Syekh Mas’ud Kawunganten, Ulama Fiqih Kontemporer Indonesia

Pradikta Andi Alvat

NU Cilacap Online – Syekh Mas’ud adalah sosok seorang ulama besar bidang ilmu hukum Islam (fiqih) asal Kawunganten, Cilacap. Keilmuannya yang mumpuni dalam bidang hukum Islam membuatnya dirinya sebagai ulama kontemporer.

Biografi dan Pengembaraan Ilmu

Syekh Mas’ud lahir pada tahun 1923. Meskipun lahir di Purworejo, putra pasangan Kiai Muhyidin dan Nyai Sangadah ini masa kecil hingga dewasa dihabiskan di Kawunganten, Kabupaten Cilacap.

Saat Syekh Mas’ud berusia 2 tahun, orang tua Syekh Mas’ud berhijrah dari Purworejo ke Kawunganten
untuk bertani sembari berdakwah Islam dengan mengajar ngaji pada anak-anak dan masyarakat.

Saat masih kecil, Syekh Mas’ud belajar langsung kepada ayahandanya sendiri. Saat menginjak usia 10 tahun, Syekh Mas’ud mulai belajar Al-Qur’an kepada Kiai Hanafi Sarwadadi selama 2 tahun.

Setelah belajar kepada Kiai Hanafi, Syekh Mas’ud melanjutkan pengembaraan ilmunya pada Kiai Badrudin Mojosari Kebumen untuk memperdalam Kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Setelah hafal Kitab Alfiyah Ibnu Malik, Syekh Mas’ud memutuskan mondok ke beberapa Pondok Pesantren muktabar untuk memperdalam keilmuan Islam.

Syekh Mas‟ud memutuskan mondok di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Jampes Kediri untuik menimba ilmu kepada Syekh Ikhsan bin Dahlan atau lebih dikenal Syekh Ikhsan Jampes.

Syekh Ikhsan Jampes merupakan seorang ulama besar yang karyanya berupa kitab-kitab penting yang kemudian menjadi rujukan Universitas Al Azhar Mesir dan kampus-kampus Islam lainnya yakni Kitab Siraj At-Thalibin dan Minhaj Al-Abidin.

Di bawah bimbingan Syekh Jampes, Syekh Mas’ud memperdalam dengan mengaji kitab kuning, fiqih, dan balaghah.

Saat berguru kepada Syekh Ikhsan Jampes, Syekh Mas‟ud sering berdikusi langsung dengan gurunya, sehingga pemahaman dan keilmuan Syekh Mas’ud menjadi lebih menonjol dari pada santri lainnya.

Selepas berguru kepada Syekh Ikhsan Jampes, Syekh Mas‟ud kemudian mondok di Pondok Pesantren Darul Hikam di Bendo Kediri guna memperdalam ilmu ushul fikih dan qawaid fikih.

Di Pondok Darul Hikam, Syekh Mas’ud bertemu dengan Kiai Sahal Mahfud Kajen Pati dan Kiai Sam’ani dari Jember, di mana ketiganya seringkali mutholaah bersama untuk meningkatkan keilmuan.

Syekh Mas’ud menimba ilmu selama 10 tahun di Pondok Darul Hikam. Selepas dari Pondok Pesantren Darul Hikam, Syekh Mas’ud kemudian melanjutkan pengembaraan keilmuannya dengan tabarukan ke Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang dan
Tebuireng Jombang guna mengasah keilmuannya.

Setelah berkelanan selama 30 tahun untuk memperdalam keilmuan Islam, pada 1965 akhirnya Syekh Mas’ud memutuskan kembali ke Kawunganten untuk mengamalkan ilmu yang didapatkannya.

Sejak itu, kemudian Syekh Mas’ud menikah dengan putri KH Suhaimi bernama Maesyaroh asal Pondok Pesantren Al-Hikmah, Brebes.

Dari pernikahannya dengan Nyai Maesyaroh, Syekh Mas’ud dikaruniai 5 orang anak.

Kepedulian dalam Ilmu dan Pendidikan

Pada tahun 1966, Syekh Mas’ud mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB), Madrasah ini bernaung di bawah Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, pada 1968 Masehi, MWB berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU).

Pada 1970, madrasah ini kemudian bergabung dengan Yayasan Al-Kaff, sehingga namanya pun diubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda, tapi kemudian berubah lagi menjadi Madrasah Ibtidaiyah Sultan Agung dan bertahan hingga sekarang.

