Living Hadits Dan Konstruksi Tradisi Pembacaan Shalawat

NU Cilacap Online – Di mana hubungan antara Living Hadits dengan Konstruksi dan tradisi pembacaan Shalawat yang sudah menjadi praktik keagamaan umat Islam? Berikut ulasannya.

Pembacaan terhadap hadits melalui pendekatan kebahasaan dan kesusastraan melahirkan pemahaman hadits secara tekstual. Penerimaan hadits sebagai teks rentan mengurangi nilai-nilai aktualnya sebagai diskursus yang hidup dalam kehidupan sehari-hari.

Kebutuhan untuk menjadikan hadits bernilai dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin, di salah satu sisi memaksa mereka memahami hadits dalam batas konteks dan kemampuan masing-masing, di sisi lain juga mempengaruhi bentuk ujaran dari hadits untuk membangun diskursus yang hidup dengan penerimanya (Rafiq, 2005: 204; Hidayah, 2018).

Di dalam pembahasan tentang agama, kajian living hadits adalah bagian dari pembahasan lived Religion, practical religion, popular religion, lived Islam, yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana manusia dan masyarakat memahami, memaknai dan menjalankan ajaran agama mereka, untuk tidak lagi mengutamakan kaum-kaum elit saja dalam agama (pemikir, otoritas agama, pengkhotbah, dan sebagainya).

Living Hadits adalah hadits yang bisa digunakan yang bermula dari ijtihad yang disepakati dalam suatu kelompok muslim yang di dalamnya terdapat ijma’ dan kesepakatan para ulama’ dan tokoh-tokoh agama di dalam kegiatannya (Mustaqim dan Syamsuddin, 2007).

Kajian living hadits dapat melihat bagaimana hadits ini bisa hidup dan bahkan gencar disuarakan oleh komunitas Islam tertentu, sehingga living hadits tidak hanya melihat fenomena atau kebiasaan masyarakat yang ternyata memiliki sumber hadits yang populer, tetapi juga melihat bagaimana hadits-hadits tertentu yang sudah dianggap sahih bisa hidup dan menjamur dengan pemahaman yang terkesan tekstual dan radikal (Assegaf, 2015: 309; Fikri, 2018).

Living hadits memiliki tiga model yang pertama tradisi tulisan, tradisi lisan dan tradisi praktik (Anwar, 2015: 74). Tradisi menulis sangatlah penting di dalam perkembangan living hadits. menulis tidak hanya sebagai bentuk ungkapan yang sering terpajang di tempat-tempat yang strategis atau tempat yang ramai.

Ada juga tradisi yang kuat di dalam lingkungan Indonesia yang bersumber dari hadits Nabi Muhammad yang terpajang dalam berbagai tempat yang strategis dan juga terpajang dalam beberapa acara atau tempat-tempat umum.

Tidak semua yang terpampang berasal dari hadits Nabi Muhammad salah satu di antaranya adalah yang bukan hadits melainkan sebuah slogan atau kata mutiara tetapi masyarakat menganggapnya sebagai hadits. Salah satu contohnya adalah tentang kebersihan itu sebagian dari iman slogan ini bertujuan untuk menghadirkan suasana nyaman dan kebersihan lingkungan. Baca Juga >> Mengapa Anak Muda Bershalawat?

Membahas dan menelaah hadits tidak dapat diartikan atau pahami secara tekstual saja. Maka harus membaca dan memahami yang melatar belakangi adanya hadits tersebut. Hadits tersebut tidak dapat atau tidak berlaku umum misalnya ada peristiwa khusus yaitu tanggapan Nabi Muhammad.

Salah satu contoh model living hadits lisan (oral) adalah shalawat. Shalawat berasal dari bahasa Arab yaitu shalat jamaknya shalawat, yang arti dasarnya adalah mendoakan atau berdoa. Membaca shalawat dalam arti keagamaan umat Islam adalah mendoakan Nabi Muhammad untuk mendapatkan rahmat dari Allah dan perintah bershalawat untuk Nabi Muhammad ini merupakan, perintah langsung dari Allah kepada hamba-Nya.

Dalam rangka mengamalkan perintah agama tersebut, ada banyak cara yang dilakukan dengan berbagai macam tujuan dan maksud, baik yang bersifat keagamaan atau kemasyarakatan. Beberapa contoh shalawat dilakukan pada saat ada acara pengajian atau yasinan di kalangan masyarakat. Seperti menumbuhkan silaturahmi antar masyarakat dan tradisi ini sudah berangsur-angsur ada sejak lama atau sejak zaman dahulu.

Ada beberapa macam shalawat yang dikenal dalam masyarakat, seperti: Shalawat Nariyah, Shalawat Munziat, Shalawat Tibil Qulub, Shalawat Shifa, Badawiyah, Qubra, Kamaliyah, Ibrahimiyah, Basyairul Khairat, Bariyyah, Nurizati, Asnawiyah, Nurul Anwar, dan masih banyak lainnya. Dari beberapa shalawat tersebut mempunyai arti dan kegunaan masing masing.

Shalawat Nariyah, lebih dikenal dengan istilah shalawat kamilah atau biasa disebut Shalawat Tafrijiyah, shalawat ini memiliki beberapa keutamaan atau kegunaan di antaranya adalah menghilangkan kecemasan, menghilangkan kesulitan dan penyakit, membukakan kelapangan atau segala kebaikan, meninggikan kedudukan, meluaskan rizki dan masih banyak lainnya.

Jika berbicara mengenai perkembangan tradisi shalawat di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya, pertama, secara normatif, cukup banyak hadits Nabi yang membahas mengenai fadhilah (keutamaan) shalawat. Cukup banyak hadits Nabi yang secara khusus membahas mengenai shalawat, salah satunya yaitu shalawat tersebut dapat mengabulkan suatu hajat.

Hal ini berdasarkan hadits Nabi, yaitu: “Dari Anas ibn Malik, Rasulullah SAW bersabda: “barang siapa yang bershalawat kepadaku pada hari jumat dan malam jumat sebanyak 100 kali, maka Allah akan mengabulkan 100 hajat darinya, 70 hajat akhirat dan 30 hajat duniawi.”

Kedua, konstruksi tokoh-tokoh agama dalam membentuk tradisi, termasuk tradisi praktik Living Hadits dalam pembacaan (pengamalan) Shalawat.

Dinukil dari Karya Achmad Fachrur Rozi, SANGKÉP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan, Vol. 3, No. 1, (2020)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button