Imam Bukhari, Amirul Mukminin fil Hadits
NU CILACAP ONLINE – Siapa yang tidak mengenal Imam Bukhari? Kitab Hadits yang mafhum dengan sebutan Shahih Bukkhari mendapatkan pengakuan dunia sebagai yang memiliki derajat paling tinggi di antara yang lainnya.
Tak heran, Imam Al Bukhari dijuluki sebagai Amirul Mukminin fil Hadits yang artinya ‘pemimpin orang-orang yang beriman dalam hal ilmu hadits’.
Imam Al-Bukhari lahir pada 13 Syawal 194 H atau 21 Juli 810 M di Bukhara, Uzbekistan. Dengan nama kecilnya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Nama Al-Bukhari merupakan nama daerah kelahirannya, Bukhara.
Bukhara merupakan salah satu kota bersejarah di Uzbekistan. Kota Bukhara berjarak 225 kilometer sebelah barat Samarkand, kota bersejarah lainnya di negara itu. Berjarak 437 kilometer dari kota Tashkent, ibukota Uzbekistan
Ayahnya Abu Abdillah Muhammad bernama Ismail bin Ibrahim merupakan seorang ulama sekaligus murid dari Imam Malik bin Anas.
Abu Abdillah atau Imam Bukhari kecil dididik langsung oleh Ayahnya yang dikenal sebagai orang yang taat beragama dan selalu berhati-hati mengenai hal-hal yang hukumnya masih belum pasti atau subhat.
Ayah Ismail bin Ibrahim wafat saat Imam Bukhari masih kecil. Pada umur 10 tahun, Imam Bukhari kemudian berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, salah satu ulama ahli hadits terkenal di Bukhara.
Belajar Ilmu Hadits
Sejak kecil, Imam Bukhari sudah menunjukkan bakat-bakat kecerdasannya. Ketajaman ingatan dan hafalannya melebihi anak-anak seusianya.
Setahun kemudian, ia mulai belajar ilmu hadits. Saat itu ia sudah ditunjuk untuk mengoreksi beberapa kesalahan penghafalan matan maupun rawi dalam sebuah hadits yang diucapkan gurunya.
Ketekunan dan kecerdasan Imam Bukhari menuntunnya hafal Al-Qur’an di usia belia 13 tahun.
Perjalanan mengumpulkan dan menyusun Hadits dilakoninya dan ketika Imam Bukhari memasuki usia 16 tahun menjadi berkah bahwa Imam Bukhari sudah mengkhatamkan hafalan hadits-hadits di dalam kitab karangan Waki al-Jarrah dan Ibnu Mubarak.
Pada usia baligh itu pula Imam Bukhari mulai pergi ke Mekkah dan Madinah untuk memperdalami ilmu haditsnya.
Dua tahun selepas kepergiannya, Bukhari telah menerbitkan kitab hadits pertamanya, Kazaya Shahabah wa Tabi’in.
Setelah itu, ia menghabiskan waktu bertahun-tahunnya mengunjungi berbagai kota untuk menemui para perawi hadits.
Imam Bukhari terkenal gigih dalam ‘berburu’ hadits. Jika ia mendengar sebuah hadits, maka ia ingin mendapatkan keterangan tentang hadits tersebut secara lengkap. Dengan kata lain, ia harus bertemu sendiri dengan orang yang meriwayatkan hadits tersebut.
Dalam usahanya mengumpulkan hadits-hadits tersebut, Imam Bukhari telah mengunjungi bahkan menetap beberapa bulan bahkan tahun untuk dan demi keshahihan hadits.
Berbagai tempat dikunjungi olehnya, selain Madinah dan Makkah, daerah lainnya seperti Syam, Mesir, Ajazair, Basra, Kuffah, hingga Baghdad.
Hafal Hadits
Oleh larenanya Imam Bukhari dalam 16 tahun perjalanan panjangnya itu telah berhasil mengumpulkan sedikitnya 600 ribu hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 orang rawi. Dari jumlah tersebut, 300 di antaranya telah ia hafal.
Hadits-hadits yang dihafal tersebut terdiri dari 200 ribu hadits tidak shahih dan 100 ribu hadits shahih. Dari jumlah hadits shahih tersebut, ia hanya mencantumkan 7.275 hadits dalam kitabnya, Jami’as-Shahih atau yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari.