Selain mendirikan madrasah, Syekh Mas’ud juga mendirikan Pondok Pesantren Al-Barokah Salafiyyah pada 1967. Ia mendirikan pesantren tersebut dengan dua tujuan yakni mengamalkan ilmu yang dimilikinya sekaligus menampung aspirasi masyarakat yang ingin belajar agama Islam secara mendalam.

Pesantren ini dibangun di atas tanah milik keluarganya yang masih kosong. Dan hngga kini, Pondok Pesantren Al-Barokah Salafiyyah telah mendidik dan meluluskan puluhan ribu santri.

Selain itu, pada tahun 1969, Syekh Mas’ud juga mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA), sayangnya pendirian sekolah tersebut kurang diminati masyarakat sehingga pada tahun 1975 dirubah menjadi Madrasah Tsanawiyah dan tahun 1977 dirubah menjadi SMP Sultan Agung.

Pada tahun 1980, Syekh Mas’ud juga turut berperan dalam memprakarsai pendirian Sekolah Menengah Atas (SMA) Jenderal Ahmad Yani, yang merupakan satu-satunya sekolah menengah atas di Kawunganten saat itu, yang bertahan hingga sekarang.

Syekh Mas’ud juga memiliki agenda pengajian rutin tiap Ahad. Di mana dalam pengajian tersebut Syekh Mas’ud akan menampung berbagai pertanyaan dari jamaah terkait hukum-hukum Islam.

Pertanyaan-pertanyaan dari para jamaah pada pengajian rutin Ahad serta pertanyaan pada forum-forum Bathsul Masail akhirnya dikumpulkan dan ditulis menjadi sebuah buku oleh Syekh Mas’ud. Oleh sebab itu, buku atau kitab karangan Syekh Mas’ud mayoritas berkaitan dengan permasalahan hukum Islam, meskipun juga terdapat beberapa buku karya Sykeh Mas’ud yang bertema Akhlak, Tauhid hingga Tafsir.

Motivasi Syekh Mas’ud dalam menulis buku tentang permasalahan terkait hukum Islam adalah untuk memudahkan masyarakat awam dalam memahami syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu kelebihan Syekh Mas’ud terkait keilmuan adalah kegigihannya dalam mencari kitab-kitab kuno berkualitas tinggi karya para kiai yang belum sempat dicetak.

Kiai Mas’ud, dengan rasa kecintaannya yang sangat mendalam pada tradisi kitab kaum pesantren,secara tekun memburu berbagai kitab yang belum dicetak ke berbagai daerah.

Syekh Mas’ud mencari karya-karya bermutu tinggi, hasil pemikiran para kiai nusantara yang sudah meninggalkan dunia fana ini dan kemudian dihubungkannya dengan mereka yang berminat menerbitkannya.

Contoh menarik dari kerja ini adalah perburuannya yang intensif atas sebuah naskah unik karya Kiai lkhsan dari pesantren Jampes (Kediri), yang wafat menjelang Perang Dunia II Kiai lhsan meninggalkan dua buah karya tulis utama yakni Kitab Siraj al-Talibin, sebuah komentar atas traktat AI-Ghazali yang sudah seribu tahun umurnya, serta Kitab Minhaj al-Abidin.

Dua kitab ini bernilai tinggi, sehingga dijadikan buku wajib untuk kajian post graduate di Al-Azhar dan beberapa perguruan tinggi lainnya.

Kiprah Syekh Mas’ud Pada NU

Syekh Mas’ud memulai kiprahnya pada organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tingkat cabang Cilacap. Syekh Mas’ud sangat aktif terlibat pada forum-forum Bahtsul Masail. Dengan keilmuan fikih dan ushul fikih yang mumpuni.

Syekh Mas’ud selalu menjadi bintang pada forum Batsul Masail. Pondasi keilmuannya yang kokoh membentuk karakter alim dan bijaksana, sehingga Syekh Mas’ud selalu mampu mencari solusi atas suatu permasalahan secara tuntas dengan
hujjah keilmuan yang kuat.

Menurut Gus Dur, Kiai Mas’ud mendapatkan gelar Syekh karena pengetahuannya yang luar biasa di bidang hukum agama.

