4 Jenis Kader NU, Anda Yang Mana? | NU Cilacap Online

NU CILACAP ONLINE – Ada 4 jenis Kader NU, yaitu Kader NU Biologis, Idiologis, Sosioantropologis dan Politis. Bagaimana pengertian nya? Dan Anda di posisi Kader NU yang mana? Baca esai Taufik Imtikhani selengkapnya, berikut ini.

Nahdlatul Ulama (NU) adalah Ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Karena kebesarannya itulah, NU mudah dipandang, mudah dinikmati, dan mudah dieksplorasi. Bahkan pada kurun tertentu, dieksploitasi.

Banyak orang atau kelompok berlomba-lomba, baik yang bersifat politik-idiologis, atau a-politic dan a-idioligis, bahkan akademisi, untuk bisa menjadi bagian dari NU. Hal ini membuat kelompok lain menjadi iri dan dengki. Mereka berusaha melenyapkan NU dari Indonesia.

Namun mereka tentu tidak menyadari, bahwa proses alamiah yang panjang dari NU itu sendiri, telah melahirkan kader-kader Ulama dan umat yang militan. Mereka bahkan bersemboyan, pejah gesang nderek NU (hidup mati dalam keadaan ber-NU). Keberadaan kader-kader the new comer (yang mendadak NU, musiman dalam ber-NU), hanyalah sebagai pelengkap, sebagai ekses dari dinamika dan respons NU terhadap perkembangan jaman.

4 Kader NU

4 jenis kader NU adalah kadr NU biologis, kader NU Idiologis, kader NU Sosioantropologis dan Kader NU Politis. Masing-masing dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, Kader NU Biologis, yaitu kader yang memang lahir sebagai NU. Anak kandung NU, dari ayah-ibu NU. Nasabnya, sanad ilmunya, dan lingkungan tempat tumbuh kembangnya adalah tradisi NU. Genre ini bisa disebut juga dengan kader NU tradisionalis. Ini juga merupakan sebagian kebenaran yang pernah disampaikan almaghfurlah Fajrul Falakh tentang NU dan Muhammadiyah. Ini sudah saya paparkan beberapa waktu yang lalu.

Kedua, Kader NU Idiologis. Idiologi berasal dari bahasa Yunani, idios=cita-cita, dan logos=ilmu. Jadi, idiologi adalah ilmu tentang cita-cita. Idioligis, berarti, bersifat cita-cita. Apa cita-cita NU? Untuk mengerti cita-cita NU, tentu kita harus kembali kepada Khittah dan sejarah berdirinya NU. Ini agar mengerti kemurnian awal mula NU didirikan.

NU didirikan adalah sebagai ormas sosial-keagamaan, bukan untuk politik atau memperoleh jabatan, serta merawat praktek praktek tradisi keagamaan, seperti ziarah kubur, utamanya makam Nabi, praktek bermadzhab dalam fiqh, dan praktek berthoriqoh. Dalam perkembangannya, tentu pengaruh politik yang kuat, tidak bisa dikesampingkan. Maka, agar tidak menyimpang dari Khittah, idiologi politik NU adalah politik kebangsaan.

Baca juga

Ketiga, Kader NU Sosioantropologis, yaitu kader-kader NU yang mengembangkan tradisi pergaulan dengan mencontoh adab Nabi dan para ulama/ kyainya. Pun juga dalam praktik-praktik keagamaannya, seperti tradisi slametan, Yaasin dan Tahlil, Talkin, Qunut, dan lain sebagainya. Kader NU genre ini adalah ujung tombak aplikasi yang nyata dari manhaj Islam Nusantara, yaitu suatu praktek dan methode akulturasi tradisi nusantara dan Islam.

Keempat, Kader NU genre politis, yaitu kader NU yang menjadikan NU sebagai sarana politik, apakah NU sebagai jam’iyyah, atau partai yang dibentuk oleh NU. Mereka mengaku NU, sepanjang NU bisa memberi manfaat politis kepadanya. Termasuk memanfaatkan jaringan kyai.

Bila NU dipandang sudah tidak memberikan keuntungan politis kepadanya, maka dia akan keluar dari NU, bahkan berusaha menghancurkan NU, memusuhi NU, sebagai “cuci tangan” dari keterlibatannya dalam NU di masa lalu. Terhadap genre ini, NU harus hati-hati.

Rekruetmen kader (dan kaderisasi) harus betul betul memperhatikan rekam jejak seseorang, bukan sekedar visi misi yang bisa dibuat-buat. Atau hanya sebuah komitmen, yang bisa dikhianati. Genre politis ini hanyalah sekelompok avountir dan oportunis, yang bisa merusak NU dari dalam.

Jika NU ingin mengembang pengaruh politiknya, maka pilihlah kader NU dari genre bioligis, idiologis, dan sosioanthropoligis. Karena ini sebuah rekam jejak yang jelas. Tak perlu silau dengan janji janji politik kader NU dadakan yang berseliweran di sekitar kita.

Pojok Cilacap,100221
Kader NU Taufik Imtihani

 

 

 

 

 

 

Penulis: Taufik Imtikhani
Editor: Munawar A.M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button