili di dalam kitab Al Anwar-nya memberikan pernyataan yang tegas bahwa : Dapatlah dipastikan kekafiran itu terjadi pada setiap orang yang mengucapkan suatu perkataan yang sebab ucapan itu umat menjadi terjerumus pada lembah kesesatan, apalagi bila sampai meng-kafirkan sahabat, termasuk juga setiap orang yang melakukan perbuatan di mana pekerjaan itu tidaklah muncul atau bersumber kecuali dari orang-orang kafir seperti sujud pada salib atau menyembah api, atau pergi menuju ke gereja-gereja bersama pengikut-pengikut gereja dengan mengenakan atribut-atribut yang juga dipakai oleh ahli-ahli gereja seperti memakai ikat pinggang atau yang lainnya.
Demikian juga ia yang mengingkari eksistensi Makkah, Ka’bah, ataupun Masjidil Haram bilamana hal itu muncul dari seorang yang menurut pandangan kita ia sebenarnya tau dan memahami bahwa kenyataannya pergaulan mereka adalah dengan orang-orang Islam.
Bersambung ke Risalah Aswaja KH Muhammad Hasyim Asy’ari Bagian-3