Road to Mecca Part 2; Selamat Tinggal, Madinah

NU CILACAP ONLINE – Madinah, secara harfiah berarti kota Nabi. Ya, nama Madinah ini diberikan oleh Nabi Muhammad, setelah kota ini “di-Islamkan”, dari nama Yastrib di masa sebelumnya. Kota ini pun kemudian menjadi pusat pemerintahan islam era Nabi hingga para khulafauurrasyidin.

Karena menjadi pusat pemerintahan, berarti Nabi membawahi wilayah atau pun distrik yang dihuni oleh penduduk. Penduduk ini bersifat anoniem dan plural. Pluralisme penduduk Madinah, sebagai warganegara, tercermin dalam Piagam Madinah. Sebuah piagam yang mengatur hak, kewajiban dan pola relasi antar warganegara dan pemerintah yang beragam.

Itulah kemudian, keadaan sejarah ini menjadi inspirasi, dan diambil Nama Madinah, sebagai sebuah konsep politik demokrasi yang disebut Masyarakat Madani, atau lebih pasnya, Masyarakat Mutamaddin atau civil society.

Malam Terakhir

Malam ini adalah malam terakhir saya berada di Madinah, setelah kedatangan saya dan rombongan haji, pada tanggal 18 Mei 2024 lalu di Madinah. Kami melaksanakan haji tamattu, dengan bonus sholat arba’in, yang dilaksanakan sebanyak 40 rakaat tanpa putus.

Jadi kurang lebih dapat dilaksanakan selama 8 hari di Madinah. Tetapi karena berbagai kendala teknis di lapangan, sampai Hari Minggu 26 Mei, target arba’in, tidak terpenuhi. Tapi tak mengapa. Karena sholat arba’in bukan suatu keharusan.

Tanggal 26 ini kami akan menuju Bir Ali, untuk mengambil miqot umrah rukun, kemudian menuju Mekah. Entah kapan lagi saya suatu hari akan kembali ke Madinah. Tidak bisa membayangkan.

Tetapi 7 hari di Madinah, saya bisa melakukan abstraksi dan refleksi, bahwa apa yang tercermin secara sosial hari ini, adalah gambaran masa yang telah lalu.

Kota Wisata

Saya bukan tipe orang yang suka traveling. Andai bukan melekat pada paket wisata religi yang diselenggarakan travel/ hotel, saya tidak akan sampai ke Masjid Quba, Qiblatain, Bukit Uhud, dan kebun kurma.

Sentrifugal wisata ziarah di Madinah, tetaplah Masjid Nabawi. Di situ ada Raudhoh, tempat yang mustajabah untuk berdoa, dan tentu saja makam Nabi. Dan para sahabatnya. Juga ada makam Baqi, yang banyak diziaraih oleh umat muslim.

Baca juga Madinah Kota Teraman Ke-1 Untuk Wisatawan Perempuan

Saya pun sempat berkeliling ke situs2 sejarah Islam di atas. Baik dalam konteks pengetahuan, atau tabarukan. Saya pun menyempatkan diri mendatangi taman Staqifah Bani Saidah, tempat Abu Bakar dilantik menjadi Khalifah penerus Nabi.

Saya dan rombongan juga sempat singgah di Masjid Ali Bin Abu Tholib, yang di masa lalu juga menjadi rumah Beliau. Konon Nabi pernah sholat di tempat ini. Demikian juga Masjid Abu Bakar, yang tidak jauh dari Masjid Ali.

Bila kita bicara Haji, dan dua tanah haram, yaitu Mekah dan Madinah, maka yang banyak diekspose adalah keajaiban2 yang tidak masuk akal. Mungkin itu benar. Itu adalah hal2 yang sangat privasi, bukan suatu ilmu yang fenomenal.

Baca juga Haji Riang Gembira 2023 Part 27: Hari Terakhir Di Madinah

Keajaiban Kota Madinah

Saya justru melihat dan mendapatkan keajaibannya dari sisi sosial. Keajaiban Madinah, dan pasti Mekah adalah fenomena ” hukum sosial Tuhan ” yang ditampakkan secara jelas, dan umum. Semua bisa menyaksikan secara muktabar, dan bisa menceritakan secara mutawatir.

Ini fenomena keajaiban Tuhan. Sifat regularity, continuity, dan konsistensi Tuhan dalam menciptakan hukum2 sosialnya dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat. Tidak ada satupun komunitas yang bersifat singular.

Itulah fenomena Madinah. Ia adalah aglomerasi semua banyak perbedaan. Tetapi satu tujuan. Datang dari dan dengan berbagai cara, melalui dan atau memakai atribusi perbedaan, tetapi menuju satu konvergensi. Tuhan melukiskan mozaik sosial begitu indah, tersusun dalam dimensi dan komposisi yang teratur, dan dalam gradasi warna yang tepat.

Itulah Madinah. Artikulasi dari fenomena keragaman yang Tuhan ciptakan. Duduk, berdiri secara sejajar, serta interaksi yang seimbang, menciptakan harmoni dan simponi kehidupan yang intime.

Seharusnya, setiap yang telah datang ke Madinah, pulang membawa inspirasi dan apresiasi terhadap indahnya perbedaan sebagai rahmat, sehingga Islam datang sebagai rahmatan lil’alamiin. ***

Madinah, 25 Mei 2024
Toufik Imtikhani
NU pinggiran.

Baca juga Road to Mecca Part 3; Magnet itu Bernama Ka’bah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button