Ka’bah, Sebenar-benarnya Kiblat
NU CILACAP ONLINE – Setelah beberapa hari pulang dari haji, dengan renungan yang sunyi, saya mencoba mengenang, memorabilia haji menjadi sebuah tulisan. Dan dalam beberapa aspek, saya mendapatkan pelajaran penting tentang Islam bahwa Ka’bah, sebenar-benarnya Kiblat.
Saya tidak tahu, apakah jamaah yang lain, mendapatkan pelajaran yang sama atau tidak. Saya tidak mengetahuinya.
Ketika berada di Makkah, baru sadar dan yakin, bahwa Ka’bah benar-benar kiblat kaum muslimin, bahkan sesungguhnya dan seharusnya menjadi kiblat seluruh manusia, dan segala apapun yang ada di bumi. Mengapa?
Sebelum haji dan sebelum datang ke Makkah, kemudian datang ke Ka’bah, cerita bahwa Ka’bah adalah kiblatnya umat islam, kabar itu hanyalah sebuah kabar kabari dan dongeng dari mulut ke mulut.
Di Indonesia, tentu pemahaman kiblat adalah arah barat dan arah Ka’bah, walau kita tidak tahu benar presisi pandangan dan arah kita ke Ka’bah.
Tetapi secara hukum fiqhiyah, tentu arah tersebut adalah tidak salah. Bangsa yang berada di Barat, Utara, dan Selatan Ka’bah, tentu kiblatnya tidak ke arah Barat.
Namun ketika kita berada di sekitar Ka’bah, maka presisi arah pandangan kiblat kita adalah sangat tepat pada arah Ka’bah.
Di area sekitar Ka’bah itulah diyakini, ada tempat-tempat mustajabah untuk berdoa. Umat islan berpikir bahwa di situ adalah posisi terdekat dirinya dengan Tuhannya.
Sebab Ka’bah itu diibaratkan sebagai baitullah, rumah Allah. Padahal Allah tidak bersemayam di suatu tempat. Tetapi tentu terlalu abstrak untuk mengetahui suatu yang berwujud, tanpa tempat.
Maka umat islam menggambarkan bahwa Ka’bah adalah rumah Allah. Bahkan tidak hanya Ka’bah. Masjid-masjid kita, itu pun di asosiasikan sebagai rumah Allah.
Arti sesungguhnya dari nama ini adalah bahwa rumah Allah mengandung makna, suatu tempat yang digunakan untuk menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah Azza Wajalla.
Allah tentu tidak bertempat di manapun. Walaupun banyak ayat dalam Al Quran menyebut bahwa Allah bersemayam di Arsy.
Tetapi bagi kita yang bermanhaj Aswaja menyakini, bahwa konsep bersemayam di Arsy, mengandung arti, menguasai.
Sebagaimana pula konsep baitullah, baik pada Ka’bah atau masjid, bukan berarti Allah bersemayam di Ka’bah atau masjid. Sebab sesuatu yang bertempat, itu hanya makhluk.
Kitab suci Al Quran juga menyebut dalam surat Al-Baqarah Ayat 115 yang berbunyi;
وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ١١٥
Artinya, Allah adalah Tuhan bumi seluruhnya. Ke mana pun kamu menghadap ketika menunaikan salat, di sanalah wajah Allah, yaitu kiblat yang diinginkan Allah bagimu. Sungguh, Allah Mahaluas, tidak sempit dan tidak terbatas, Maha Mengetahui siapa yang menghadap kepada-Nya di mana pun ia berada.
Wajah dalam hal ini ُوَجْهُ bermakna kiasan. Wajah adalah representasi dari eksistensi Tuhan, yang tidak bertempat, dan di mana saja.
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS Al Baqarah 186)
“Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah, bahwa Aku ini dekat”, Demikian Allah menjelaskan eksistensi dirinya di antara para Hamba.
Rasulullah SAW bahkan pernah bersabda:
من عرف نفسه، فقد عرف ربّه
“Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu,” Yang artinya: “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Jadi, Ka’bah adalah tempat dan simbol, meleburnya eksistensi2 primordial manusia, berupa perbedaan ras, suku, bangsa, manhaj, aliran, tarekat, atau ormas, kepada eksistensi universal yang bersifat ke alam semestaan, kesejagadan, borderles, yaitu Tuhan.
Di Ka’bah tidak ada lagi bentuk, aku atau kami, tetapi yang ada adalah bentuk “kita”. Di Ka’bah, tidak ada lagi orang beribadah dengan melihat kelas-kelas sosial, apalagi berpikir tentang perbedaan masalah fiqh.
Di Ka’bah ini, orang-orang disibukkan untuk fastabiqul khairat, dengan cara ibadah dan ibadah. Orientasinya semata-mata hanya kepada Ka’bah sebagai kiblat dan pusat orientasi dalam beribadah.
Maka penting bagi umat Islam, yang diberi keluasan rizki, kekuatan fisik, atau kesempatan waktu, untuk datang ke Baitullah, agar bisa menyaksikan dan melihat, Islam yang sebenarnya dan yang sebenar-benarnya islam.
Yaitu Islam yang bermacam-macam. Islam yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan-perbedaan itu, tidak menjadikan masalah, karena kiblat dan tujuan mereka hanya satu, yaitu baitullah, Ka’bah!.
Cilacap, 5 Juli 2024
Toufik Imtikhani.