Syekh Mas’ud menguasai peralatan untuk mengambil keputusan hukum fikih. Rupa teori hukum (usul fikih) dan pedoman hukum (qawa’id fikih). Kedua ilmu alat itu memang harus dikuasai sempurna, kalau ingin menghasilkan keputusan-keputusan hukum agama yang berkualitas tinggi, sehingga layak disebut “syekh”.

Gus Dur sendiri menggambarkan sosok Syekh Mas’ud sebagai orang yang sederhana dan rendah hati kepada orang lain, bahkan kepada yang lebih muda umurnya sekalipun.

Suaranya tidak pernah dikeraskan. Penampilannya adalah penampilan kiai kampung yang khas, tidak untuk kegagah-gagahan sedikit pun.

Kiprah Syekh Mas’ud pada organisasi Nahdlatul Ulama atau NU berlanjut dengan menjadi Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Cabang (PCNU) Kabupaten Cilacap dan kemudian berlanjut hingga menjadi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Di PBNU, Syekh Mas’ud berkiprah dalam bidang kesyuriyahan. Dengan keluasan ilmunya, pendapat hukum dari Syekh Mas’ud seringkali menjadi rujukan bagi pengambilan keputusan dan fatwa PBNU.

Pada 5 Maret 1994, Syekh Mas’ud wafat pada usia 71 tahun. Syekh Mas’ud dimakamkan di kompleks Pesantren Al Barokah.

Hingga saat ini, makam Syekh Mas’ud selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah. Hal ini menjadi bukti bahwa Syekh Mas’ud sangat dihormati dan dicintai oleh masyarakat khususnya warga Nahdlatul Ulama.

Nilai Keteladanan Syekh Mas’ud

Dari refleksi perjalanan hidup Syekh Mas’ud, dapat disimpulkan bahwa Syekh Mas’ud adalah ulama yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap ilmu.

Dunia pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, pecinta sekaligus pecinta ilmu, tidak hanya tentang keilmuan Islam melainkan juga ilmu penghetahuan umum.

Syekh Mas’ud selalu gelisah jika masyarakat Kawunganten dan sekitarnya mengalami kesulitan terkait aksesbilitas pendidikan. Maka dari itu, Syekh Mas’ud mendirikan dan memprakarsai berdirinya lembaga-lembaga pendidikan guna menunjang pembangunan sumberdaya manusia seperti pondok pesantren, madrasah, hingga sekolah menengah umum di Kawunganten.

Bagi Syekh Mas’ud ilmu merupakan kunci untuk membentuk karakter yang saleh baik secara spiritual maupun sosial sehingga Islam yang rahmatan lil alamin dapat mawujud dalam realitas kehidupan.

Syekh Mas’ud juga aktif untuk mencari kitab-kitab kuno dengan kualitas tinggi karya kiai nusantara yang belum sempat dicetak untuk kemudian dicetak dan disebarluaskan sebagai referensi ilmu yang muktabar.

Hal itu menunjukkan ghiroh kepedulian yang sangat tinggi dari Syekh Mas’ud terhadap kontiniutas dan kualitas keilmuan.

Secara karakter, sebagaimana digambarkan oleh Gus Dur, Syekh Mas’ud meskipun berilmu tinggi nan muktabar, tetapi Syekh Mas’ud merupakan orang yang sederhana dan rendah hati kepada orang lain serta jauh dari kesan sombong, bahkan kepada yang lebih muda umurnya sekalipun. Suaranya pun tidak pernah dikeraskan.

Syekh Mas’ud adalah sosok yang mampu mengejawantahkan dakwah Islam penuh keilmuan dan perilaku serta memberi manfaat besar bagi kehidupan dan keberlangsungan ilmu.

Pradikta Andi Alvat adalah penulis, sebagai pemenang harapan 3 pada Sayembara Penulisan Feature Tokoh Alim Ulama Kiai Cilacap 2024. Penulis adalah warga Desa Landoh RT 01 RW 04 Kecamatan Sulang Kabupaten Rembang.

Daftar Pustaka:
K.H. Abdurrahman Wahid, 1997, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. LKiS Yogyakarta.
_____________________, 2000, Melawan Melalui Lelucon, Tempo, Jakarta
_____________________,Syekh Mas’ud Memburu Kitab, Majalah Tempo Nomor 29, 18
September 1982
Syekh Mas’ud Ulama Fiqih Asal Cilacap, Republika.co.id, 18 Februari 2020, diakses 10
Oktober 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button