Trending

Syekh (Mbah) Masduqi Lasem, “Macan Putih” dari Pulau Jawa

NU CILACAP ONLINE – Syekh KH Masduqi bin Sulaiman Al Lasimy, atau kadang dengan sebutan Mbah Masduqi Lasem, mendapat julukan Macan Putih dari Pulau Jawa. Jejak Ulama NU Cilacap online kali ini menyajikan sejarah, kelahiran, pendidikan pesantren, karya, keteladaan dan keilmuan Syekh (Mbah) Masduqi Lasem.

Mbah Masduqi Lasem

Syekh (Mbah) Masduqi Lasem lahir sekitar tahun 1908 M di Desa Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang dari pasangan KH Sulaiman dengan Hj Nyai Khadijah (Qolmini). Dari jalur ayah nasab beliau bersambung ke Syekh As-Sayyid Mutamakkin Kajen Pati yang bersambung ke Raden Achmad Rahmatullah (Sunan Ampel).

Sejak usia dini Masduqi (kecil) dididik oleh ayahandanya sendiri. Kemudian ketika menginjak usia remaja atas petunjuk sang ayah dan pamandanya, KH Thayyib, melanjutkan jenjang pendidikannya di Pondok Pesantren Tremas. Waktu itu diasuh oleh Syekh KH Dimyathi bin Abdullah yang merupakan adik dari Syekh KH Mahfudz bin Abdullah (murid dari pengarang kitab I’anah ath-Thalibin) yang makamnya ada di Makkah.

Masduqi remaja menimba ilmu di Pondok Pesantren Tremas selama 11 tahun dengan rincian 3 tahun belajar dan 8 tahun mengajar. Salah salah satu dari sekian banyak murid Syekh (Mbah) Masduqi Lasem di Tremas adalah KH Hamid Pasuruan. Kemudian melanjutkan pendidikannya kepada Syekh KH Masyhud Pacitan.

Usai belajar dari Pondok Tremas Masduqi melanjutkan pendidikannya ke Tanah Suci Makkah al-Mukarramah selama 6 tahun. Di sana beliau belajar kepada Syekh Umar Hamdan al Maghrabi dan Syekh Muhammad Ali al Maliki al Hasani al Maghrabi.

Di sana Syekh (Mbah) Masduqi Lasem dipercaya menjadi pengajar di Haramain. Murid-muridnya semasa mengajar di Haramain banyak yang dari Indonesia. Di antaranya KH Bisyri Mustofa Rembang dan KH Masyhuri Rejoso Jombang.

Gelar Syekh di Makkah

Syekh (Mbah) Masduqi Lasem mendapat gelar Syekh karena termasuk salah satu ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram. Pada waktu itu sebutan Syekh dimiliki oleh 3 orang ulama, yaitu Syekh Masduqi Al Lasimy, Syekh Mahfudz at Turmusi (kakak kandung Syekh Dimyathi) dan Syekh Yasin al Faddani.

Sepulang dari Makkah Syekh Masduqi Lasem bertemu dengan Syekh KH Sayyid Dahlan, salah satu Masyayikh di Pekalongan, yang kemudian menikahkan putrinya, Nyai Hj Ma’rifah, dengan Mbah Masduqi.

Di Pekalongan Mbah Masduqi Lasem sempat mendirikan pesantren. Beberapa muridnya semasa di Tremas banyak yang pindah ke Pekalongan. Dengan harapan dapat melanjutkan belajarnya pada beliau.

Syekh (Mbah) Masduqi Lasem sangat terkenal kealimannya. Beliau termasuk ulama yang produktif menulis, hasil karyanya banyak dari beberapa fan ilmu. Setiap beliau mengaji suatu kitab, pasti diterangkan secara panjang lebar seakan mensyarahi kitab tersebut.

Setelah beberapa tahun tinggal di Pekalongan, Syekh (Mbah) Masduqi kembali lagi ke Lasem atas permintaan warga Lasem. Di Lasem Mbah Masduqi mendirikan Pondok Pesantren al Ishlah pada tahun 1950 M. Banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru untuk menimba ilmu darinya, di antaranya dari Jawa, Madura, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.

Hikayat Macan Putih

Sebelum adanya bangunan Ponpes al Ishlah, tanah yang akan dijadikan pesantren tersebut merupakan tempat judi, pelacuran dan tempat pembantaian PKI.

