KH Muslih Abdurrahman Demak, Biografi, Kiprah dan Karyanya
NU CILACAP ONLINE – Ilmu pengetahuan, hikmah, dan keteladanan, tiga hal inilah yang diwariskan para ulama kita. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para alim ulama merupakan sumber inspirasi dan semangat perjuangan. Bahkan sabda Nabi Muhammad SAW menyatakan ‘Ulama merupakan pewaris para Nabi’. Salah seorang ulama yang patut menjadi teladan di Indonesia, yaitu KH Muslih Abdurrahman bin Qosidil Haq, Mranggen, Demak. Inilah catatan Biografi, Kiprah, dan Karyanya
Riwayat Nasab
KH Muslih Bin Abdurrahman bin Qosidil Haq lahir pada tahun 1908 di Desa Suburan, Kecamatan Mranggen, Demak. Namun, belum ditemukan data secara pasti, kapan tepatnya tanggal kelahirannya. Beliau wafat di Jeddah, Mekkah pada hari Senin Pon, 10 Syawal 1401 H/ 10 Agustus 1981 M.
Adapun riwayat nasab atau silsilah KH Muslih dari ayahnya sebagai berikut; KH Muslih bin KH Abdurrahman bin Qosidil Haq bin Raden Oyong Abdulloh Muhajir bin Raden Dipo Kusumo bin Pangeran Wiryo Kusumo/ Pangeran Sedo Krapyak bin Pangeran Sujatmiko atau Wijil II/ Notonegoro II bin Pangeran Agung (Notoprojo) bin Pangeran Sabrang bin Pangeran Ketib bin Pangeran Hadi bin Kanjeng Sunan Kalijaga, hingga Ronggolawe Adipati Tuban I atau Syeikh Al-Jali/ Syeikh Al-Khowaji yang berasal dari Bagdad, keturunan Sayyidina Abbas, paman Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam .
Sedang silsilah KH Muslih dari garis ibu yaitu KH Muslih bin Shofiyyah binti Abu Mi’roj wa binti Shodiroh, hingga bersambung pada Ratu Kalinyamat binti Sultan Trenggana (Sultan Bintoro Demak II) bin Sultan Bintoro Demak I (Raden Patah) bin Raden Kerto Wijoyo/ Darmo Kusumo Brawijaya I (Raja Majapahit).
Ratu Kalinyamat merupakan isteri Sultan Hadlirin yang berasal dari Aceh dan menjabat sebagai Adipati Bintoro Demak di Jepara. Sedangkan isteri Sultan Trenggono adalah putri Kanjeng Sunan Kalijaga dan isteri Sultan Patah (ibu Sultan Trenggana) adalah putri Kanjeng Sunan Ampel, Surabaya.
Riwayat Pendidikan
Muslih semasa kecil mula-mula belajar al-Quran dan dasar-dasar keislaman kepada orang tua, yaitu KH Abdurrahman bin Qasidil Haq. Setelahnya ia belajar di pondok dan madrasah Syaikh KH Ibrohim Yahya Brumbung, Mranggen
Saat liburan dan selama Ramadhan, Muslih Abdurrahman belajar di Pesantren Mangkang Kulon (Semarang) dan tabarrukan di Pesantren Tanggungharjo, Grobogan di bawah asuhan Kiai Syarqawi.
Dilanjutkan kemudian mondok di Sarang, Rembang asuhan KH Zubair dan Syaikh Imam untuk belajar ilmu Syariat dan ilmu alat, sekaligus belajar kepada KH Maksum, Lasem, Rembang.
Setelah empat tahun belajar di Rembang, Muslih Abdurrahman kembali ke kampung halaman di Suburan, Mranggen. Lalu bersama kakaknya, KH Utsman, membangun kembali madrasah yang didirikan ayahnya, KH Abdurahman.
Namun beberapa bulan kemudian Kiai Muslih kembali pergi untuk menimba ilmu di Tebuireng, Jombang. Selain itu, Muslih Abdurrahman juga belajar di Pesantren Tremas, Pacitan.
Selain belajar kepada kiai, ulama di berbagai pesantren di Jawa, Muslih Abdurrahman juga belajar kepada KH Damanhuri di Mekkah. Beliau merupakan putra Syaikh Abdul Karim Banten. lalu kemudian belajar kepada Syaikh Yasin Isa al-Fadani di Mekah dan Sayyid Abbas al-Alawi di Masjidil Haram.
Kelak, KH Muslih Abdurrahman bin Qasidil Haq dikenal sebagai ulama dengan jiwa nasionalisme yang tinggi. Jejak rekamnya termaktub dalam catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, di mana beliau merupakan anggota Laskar Hizbullah.