Jumlah tersebut tentu telah diseleksi dengan metode yang sangat ketat dan berhati-hati. Kalau di jaman kini metode verifikasi dan validasi atau verval.
Inilah yang membuat para ulama menempatkan Shahih Bukhari sebagai kitab pertama dalam urutan kitab-kitab hadits yang muktabar.
Selain Jami’as-Shahih, semasa hidupnya Imam Bukhari (62 tahun) juga menulis kitab-kitab lain seperti Tarikh as-Saghir, Asami as-Sahabah, al-Kuna, dan al-‘Illal yang kesemuanya membahas tentang hadits.
Adapun Kitab Shahih Al-Bukhari memiliki judul lengkap yakni Al-Jami Al-Musnad as-Shahih Al-Mukhtasar min Umur Rasulillah wa Sunanih wa Ayyamih.
Mengutip buku Studi Kitab Hadits dari Muwaththa’ Imam Malik hingga Mustadrak Al Hakim (2020) oleh Muhammad Misbah, dkk, nama kitab ini berawal dari wasiat gurunya, Syekh Ishaq yang berkata:
“Hendaklah engkau menyusun sebuah kitab yang khusus berisi sunnah rasul yang shahih.”
Wasiat guru inilah yang mendorong Imam Bukhari menyusun kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lain, yaitu dengan membukukan hadits yang Shahih saja.
Ketika mencantumkan hadits dalam kitabnya, Imam Bukhari senantiasa melaksanakan shalat Istikharah terlebih dahulu.
Demikian sebagaimana disampaikan oleh murid beliau yang bernama Al-Firbari yang pernah mendengar Muhammad bin Ismail Al-Bukhari berkata,
“Aku menyusun Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih ini di Masjidil Haram. Aku tidak memasukkan sebuah hadits pun ke dalam kitab ini sebelum aku shalat istikharah dua rakaat. Setelah itu, aku baru benar-benar merasa yakin kalau hadits itu merupakan hadits shahih.”
Hadits Shahih Menurut Imam Bukhari
Adapun kriteria keshahihan hadits menurut Imam Bukhari, yaitu sebuah hadits dapat dianggap sebagai hadits shahih apabila ketersambungan sanad itu ditandai dengan pertemuan langsung antara rawi guru dan muridnya. Rawi yang meriwayatkan hadits syaratnya haruslah adil, dhobit teliti, jujur, dan lama dalam berguru.
Kriteria Hadits dari segi Kualitasnya. Hal tersebut berbeda dengan hadits pada umumnya, di mana hadits dianggap shahih apabila sanadnya bersambung. Diriwayatkan oleh rawi dhobit, adil serta tidak ada cacat dan syadz dalam hadits tersebut.
Adapun periwayatan hadits shahih bersifat dhabit. Dhabit sendiri adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.
Selain itu, sistematika penulisan hadits Al-Bukhari tersusun dengan membagi menjadi beberapa kitab. Dan tiap-tiap kitab terbagi menjadi beberapa bab.
Jumhur ulama Muhaditsin mengatakan bahwa kitab ini merupakan kitab hadits paling shahih. Oleh karenanya tidak berlebihan jika karyanya mendapat pengakuan dunia. Bahkan memiliki derajat paling tinggi di antara yang lainnya.
Tak heran, Imam Bukhari mendapatkan julukan sebagai Amirul Mukminin fil Hadits yang artinya ‘pemimpin orang-orang yang beriman dalam hal ilmu hadits’.
Namun pada usianya yang telah lanjut, keadaan masalah politik negara membuat dan mengharuskannya untuk berpindah-pindah.
Imam Bukhari mendapat tekanan keras dari penguasa setempat. Imam Bukhari pun pergi dari kota Naisabur Iran, ke Bukhara Uzbekistan, lalu ke Samarkhand.
Wafatnya Imam Bukhari pada usia 62 tahun, tepatnya pada 31 Agustus 870 M atau malam 1 Syawal 256 H. Imam Buukhari dimakamkan di Kompleks Imam al-Bukhari, di Desa Hartang, sekitar 25 kilometer dari Samarkhan. Lahu Alfatihah.. (IHA).
Baca juga Menyikapi Seruan Kembali Kepada Al-Qur’an dan Hadits