Jauh-jauh hari sebelum Syekh Masduqi dilahirkan, pejabat desa setempat mengeluh kepada Sayyid Abdurrahman (Mbah Sareman) –ulama asal Tuban yang tinggal di Lasem yang terkenal kewaliannya- dengan mengatakan, “Mbah, bagaimana tempat itu koq dibuat sarang maksiat?”

Kemudian Mbah Sareman mengatakan, “Akan ada Macan (harimau) Putih dari barat melewati sungai yang akan menempati tempat itu. Dan tanah itu akan menjadi tempat (produksi) ulama di Tanah Jawa.”

Yang dimaksud dengan “Macan Putih” adalah Syekh KH Masduqi dan yang dimaksud “sungai” adalah Sungai Bagan yang terletak ± 700 m sebelah barat tanah Ponpes al-Ishlah.

Mbah Masduqi Macan Putih Lasem

Murid Syekh (Mbah) Masduqi

Di antara murid-murid Mbah Masduqi adalah KH Ishomuddin Pati, KH Nur Rahmat Pati, KH Salim Madura, KH Makhrus Ali Lirboyo, KH Zayadi Probolinggo. Juga KH Abdullah Faqih Langitan, KH Miftachul Akhyar Surabaya, KH Jazim Nur Pasuruan,

Termasuk murid-murid Syekh (Mbah) Masduqi Lasem juga di antaranya adalah Kiai Mukhtar Luthfi Nganjuk, KH Imam Daroini Nganjuk, KH Zuhdi Hariri Pekalongan. Ada juga KH Taufiqurrahman Pekalongan, KH Abdul Ghani Cirebon, KH Abdul Mu’thi Magelang, KH Abdullah Schal Bangkalan, KH Masduqi Cirebon. Kemudian KH Makhtum Hannan Cirebon, KH Syaerozi Cirebon, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kisah-kisah Mbah Masduqi

Kisah berikut disarikan dari tulisan Gus M Robert Azmi dari penuturan Kiai Mukhtar Luthfi dan KH Imam Daroini (keduanya adik kandung Pendiri PP. Al-Fattah KH Nahrawi ZAM) Nganjuk yang merupakan murid dari Mbah Masduqi Lasem, mulai dari sisi ketawadhu’an, wira’i, tawakkal dan kesemangatan dalam mengajar.

Suatu ketika ada santri yang sowan Mbah Masduqi. Karena saking hormatnya, santri tersebut ingin mencium tangan Mbah Masduqi bolak-balik.

Namun yang mengejutkan beliau langsung menampik, dan berkata, “Awakmu marai ndeder racun nang atiku! (Apakah engkau ingin menumbuhkan bibit racun di hatiku)?” Kemudian beliau melanjutkan, “Masduqi kuwi sopo?” Akhirnya santri tersebut mengurungkan niatnya.

Sebuah hal lumrah bagi santri yang pulang ke rumah karena kangen dengan kampung halaman, dan merupakan kesunnahan untuk membawa oleh-oleh pada ulama. Namun tidak semua oleh-oleh diterima oleh Mbah Masduqi.

Syekh (Mbah) Masduqi Lasem sering bertanya pada santri yang membawa oleh-oleh, “Iki jajan tekan ngendi (Oleh-oleh ini dari mana)?” Jika si santri menjawab dari orang tuanya, maka Mbah Masduqi berucap “Alhamdulillah…”

Namun jika oleh-olehnya bukan dari rumah, Mbah Masduqi akan berkata, “Haram! Awakmu disangoni Bapak-Ibumu dingge sangu mondok, ora dingge nukokke jajan aku (Haram! Kamu dikasih uang Ayah-Ibumu untuk uang saku mondok, bukan untuk membelikanku oleh-oleh).”

Waktu mengaji Mbah Masduqi sering bercerita, “Aku kuwi anake bakul beras, budal mondok adol pitik, tak tukokne rokok, tak dol nang santri Tremas (Aku hanyalah anak pedagang beras, pergi mondok dengan menjual ayam, kemudian uangnya aku belikan rokok, dan kujual ke santri Tremas).”

Dalam kesempatan lain, waktu beliau ngaji, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Spontan santri yang mengikuti ngaji semburat melarikan diri.

Dengan tersenyum beliau berkata, “Santri, santri, koq wedi karo rohmate Pengeran.” Kemudian beliau dengan tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat pengajian dengan berpayungkan sajadah beliau.

Ada kisah Mbah Masduqi lainnya; pernah suatu ketika Kiai Mukhtar Luthfi mengikuti pengajian Tafsir Jalalain yang dikhatamkan hanya sebulan Ramadhan saja. Di tengah penat yang mendera dan kantuk yang sangat, banyak santri yang tertidur.

