Pesantren Sebagai Sub-Kultur

NU CILACAP ONLINE – Saya meminjam istilah Gus Dur, tentang pesantren sebagai ‘sub-kultur.’ Tak perlu saya sebutkan sumber, karena istilah Beliau sub-kultur itu sangat mutawatir, muktabar. Semua orang tahu, bahwa itu adalah ‘ tesis’ Gus Dur.
Yang dimaksud di sini tentu pesantren milik kiai NU. Karena pesantren milik kiai NU berbeda dengan pesantren yang lain, apalagi jaman kekinian.
Pesantren milik NU adalah pesantren yang lahir dari proses kultural. Ada yang disebut kiai, ngajar ngaji anak-anak tetangga, di rumahnya yang pasti sederhana. Kemudian ada suatu ruangan yang dijadikan musolla.
Lambat laun, proses itu berkembang. Murid tambah banya. Kemudian butuh ruangan khusus untuk belajar mengajar. kiai, atau bersama masyarakat mendirikan musolla, berkembang menjadi masjid.
Terus banyak santri dari luar daerah, butuh tempat menginap, demkian seterusnya, berkembanglah pondok pesantren.
Ini mirip sebuah perkembangan pasar. Ada pedagang satu dua, bertambah, terus bertambah. Butuh lapak, bangunan, distribusi, kemudian beragam jenis komoditas dijual, jadilah pasar, sebagai sub-kultur juga.
Jika kemudian pesantren ada pengurusnya, dewan pengasuh, dewan santri, itu adalah struktur, yang menjadi sarana mengurus orang banyak dengan berbagai keperluan, agar semuanya terpenuhi. Struktur adalah dinamikanya kultur. Baca juga Gus Khazam; Kiai dan Pesantren Kekuatan Roda Organisasi NU
Bandingkan dengan pesantren lain, yang ujug2 sudah berdiri bangunan megah dan fasilitas mewah. Baca juga Untuk Menjadi Orang NU, Harus Lahir Sebagai NU?
Baru setelah itu, mereka mencari murid untuk menjadi santri, dengan berbagai kampanye yang menarik hati. Baca juga Bahaya Ideologi Trans Nasional (Embrio Radikalisme)
Jadi, memang dinamikanya beda antara pesantren NU dan yang bukan NU.
Nah, saat ini, dunia Pesantren NU sedang diuji. Walau sebenarnya, ujian itu telah terjadi sejak lama, waktu demi waktu. Namun semua bisa selesai dengan mekanisme internal yang terbangun bersama konstruksi sub-kultur pesantren secara sosio-historis.
Namun ujian kali ini, memang beda. Karena ada kekuatan besar namun tak kelihatan. Kekuatan siluman. Saya tidak mau mengatakan, kekuatan iblis. Karena itu termasuk menfitnah iblis. Kecuali ada bukti di kemudian hari.
Kekuatan siluman. Siluman dalam diksi jawa, itu tidak terlihat. Invisible hand. Ini jelas by disign.
Apakah dilakukan sejak awal, tengah, atau belakangan. Ini tidak penting. Yang penting adalah, bahwa pada puncak kejadian, terlihat bahwa ada grand skenario untuk menjatuhkan marwah pesantren, terutama pesantren NU.
Starting point-nya adalah kejadian di Al Khoziny. Tak henti-hentinya para penggiat medsos, konten kreator, mengulas kasus ‘robohnya surau kami ‘(meminjam judul novel karya AA. Navis) dari perspektif mereka sendiri. Bahkan dari nafsunya masing-masing, demi like and subcribe, viral, populer.
Kemudian merambah ke Lirboyo. Momentumnya dibuat berurut agar waktu ‘ trending topik’-nya lebih lama. Dan ini justru di blow-up oleh media minstream TV Nasional Trans 7.
Kemudian ditangkap kembali oleh medsos untuk menimbulkan multiple-effect ke mana mana. Berita ini tidak sekedar viral, tetapi sangat-sangat masif. Sulit untuk membendung informasi yang datang bagai tsunami.
Orang NU dan para santri kemudian memberikan perlawanan yang sama. Disamping sibuk mencaounter berita, melalui berbagai kanal medsos, termasuk saya di Tiktok dan X, juga ada yang melakukan demonstrasi, termasuk di DPR. Demo santri di DPR dilakukan dengan mendendangkan nadhom alfiah imam malik.
Beberapa elemen NU, banser dan lain-lain, demo dengan cara yang berbeda. Atribut “militer” membuat mereka terlihat gagah, termasuk dalam hal orasi, ora usah basa basi, menuduh bahwa ada Wahabi, wawasannya hanya bid’ah, dibalik Trans 7.
Nah yang ini perlu dibuktikan. Wahabi dalam pengertian kelompok, jamaah, atau hanya orang yang punya pikiran seperti Wahabi. Ini harus jelas dan dicari buktinya yang konkret.
Belakangan pihak Trans 7, telah meminta maaf atas kegaduhan yang mereka buat. Sebagai orang NU, tentu kita harus memaafkan.
Orang meminta maaf artinya mengakui kesalahan. Tapi para provokator di luar sana, masih terus melemparkan panah dan tombak-tombak hasutan.
Kita harus memaafkan pihak Trans 7, karena saya yakin, mereka tidak paham soal firqoh-firqoh yang ada pada diri umat islam, dan pertentangan yang terjadi di antara mereka.
Walaupun apa yang ditayangkan Trans 7, jelas menjadi katalisator pertempuran di medan2 yang berbeda. NU tentu berada pada posisi yang dirugikan.
Ini takdir. Apapun rencananya, ini takdir. Ya, kita bicara takdir. Kata yang pertama harus kita resapi maknanya, agar kita punya sandaran vertikal.
Dan orang yang cerdas adalah orang yang bisa mengambil hikmah, i’tibar, dan tarbiyah dari setiap takdir yang terjadi. Dan saya yakin, orang NU, pasti di situ letak kelebihannya. Semua akan berakhir indah pada saatnya. (Toufik Imtikhani)