Alqur’an Isyarat; Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia

NU CILACAP ONLINE – Munculnya metode Alqur’an isyarat terhitung hal baru di Indonesia bahkan di dunia. Kemunculannya membuka akses bagi para penyandang disalibitas terkhusus tuli. Bagaimana sejarah dan apa yang melatarbelakangi munculnya Alqur’an Isyarat?

Pelatihan Alqur’an Metode Isyarat yang diinisiasi NU Care LAZISNU Cilacap baru-baru ini disambut baik para penyandang disabilitas tuli serta guru-guru Sekolah Luar Biasa (SLB).

Pelatihan ini adalah realisasi bahwa Alqur’an adalah rahmatan lil’alamin yang bisa diakses oleh siapapun umat Islam tak terkecuali para penyandang tunawicara sensorik yang mengharuskan mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Sejarah dan Perkembangan

Anggota Lajnah Pentashihan Alqur’an Badang Litbang Kementrian Agama RI Tuti Nur Hayati yang  menjadi fasilitator acara hari itu mengungkap bahwa inisiasi pengembangan Al qur’an isyarat telah dilakukan oleh kementrian agama sejak tahun 2021.

Badan Litbang Kementrian Agama RI  telah menjadi pusat penelitian dan pengembangan berbagai program keislaman, termasuk dalam bidang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Salah satu inisiatif penting yang baru-baru ini dibahas adalah Rumah Qur’an Isyarat, yang bertujuan untuk memberikan akses pendidikan Al-Qur’an bagi komunitas Tuli.

motivator bahasa Isyarat peragakan isyarat huruf alqur'an

Audiensi komunitas bisu tuli

Pada tahun 2021, Kementrian Agama mengundang berbagai komunitas bisu tuli dari Jawa hingga luar Jawa untuk melakukan audiensi. Baca juga Pelatihan Mushaf Alqur’an Isyarat Untuk Penyandang Tunawicara

Dalam pertemuan audiensi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk komunitas Tuli, disampaikan bahwa kebutuhan akan pendidikan Al-Qur’an berbasis bahasa isyarat semakin mendesak.

“Di situ tiap Lembaga diminta presentasi metodenya masing-masing. Kami uji coba masing-masing hingga ketemu mana yang paling baik dan paling relevan untuk dijadikan pedoman. , jadi alqur’an ini adalah perpaduan dari berbagai metode,” ungkap Tuti..

“Ini adalah program pemerintah, dan jadi tugas kami di Lembaga pentasihan alquran,
Kami sangat berharap kepada para penyandang dana seperti lembaga-lembaga filantropi untuk ikut mengembangkan alqur’an isyarat ini,” ujarnya

“Mereka yang punya dana, silahkan dialokasikan untuk menggandakan alqur’an isyarat untuk kemudian dibagikan kepada para penyandang tuna wicara dan tuna rungu, agar saudara saudara kitab bisa ikut mengakses Alqur’an,” sambungnya.

Dadial, founder rumah isyarat Alqur’an Bandung yang menjadi narasumber pelatihan Metode Alqur’an  Isyarat menguatkan keterangan Tuti Nur Hayati.

Guru SLB peragakan isyarat alqur'an

Dadial mengatakan jika sebelumnya, metode isyarat Al-Qur’an hanya dimiliki oleh masing-masing komunitas penyandang disabilitas tuli dan tunawicara dengan pendekatan yang berbeda-beda.

“Di Bandung sendiri terdapat beberapa komunitas yang mengembangkan metode isyarat secara mandiri tanpa standar yang jelas. Setiap komunitas mengklaim bahwa metode mereka adalah yang terbaik,” kata Dadial melalui penerjamah bahasa isyarat (15/03/2025)

Pada tahun 2021 saat Kementerian Agama mengundang berbagai komunitas untuk berdiskusi dan bermusyawarah, komunitasnya juga diundang.

Dalam forum tersebut, akhirnya disepakati untuk membuat metode bersama yang merupakan hasil integrasi dari berbagai metode yang dianggap terbaik dari komunitas-komunitas tersebut.

“Hasilnya adalah sebuah metode Al-Qur’an Isyarat yang lebih sistematis dan dapat diterima oleh berbagai pihak,” ujar Dadial.

Sebagai bagian dari pengembangan metode ini muncullah dua metode yakni metode tilawah dan metode kitabah.

Untuk metode Tilawah sendiri telah dibuat dua juz dalam bentuk dua jilid. Alasan pembagian ini adalah karena Al-Qur’an Isyarat tidak hanya berisi tulisan Arab, tetapi juga font tangan untuk isyarat. Jika dijadikan satu jilid, maka ukurannya akan menjadi terlalu tebal, sehingga diputuskan untuk membaginya menjadi dua jilid.

Sedangkan untuk metode kitabah baru tersedia dalam jilid pertama, sementara jilid keduanya masih dalam proses pengembangan.