Tiba-tiba Mbah Masduqi menggebrak meja, “Bruaaakkk… Setane mlayu, setane mlayu,” diiringi tawa renyah beliau dan santri yang gelagapan bangun tidur.

Begitu pula sewaktu Mbah Masduqi menyemangati para santri agar tidak cepat puas dengan ilmu yang didapatkannya, beliau dawuh, “Nahwu-shorofmu kuwi opo? Urung enek sak kuku irengku (Ilmu nahwu-sharafmu seberapa sih? Belum ada secuil kuku hitamku).”

Mbah Masduqi dan Mbah Mat Jipang

Sebagai ulama yang ahli fiqih, nahwu, sharaf, tasawwuf dan banyak fan lainnya, sangatlah wajar apabila waktu mengaji Mbah Masduqi mengoreksi kitab yang dibacanya.

Syahdan, waktu itu beliau sedang membaca kitab Siraj ath-Thalibin karangan Syekh Ihsan Jampes Kediri, yang sekarang menjadi salah satu mata pelajaran di Universitas Al-Azhar Kairo. Mbah Masduqi sering berkata, “Iki keliru!” sambil langsung mencoret lafadz kitab tersebut dengan pena yang beliau bawa.

Kabar ini terdengar oleh Mbah Mat Jipang, salah seorang ulama Kediri yang sangat terkenal kecerdasannya. Sehingga masyarakat sekitar menjulukinya dengan Mbah Jipang, kepanjangan dari ngaji gampang.

Mendengar itu, Mbah Jipang langsung berangkat ke Pondok Lasem dengan menyamar sebagai orang desa. Kemudian beliau bertamu ke Ndalem Mbah Masduqi.

Setelah dipersilakan masuk, terjadilah adu argumen yang sangat tajam dan lama. Saking lamanya, debat antara Mbah Masduqi dan Mbah Mat Jipang terjadi beberapa hari. Istirahat hanya saat waktu shalat dan waktu istirahat malam.

Singkat cerita setelah debat usai, Mbah Masduqi mengakui keilmuan Mbah Jipang dan membenarkan Siraj ath-Thalibin yang disalahkannya.

Pada kesempatan lain, Mbah Masduqi berkata pada santri yang mengaji, “Aku kalah karo wong Kediri.” Latar belakang Mbah Masduqi menyalahkan beberapa lafadz kitab tersebut adalah karena kehati-hatian beliau.

Terbukti, selang beberapa waktu beliau berkata, “Syariat kuwi koyok dalan nang pinggir kali, nek minggir-minggir iso gampang kecemplung, sing aman nang tengah wae (Syariat itu ibarat jalan yang berada di pinggiran sungai, kalau terlalu ke pinggir akan mudah tergelincir, yang aman berjalan di tengah saja).”

Syekh (Mbah) Masduqi Wafat

Hadratus Syekh KH Masduqi Al Lasimy termasuk runtutan pewaris Tanah Jawa setelah kurun Syekh KH Asnawi Banten yang dikenal sebagai simbol Tombak Mangku Mulyo (Quthbul Jawi). Simbol tersebut merupakan warisan dari Syekh Subakir, orang pertama pembabat Tanah Jawa.

Mbah Masduqi wafat pada tahun 1975 M, tepatnya tanggal 17 Jumadil Akhir tahun 1396 H. dan disemayamkan di Pondok Pesantren al-Ishlah Lasem.

Sejak tahun itu Ponpes al-Ishlah diteruskan oleh puteranya, Syekh KH Hakim Masduqie, yang dilahirkan sekitar tahun 1942 M. Di usia yang sangat muda, 12 tahun, Syekh Hakim sudah mengajarkan kitab Jam’ al-Jawami’.

Di usia 17 tahun beliau menyusun karya tulis dalam fan ilmu tauhid berbentuk sya’ir yang dinamai “Nadzam Ibn Al Lasimyy”. Kemudian kitab tersebut disyarahi pada usia 40 tahun dan diberi nama “adz-Dzakhair al-Mufidah” yang sudah tersebar di berbagai penjuru negeri. Seperti Bangladesh, Makkah dan Yaman.

Karya tulis lainnya  dari Syekh (Mbah) Masduqi Lasem berjudul “Ghayat al-Maram fi Ahadits al-Ahkam” yang berhubungan dengan hadits-hadits Rasulullah Saw. Al Fatihah. (dari FP Ala_NU).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button