In Memoriam Kiai M Nasri: Sosok Kyai Kampung Part 1

NU CILACAP ONLINE – Di era PKI, kiai M Nasri pulang dari pondok dan disangoni rotan dari kiainya, sebagai senjata menghadapi bahaya. Inilah titik awal perjalanan sosok kiai kampung dari Gentasari. Dengan segala kesehajaannya, ia berjuang untuk agama dan pendidikan.

Kiai M Nasri, lahir di Desa Gentasari, 15 Agustus 1945. Dua hari sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya, lewat Pidato Bung Karno dan Hatta. Jadi, pada bulan ini, seharusnya beliau berumur 80 tahun persis. Namun Tuhan berkehendak lain. Beliau berpulang enam tahun yang lalu, tepatnya hari Sabtu, 8 Maret 2019.

Kiai Nasri bukan tokoh besar, sehingga rasanya kurang tepat saya menulis tentang beliau. Tapi, anggaplah tulisan ini sebagai tanda bukti dan bakti saya pribadi sebagai seorang anak. Mengapa perlu menulis tentang beliau? Karena ada sisi sisi baik yang merupakan nilai-nilai luhur dan universal, dan patut dicontoh oleh orang lain, tentu saja yang mau. Tidak perlu terpaksa.

Sudah saya katakan, bahwa beliau bukan tokoh besar. Nasabnya juga hanya anak seorang petani bernama Maryadi dan ibunya bernama Tulkiem. Mbah Maryadi adalah seorang badal toriqoh qadiriah-naqsabandiyah.

Seorang petani yang, kata bapak saya, sangat cerdas, sehingga ketika terjadi paceklik di lingkungan sekitar, Mbah Maryadi tidak mengalami. Mabh Maryadi pandai memanfaatkan lahan tidur, dengan berbagai varietas tanaman, kalau di sawah, padi.

Di pekarangan beliau menanam suweg, gembili, uwi, gadung, ganyong, banten, bisono, ubi kayu, ubi rambat, dan lain sebagainya. Tetapi beliau juga pandai dalam pertukangan, kerajinan anyaman, handikratf, dan sebagainya. Sedangkan Mbah Putri Tulkiem, adalah pedagang beras, yang relatif sukses. Namun semuanya hidup dalam kesederhanaan.

Kecerdasan Mbah Maryadi dibuktikan dengan memondokan Alm. Pak De Suhadi dan Bapak. Bapak dipondokan di MWI Kebarongan, Darul Hikmah Bendo Pare Kediri, hingga sebuah pondok pesantren di Peterongan Jombang.

Selanjutnya di era PKI, Bapak bercerita, pulang dari pondok dan disangoni rotan dari kiainya, sebagai senjata menghadapi bahaya.

Bapak kemudian masuk Sekolah Guru Agama Atas (SGAA), suatu contoh bahwa keluarga itu sadar betul pentingnya pendidikan. Singkat cerita, Bapak kemudian menjadi guru agama.

Penempatan pertama kalau tidak salah, di Desa Kesugihan. Dan kemudian berpindah-pindah mulai dari Kedawung, Nusajati, Ketanggung, Tinggar Mangir Karangjati, hingga Beliau pun ngajar secara sukarela di MI Darwata II Gentasari. Sekolah disamping rumah kami.

Jadi, Bapak adalah guru orang-orang di wilayah antara Kedawung di Selatan, Karangjati di Utara, Nusajati-Ketanggung, di Barat. Suatu wilayah yang menurut saya sangat luas untuk seorang Nasri, yang bukan tokoh dengan nasab besar itu. Belum lagi pengabdian beliau di majelis-majelis taklim ibu-ibu muslimat. Beliau juga tidak segan-segan untuk mengajar TPQ di daerahnya.

Hujan seperti sahabat

Mungkin ini terkesan tahayul. Tapi itulah yang sering kami saksikan sepanjang hidup beliau bahkan sampai perayaan hari-hari wafat beliau. Sewaktu beliau masih hidup, jika hujan, beliau berdoa, maka hujan itu akan reda.

Pada waktu pagi hari menjelang beliau dimakamkan, saya memandang langit, dan keadaan begitu cerah. Tentu saya sangat senang, sebab semua prosesi akan berjalan lancar.

Namun tiba-tiba, di langit yang cerah itu, tiba-tiba saya melihat kilat petir yang diikuti suara der.. der… persis di langit atas rumah saya.

Saya kebetulan sedang berada di seberang jalan. Langit seketika berubah mendung. Dan hujan rintik-rintik kecil mulai turun. Saat itu antara jam 7-8 pagi. Baca juga Ribuan Umat Islam Menghantar KH Amin Jakfar ke Peristirahatan Terakhir

Pelayat mulai berdatangan.

Hujan rintik tidak menghalangi para pelayat untuk berdatangan, memberikan penghormatan terakhir untuk Bapak. Baca juga Ketika Kiai Wahab Hasbullah Hampir Ditangkap PKI

Di Masjid Baitul Mukhlisin, milik NU, juga sudah banyak pentakziah. Karena memang Bapak juga mau disholatkan di sana.

Bapak adalah salah satu imam masjid Baitul Mukhlisin. Bahkan pada hari Jumat sebelum wafatnya, wafatnya Sabtu Malam, tidak seperti biasanya Beliau yang memberi khotbah dan menjadi imam.

Di masjid Baitussyakur, milik Muhammadiyah, juga sudah banyak berkumpul orang. Parkir mobil dan motor mengular sepanjang jalan. Parkir mobil bahkan ke utara, sampai tanah pemakaman. Luar biasa, untuk tokoh selevel Bapak yang kiai Kampung.

Prosesi sholat jenazah sementara di dalam rumah. Karena rumah kami, yang cukup luas sebetulnya, tidak lagi mampu menampung takziyyin takziyat, maka jenazah Bapak dipindahkan ke halaman di bawah tenda tratag yang besar.

Saat itu hujan sudah turun lebat. Saya kemudian mengambil microphone, dan meminta hadirin untuk membaca fatihah, agar hujan segera reda. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Hujan bertambah lebat. Tapi para pelayat yang berdesakan itu, tetap pada posisinya, dan secara bergiliran, melakukan sholat jenazah untuk Bapak, dengan diimami berbagai kalangan kiai, termasuk datang seorang kiai dari Kampung Laut, yang konon, sahabat Bapak….(bersambung)

Penulis : Toufik Imtikhani
Editor: Naeli Rokhmah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button