Syekh Nawawi Al-Bantani, Teladan Untuk Kehidupan Masa Depan
NU CILACAP ONLINE – Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu Ulama terkemuka dan guru bangsa Indonesia, sehingga meneladani Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan ikhtiar yang sangat baik untuk kehidupan masa depan.
Sebagai Ulama besar, Syekh Nawawi Al-Bantani telah mencetak sejumlah kader nasional berpengaruh, seperti KH Cholil Bangkalan, KH Hasyim Asy’ari, ataupun KH Ahmad Dahlan. Ilmu dan pemikiran besarnya dipandang perlu untuk diwariskan dan dikembangkan secara berkelanjutan dalam upaya membangun generasi penerus yang unggul dan beriman.
Dengan semangat dan esensi itulah, haul Syekh Nawawi Al-Bantani digelar tiap tahun hingga kini menginjak peringatannya yang ke-129. Syekh Nawai lahir pada tahun 1813 di Kampung Tanara, Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten.
Perjalanan Hidup Syekh Nawawi
Ia memiliki nama Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi al-Bantani yang merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Syekh Umar bin Arabi al-Bantani merupakan ulama di Banten, sedangkan ibunya bernama Zubaedah. Ketika kecil, Syekh Nawawi belajar Al-Quran dan dasar-dasar Islam kepada ayahnya. Setelah belajar bersama ayahnya, Syekh Nawawi berguru kepada Haji Sahal dan Raden Haji Yusuf selama enam tahun. Ia kemudian kembali ke Tanara untuk menggantikan ayahnya sebagai pemimpin pondok pesantren.
Syekh Nawawi hanya bertahan selama kurang lebih dua tahun mengajar di pondok pesantren Tanara. Ia kemudian pergi ke Mekkah untuk belajar agama Islam di pusat pengajarannya langsung, yaitu di Masjidil Haram. Di Mekkah, Syekh Nawawi belajar kepada banyak ulama ternama di Arab, seperti Sayyid Ahmad An-Nahrawi, Syekh Muhammad Khatib Al Hanbali, Sayyid Ahmad Zaini, dan Sayyid Ahmad Ad-Dimyati. Di Mekkah, Syekh Nawawi hanya bertahan selama tiga tahun untuk belajar.
Ia kemudian kembali ke Tanara dan mengajar di pondok pesantren ayahnya. Begitu sampai di Banten, Syekh Nawawi sangat geram melihat kondisi masyarakat berada di bawah belenggu penjajahan Belanda. Ia kemudian memanfaatkan mimbar-mimbar untuk ceramah mengobarkan semangat perjuangan. Syiarnya mengutuk penjajahan Belanda dan mengajak masyarakat lepas dari penjajahan.
- KH Zulfa Mustofa, Penerus Tradisi Menulis Syekh Nawawi Al-Bantani
- Pengurus Jatman Adipala Terbentuk, Ini Susunannya
Setelah mengabdikan dirinya sebagai pengajar di Mekkah, Syekh Nawawi meninggal dunia pada tahun 1897 atau 25 Syawal tahun 1314 H. Syekh Nawawi kemudian dimakamkan di Jannatul Mu’alla, Mekah yang bersebelahan dengan makam anak perempuannya. Meski meninggal dunia di Mekkah, setiap tahunnya selalu diadakan haul atau peringatan meninggalnya Syekh Nawawi al-Bantani di Pondok Pesanten An-Nawawi di Tanara, Serang.
Dilansir dari Majalah Risalah, Wapres KH Amin Ma’ruf menyampaikan pandangannya terhadap Syekh Nawawi. Menurutnya Syekh Nawawi tidak hanya mewariskan ilmu agama tetapi juga ilmu umum. Ilmu inilah yang nantinya sebagai bekal memakmurkan bumi.
“Syekh Nawawi itu, beliau mewariskan ilmu. Ilmu ini yang harus kita kembangkan dan kita terus kembangkan dan lanjutkan oleh kita dan generasi yang akan datang. Ilmu yang harus diwariskan tersebut tidak hanya di bidang keagamaan, tetapi juga ilmu umum agar umat bisa memakmurkan bumi. Untuk memakmurkan bumi itu harus mengetahui ilmunya, kuncinya, harus ada mafatihul imara, yaitu ilmu-ilmu ekonomi, ilmu-ilmu yang menyangkut perindustrian, pertanian,” katanya.
Baca juga Nabi Muhammad SAW Teladan Umat Manusia
Semua itu, lanjut K.H. Ma’ruf Amin, merupakan tanggung jawab bersama sekaligus dalam upaya penguatan ekonomi umat, pemberdayaan umat, dalam rangka taqwiyatul ummah
Sementara Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyebutka haul Syekh Nawawi sebagai momentum untuk meneladani sikap dan pandangan Syekh Nawawi Al-Bantani yang moderat dan penuh toleransi.
“Haul bukan hanya sekadar seremoni, tapi menjadi ajang bagi kita semua untuk menangkap nilai-nilai keteladanan yang telah diwariskan Syekh Nawawi Al Bantani,” ujar Yaqut.
“Inilah nilai-nilai keteladanan yang diwariskan Syekh Nawawi untuk kemudian kita jadikan sebagai etos dalam Kehidupan masa akan datang,” tegasnya. (Ramadhani Mahmudah, Naeli Rokhmah)
Sumber : Majalah Risalah Edisi 130 Tahun XVI 1443H Juni 2022