KH Said Aqil Siradj: Ikut Habib Otomatis Masuk Surga, Itu omong kosong!

NU CILACAP ONLINE – Fenomena keagamaan yang berkelindan pada ruang-ruang publik, terutama jika menyoroti pada kegiatan yang dimotori habib dan para pengikutnya, mulai dari aksi masa hingga pembangunan makam-makam. Hal ini mempertanyakan apa substansi dan dampak dari gerakan mereka. Dikira ikut Habib otomatis masuk surga, Itu omong kosong!
Mantan Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj mengemukakan hal itu dalam sebuah diskusi yang berlangsung hangat di podcast Akbar Faizal Uncensored (AFU) diunggah pada Senin, (31/3/2025).
Buya Said lanjut menegaskan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada ulama besar yang berasal dari kalangan habib.
Sebelumnya pewancara AFU, mengajukan pertanyaan yang tajam kepada KH Said Aqil Siradj mengenai kelompok tertentu yang dinilai kerap memobilisasi persepsi keagamaan secara eksklusif.
“Ada satu hal yang harus saya sampaikan di sini, Pak Kiai, tapi memang sedikit agak sensitif. Tampaknya ada sekelompok masyarakat yang memobilisasi persepsi hingga seakan-akan jika berbeda dengan mereka, maka itu bukan Islam,” ujar AFU, menyinggung kelompok yang sering dikaitkan dengan Yaman.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Buya Said panggilan akrab KH Said Aqil Siradj ini mengemukakan dengan tenang namun tegas dan menegaskan bahwa kelompok yang dimaksud tersebut itu tidak memiliki otoritas dalam ilmu keislaman.
“Mohon maaf, sebenarnya mereka tidak punya otoritas ilmu pengetahuan. Coba lihat, dalam forum-forum musyawarah alim ulama, ada tidak dari mereka? Tidak ada,” ujar mantan Ketua Umum PBNU itu.
Buya Said kemudian menegaskan bahwa keilmuan Islam memiliki standar yang jelas, yang didasarkan pada Al-Qur’an, hadits, ijmak ulama, dan qiyas.
Adapun hadits mengenai hukum Islam banyak, di antaranya dikatakan “Seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri, aku yang akan memotong tangannya,” Maka hukum pun berlaku, termasuk keturunan Rasulullah SAW sekalipun. Artinya, tidak semata-mata habib memiliki kekebalan hukum atas hukum-hukum yang ditetapkan Allah SWT.
Buya Said lanjut menyebutkan sejumlah ulama besar, baik dari generasi terdahulu maupun sekarang, yang diakui sebagai rujukan dalam hukum Islam, seperti Gus Baha Rembang, Kiai Afifuddin dari Situbondo, dan tokoh-tokoh ulama klasik seperti Imam Hanafi, Imam Bukhari, hingga Imam Ghazali.
Lebih jauh, ia menyoroti peran dzuriyyah atau keturunan Nabi yang dulu dihormati, sebagai habib yang mencerminkan akhlak Rasulullah SAW. Mereka berilmu dan beramal saleh. Peran mereka sebagai pemuka doa dan pembaca shalawat, bukan sebagai pemimpin gerakan.
“Dulu mereka itu kita hormati sebagai keturunan Nabi, baca doa, baca shalawat. Tapi kepemimpinan tetap di ulama, di kiai. Tapi belakangan ini ada perubahan,” ungkapnya.
Fenomena pengumpulan massa dalam jumlah besar oleh kelompok tersebut juga tidak luput dari sorotan Buya Said. Ia mengakui besarnya jumlah pengikut yang hadir dalam aksi-aksi keagamaan di ruang publik, namun mempertanyakan substansi dan dampak dari gerakan mereka.
“Apakah seperti itu hakikat beragama? Tidak. Kenapa? Karena tidurnya di masjid, shalatnya di lapangan,” kelakar Buya Said.
Lalu mana Islam yang benar? Lebih tajam lagi, AFU mempertanyakan apakah kelompok ini sesungguhnya sedang menerjemahkan religiusitas mereka ke dalam konteks politik dan kekuasaan.
Buya Said pun sependapat bahwa ada unsur mobilisasi politik yang memanfaatkan sentimen keagamaan masyarakat awam.
“Masyarakat awam dikira kalau ikut Habib, maka otomatis masuk surga. Itu omong kosong!”
Akhir pernyataannya, Buya Said mengungkapkan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada ulama besar yang berasal dari kalangan habib.
“Hanafi, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Imam Ghazali—semuanya ulama besar, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang habib.” terangnya..
Pernyataan ini pun mengundang diskusi lebih lanjut, membentangkan wacana antara otoritas keilmuan dan mobilisasi keagamaan dalam lanskap politik Islam di Indonesia.
Akhir perbincangan, Buya Said mengingatkan bahwa Islam bukan sekadar akidah dan syariat saja, tetapi juga agama ilmu dan peradaban, kemajuan, serta kemanusiaan.
“Laisal Islam ‘aqidatan wa syariatan faqad, wa innamal Islam dinul ilmi wa tsaqafah, dinul adab wal hadharah, dinut tamaddun wal insaniyah,” pungkasnya. (IHA)