Perjalanan Awal Pengembangan Metode

Lebih lanjut Dadidal menuturkan bahwa sebelum adanya metode Al-Qur’an Tilawah dalam bentuk isyarat, sebenarnya sudah ada Al-Qur’an isyarat secara lisan dengan gerakan bibir.

“Saat masih bersekolah, saya sering diminta untuk membantu mengajar mengaji menggunakan metode ini. Namun, metode ini kurang maksimal karena penyandang tuli dan tunawicara kesulitan mengikuti gerakan bibir secara sempurna,” ujarnya.

Selain itu, ada pula metode mengeja Al-Qur’an dengan alfabet. Namun, metode ini juga kurang efektif karena tidak dapat sepenuhnya menangkap karakteristik huruf hijaiyah.

Akhirnya pada tahun 2015, Dadial mengikuti seminar di Jakarta yang menghadirkan narasumber dari Arab. Di situ dirinya menemukan Al-Qur’an dalam ukuran kecil yang menampilkan huruf hijaiyah.

Dari situ Dadial menyadari pentingnya mengadaptasi huruf hijaiyah untuk diajarkan kepada teman-teman di komunitas. Namun, saat itu, huruf-huruf tersebut masih belum memiliki harakat, berbeda dengan Al-Qur’an di Indonesia yang lengkap dengan tanda baca.

“Maka, kami di komunitas berusaha menambahkan harakat agar huruf-huruf tersebut lebih mudah dibaca dan dipahami,” lanjutnya.

Komunitas lain juga mengalami perkembangan serupa, meskipun dengan metode yang sedikit berbeda. Selain harakat, mereka juga mulai mempertimbangkan penerapan tajwid, panjang-pendek bacaan, dan aturan lainnya.

Proses ini dilakukan secara mandiri di komunitas masing-masing hingga akhirnya, pada tahun 2021, kami diundang oleh Kementerian Agama untuk berpartisipasi dalam proyek pengembangan metode Al-Qur’an Isyarat ini. Baca juga 10 Program Ramadhan 2021 NU Care LAZISNU Cilacap, Apa Saja?

Tujuan dan Manfaat Metode Al-Qur’an Isyarat

Dadial mengungkap Metode Alqur’an Isyarat ini dikembangkan untuk memudahkan penyandang tuli dan tunawicara dalam membaca dan memahami Al-Qur’an.

“Jika hanya mengandalkan isyarat verbal, maka hasilnya kurang sempurna karena penyandang tuli sulit mengikuti gerakan bibir secara akurat. Begitu pula dengan metode ejaan alfabet yang tidak dapat menangkap esensi bacaan Al-Qur’an secara keseluruhan,” kata Dadial.

Dengan adanya berbagai masukan dari komunitas dan dukungan dari Kementerian Agama, metode ini akhirnya berkembang lebih baik dan dapat digunakan secara luas.

Jika metode ini hanya dikembangkan oleh satu komunitas saja, dikhawatirkan hasilnya kurang maksimal.

Oleh karena itu, kolaborasi antara berbagai komunitas menjadi langkah yang tepat dalam menyusun metode yang lebih efektif dan inklusif bagi penyandang tuli dan tunawicara.

Saat ini, metode Al-Qur’an Isyarat telah mencakup dua pendekatan utama, yaitu metode tilawah (bacaan) dan metode kitabah (tulisan). Baca juga Islam dan Penguatan Hak Penyandang Disabilitas

Pengembangan masih terus berjalan untuk menyempurnakan metode ini agar lebih bermanfaat bagi seluruh penyandang tuli dan tunawicara yang ingin mempelajari Al-Qur’an.

Dadial mengaku senang bisa hadir di Cilacap untuk menyampaikan metode Alqur’an isyarat. Ternyata di antara peserta juga ada Sebagian adalah penyandang disabilitas tuli dan bisu. Sehingga ia merasa apa yang disampaikan oleh benar benar tepat sasaran.

Dadial juga mengungkap rasa terimakasihnya kepada NU Care LAZISNU yang telah menginisiasi kegiatan ini.

“Hari ini sudah berjalan kegiatan mengenai pembelajaran Alqur’an untuk guru-guru di Cilacap dan penyandang tuli dan bisu. Saya mengucapkan terimakasih kepada LAZISNU Cilacap yang sudah mengadakan pelatihan alqur’an isyarat untuk penyandang tuli dan bisu,” kata Dadial.

Dadial pu mengajak kepada Masyarakat untuk turut bberkontribusi dalam pengembangan Alqur’an Isyarat ini.

“Saya mengajak masyarakat bisa terus mendukung program LAZISNU dengan cara bisa bersedekah infak maupun berdonasi untuk alqur’an isyarat, agar bisa disebar kepada masyarakat Cilacap agar lebih unggul dan lebih setara,” tandas Dadial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button