Pandangan PBNU Terhadap RUU Ormas

NU CILACAP ONLINE – Inilah Pokok-pokok pandangan dan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ormas yang sebelumnya dijadwalkan pekan depan. Sebab, masih terdapat sejumlah pasal yang dinilai harus dirumuskan ulang. Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (4/4), mengatakan apabila pengesahan dipaksakan sesuai jadwal, dikhawatirkan akan menimbulkan sejumlah dampak negatif.

“Permintaan ini kami sampaikan untuk menghindari berbagai dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari pengesahan RUU tersebut,” kata As’ad didampingi Sekjend PBNU H Marsudi Syuhud, Ketua PBNU Imam Azis, Wakil Sekjen PBNU H Abdul Mun’im DZ, dan Adnan Anwar.

As’ad menambahkan, PBNU menghargai langkah Pemerintah dan DPR yang telah menyempurnakan UU No 8 tahun 985 tentang Ormas. Meski demikian terdapat sejumlah pasal yang harus dirumuskan ulang, seperti pengertian Ormas dalam RUU yang menggeneralisasi sebagai organisasi berbadan hukum tanpa mendeskripsikan tata nilai dan kesejarahan, serta peran ormas dalam konteks masyarakat Indonesia.

“RUU ini belum melihat sejarah, peran, dan kontribusi Ormas seperti NU, Muhammadiyah, Perti, Nahdlatul Waton, Alkhairat, Syarikat Islam, dan masih banyak lainnya yang ada sebelum negara ini berdiri,” tegas As’ad.

Selain pasal substansi Ormas, yang juga harus dirumuskan ulang terkait pembedaan antara yayasan, perkumpulkan dan Ormas yang sudah lama berdiri, yang kontribusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ditemukan selain di Indonesia.

Lebih jauh mengenai hal tersebut, lanjut As’ad, pasal yang mengatur keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing, terlebih dengan cara menyamakan aturan dan persyaratan yang dikenakan kepada Ormas, harus dikeluarkan dari RUU Ormas.

“Kalau identitas LSM asing ingin diberi landasan hukum silakan, tapi harus diatur dalam undang-undang tersendiri,” tandasnya.

Sekretaris Jenderal PBNU H Marsudi Syuhud menambahkan, bahwa RUU Ormas tidak seharusnya mengikuti tradisi Belanda, yang hanya memiliki dua jenis UU, yaitu UU Yayasan dan UU Perkumpulan. “Dengan mengacu pada pengalaman kehidupan kemasyarakatan sendiri, maka negeri ini seharusnya berani merumuskan satu UU yang khusus mengatur kehidupan Organisasi Kemasyarakatan yang berbeda sama sekali dengan UU Yayasan dan UU Perkumpulan,” katanya.

Berikut ini adalah pokok-pokok pandangan dan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

  1. PBNU mengapresiasi terhadap langkah pemerintah dan DPR yang tengah menyempurnakan UU No. 8/1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun, menurut PBNU, masih terdapat pasal-pasal yang harus dirumuskan ulang, bahkan beberapa di antaranya harus dihilangkan.
  2. PBNU menghargai rumusan baru tentang penggunaan asas Pancasila, yang mengakomodasi penggunaan ’asas ciri’. Dengan akomodasi itu maka RUU ini tidak terlalu kaku karena pluralitas ideologi, sejauh tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, asas ciri tersebut boleh dicantumkan sebagai ciri organisasi yang bersangkutan.
  3. Namun, NU memandang a-historis definisi ormas, dalam memberi pengertian ormas dengan cara menggeneralisasi pengertian ormas seperti negara-negara Barat sebagai organisasi ”berbadan hukum” dan ”tidak berbadan hukum” tanpa mendeskripsikan tata nilai dan kesejahteraan serta peran-peran ormas, seperti NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam dan lain-lain dalam konteks masyarakat Indonesia. Dengan demikian perlu dibedakan secara tegas antara Yayasan, Perkumpulan, dan Organisasi Kemasyarakatan yang sudah berurat-akar di dalam sistem/kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa Indonesia, yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Tiga jenis organisasi yang sangat berbeda tersebut harus diatur dalam skema perundang-undangan yang terpisah/berbeda. Tidak perlu mengikuti tradisi Belanda, yang hanya memiliki dua jenis UU, yaitu UU Yayasan dan UU Perkumpulan. Dengan mengancu pada pengalaman kehidupan kemasyarakatan sendiri, maka di negeri ini kita seharusnya berani merumuskan/mengeluaran satu UU yang khusus mengatur kehidupan organisasi kemasyarakatan yang berbeda sama sekali dengan UU Yayasan atau UU Perkumpulan.
  4. Konsekuensinya, pasal-pasal yang mengatur keberadaan LSM asing, lebih-lebih dengan mempersamakannya dengan aturan atau persyaratan yang dikenalkan kepada ormas, harus dikeluarkan dari RUU Ormas ini. Kalaulah entitas seperti LSM asing itu ingin diberi landasan hukum, dipersilahkan diatur dalam UU tersendiri (Bab VII RUU Ormas).
  5. Naskah RUU ini belum melihat sejarah, peran dan kotribusi ormas seperti NU, Muhammadiyah, Perti, Nahdlatul Wathan, Alkhairat, Syarikat Islam (SI), Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha, dalam proses pembentukan kesadaran berbangsa dan bernegara dan pembentukan NKRI.
  6. Oleh karena itulah PBNU mengusulkan agar DPR menunda pengesahan RUU ini. Untuk menghindari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari pengesahan RUU ini.

Jakarta, 4 April 2013

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button