Kiprah Pejuang Kemerdekaan
Kiprahnya mengemuka terutama dalam masa revolusi, yakni ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia berupaya mempertahankan kemerdekaan.
Dalam buku setebal 394 halaman yang berjudul ‘Kiai Muslih Mranggen Sang Penggerak dan Panutan Sejati’ karya KH Muhammad Hanif Muslih menjelaskan bahwa ayahnya, Kiai Muslih pernah mengikuti pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusa -kini bagian dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat- kiai dipercaya sebagai ketua regu. Salah satu anggotanya yaitu Kiai Abdullah Abbas Buntet, Cirebon, Jawa Barat.
Salah satu saudara Kiai Abdullah Abbas, yakni Kiai Mustamid Abbas, pernah nyantri bersama Kiai Muslih di Tremas, Pacitan. Darinya, terdapat cerita bahwa Kiai Muslih mirip Sentot Ali Basya, salah satu panglima perang yang memihak Pangeran Diponegoro.
Sepulang dari latihan di Cibarusa, Kiai Muslih segera mengonsolidasikan Hizbullah di Mranggen. Beliau merekrut santri-santri senior dan para pemuda lokal.
Tercatat, beberapa tokoh muda, semisal Suroso dan Sukaimi, turut menjadi anggota Laskar Hizbullah. Sukaimi gugur dalam pertempuran di Semarang Tenggara. Jenazahnya dimakamkan di lahan dekat Masjid Besar Mranggen.Kiai Muslih kerap memberikan “bekal spiritual” kepada para anggota laskar, yakni berupa doa-doa dan wirid. Amalan yang sama juga diberikan kepada para santri. Doa-doa seperti itu tak hanya memberikan ketenangan batin, juga menguatkan rasa percaya diri para pejuang.
Sewaktu pecah peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965, Kiai Muslih juga membekali santrinya dengan amalan-amalan. Sebab, saat itu banyak anggota atau simpatisan komunis yang mengincar para santri Futuhiyyah.
Tak pelak, banyak pemuda muslim diterpa rasa cemas. Namun, mereka kembali tenang setelah dikumpulkan oleh Kiai Muslih di pelataran masjid pesantren. “Para santri tenang , tidak usah khawatir, tidak usah takut. Saya terima kasih ijazah ini. Baca ‘maliki yaumiddin’ tiga kali sambil tidak bernafas; hentakan kaki ke tanah; nanti kamu bisa menghilang. Musuh tidak melihat kamu , ” katanya memperkuat moral para santri.
Selain itu, Kiai Muslih juga meminta para santri menuliskan lafaz Allah di telapak tangan masing-masing. Saat di medan pertempuran, teruslah menggenggam telapak tangan itu. “Terus digenggam. Kalau (tangan) dipakai untuk memukul musuh, dia akan tersungkur ,” tuturnya.
Kendati ikut mengangkat senjata di masa revolusi, namun setelah kekuasaan RI mendapatkan pengakuan oleh Belanda dan situasi yang menguntungkan, Kiai Muslih beserta banyak ulama lainnya kembali ke pesantren untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Sedang ayah Kiai Muslih, yakni KH Abdurahman adalah pendiri Pondok Suburan, Mranggen, Demak yang berdiri pada tahun 1901.
Pondok Suburan pada mulanya adalah langgar dengan tambahan ruang serba guna di sekelilingnya. Lama kelamaan, murid (santri) yang menghadiri majelis ilmu di sana melebihi kapasitas. Maka dengan gotong royong, didirikanlah pondok yang menampung santri mukim, juga dibangun masjid.
Hal serupa telah disebut, bahwa setelah kedaulatan RI mendapatkan pengakuan kemerdekaan, para ulama kembali ke pesantren untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat.
Dalam kiprah perjuangan dan perjalanannya, Kiai Muslih dikenal sebagai pejuang kemerdekaan dan seorang ulama yang masyhur dari Jawa Tengah. Akhirnya beliau kembali menjadi pengasuh Pondok Futuhiyyah, Mranggen, Demak sejak tahun 1936 hingga 1981.
Kembangkan Pesantren Futuhiyyah
Kiai Muslih mengasuh Pesantren Futuhiyyah dan dalam membimbing Kiai Muslih terinspirasi dari Pondok Tremas di Pacitan, yang dinilai sangat baik dalam pengelolaan pondoknya.Mulanya, Kiai Muslih mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI) pada tahun 1936. Lalu secara perlahan membangun Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan bahkan Fakultas Syariah UNNU. Dalam pengembangan pondok itu Kiai Muslih lebih leluasa, setelah Indonesia merdeka.
Menariknya, dalam pengelolaan pondok, Kiai Muslih menggunakan “model Trisula”, yaitu mengembangkan pendidikan formal dan tradisional sekaligus pengajian tarekat.
Sehingga beliau dikenal sebagai kiai yang progresif, dengan tetap berkomitmen mempertahankan tradisi salaf.
Terbukti, di tengah hiruk pikuk dan rutinitas proses pembelajaran pendidikan formal, pengajaran kitab kuning tidak boleh ditinggalkan. Bahkan lulusan Madrasah Aliyah (MA) Futuhiyyah wajib hafal kitab Alfiyah.
Selain itu, beliau juga menjadi mursyid Tarekat Qadariyyah wa Naqsabandiyah (TQN) di pondoknya, sampai mendapat julukan Syaikhul Mursyidin (guru para mursyid), karena banyak mursyid tarekat yang berbaiat kepadanya. KH Muslih Abdurrahman pernah menjadi salah satu pendiri Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (Jatman), dan salah satu tokoh dibalik lahirnya organisasi tarekat al-mu’tabarah di Indonesia.
Martin van Bruinessen dalam buku “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat”, mencatat, bahwa Kiai Muslih termasuk dalam jajaran tokoh sentral TQN pada era 1970-an bersama Abah Anom, Kiai Thohir Falak dan Kiai Mustain Romly. Sedang Murtadho Hadi menyebut Kiai Muslih sebagai “Guru Sufi Tanah Jawa”, bersanding dengan Abuya Dimyati (Banten) dan Kiai Romli Tamim (Rejoso, Jombang).
Dahsyatnya, di tengah kesibukannya yang luar biasa padat mengurus santri dan khidmah kepada umat, Kiai Muslih masih sempat menulis karya (kitab).
Karya KH Muslih Bin Abdurrahman
1). Hidayah al-Widan , berisi 164 bait, terdiri atas 35 bab tentang ilmu nahwu (kini lebih populer dengan ‘Sullam al-Shibyin’ )), terjemah dari ‘Hidayah al-Widan’ (ditulis oleh menantunya, Kiai Muhammad Ridhwan).
2). Inaratu adz-Dzolam fi Aqaidi al-Awam . Syair berbahasa Arab yang berjumlah 59 bait dan diberi makna gandul, untuk memudahkan pembaca. Kitab ini mengulas tentang dasar-dasar tauhid, tarekat, hakikat, makrifat, zikir dan metode penyucian diri sesuai ajaran teologinya Syaikh Abu Hasan al-Asy’ari dan tasawufnya Syaikh Junaid al-Bagdhadi.
3). Wasailu Wushulil Abdi Ila Maulah (dua jilid), syarah kitab “Al-Hikam” karya Ibnu Athaillah As-Sakandari. Penulisan kitab ini terinspirasi oleh isi dari beberapa bait syair yang ditulis Ibnu Athaillah tentang pintu menuju Tuhan.
4). An-Nur Al-Burhany (doa jilid). Kitab ini merupakan terjemahan dengan sedikit catatan tambahan Kiai Mushlih atas kitab manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Di samping keempat karya utamanya tersebut, Kiai Muslih juga menulis kitab-kitab yang berupa doa dan wirid. Setidaknya ada tiga karya kumpulan doa Kiai Muslih, yaitu “Tsamrotul Qulub”, “Nasru Al-Fajr, Kitab Umdatussalik dan “Al-Munajat”. Kitab Tsamrotul Qulub, Kitab Umdatussalik sendiri sampai sekarang masih terus diamalkan secara kolektif oleh santri Pesantren seluruh Indonesia.
Setelah perjalanan dan perjuangan panjang dalam khidmahnya kepada bangsa, pada umat, KH Muslih Abdurrahman Mranggen Demak dipanggil oleh Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa pada Senin Pon, 10 Syawal 1401 H/ 10 Agustus 1981 M.
Beliau wafat di Jeddah setelah sebelumnya menjalankan umrah pada akhir Ramadhan dan salat Arbain di Madinah , serta menziarahi makam Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.Kiai Muslih dimakamkan di Ma’la, Mekah Al-Mukarramah, disandingkan dengan Makam Sayyidatina Asma’ binti Sayyidina Abu Bakar Ash-Shidiq, dekat (di depan) kompleks Makam Sayyidatina Khadijah Al-Kubra. (Rosidi/IHA)