Risalah Aswaja KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Bagian-4)

NU CILACAP ONLINE Risalah Aswaja KH Muhammad Hasyim Asy’ari Bagian-4 ini memuat 2 (dua) pasal, masing-masing Pasal Wajibnya Taqlid bagi seseorang yang tidak memiliki keahlian untuk berijtihad dan Pasal Sikap Ekstra Hati-hati Di Dalam Mengambil Agama dan Keilmuan juga Sikap Antisipatif terhadap Fitnah yang dimunculkan oleh Para Ahli Bid’ah, Orang-Orang Munafiq dan Para Pemimpin Yang Menjerumuskan.

Berikut ini Risalah Aswaja Hadlratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari Bagian-4 dipersembahkan NU Cilacap Online NUCOM, selengkapnya sebagai berikut:

Dua pasal ini sangat relevan untuk dijadikan referensi terkait kenyataan di lapangan di mana saat sekarang ini telah terjadi gesekan pemahaman terhadap masalah-masalah keagamaan sampai pada tingkat yang menghawatirkan.

Munculnya Klaim Kebenaran dan Fitnah-fitnah dalam bentuk Takfir (pengkafiran), baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Terhadap hal tersebut, Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari sudah menuliskan dan menunjukkannya kepada kita semua.

PASAL WAJIBNYA TAQLID BAGI SESEORANGYANG TIDAK MEMILIKI KEAHLIAN UNTUK BERIJTIHAD

Menurut pandangan Jumhuril Ulama, setiap orang yang tidak memiliki keahlian untuk sampai pada tingkat kemampuan sebagai mujtahid mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa cabang keilmuan yang dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti (taklid) pada satu qaul dari para Imam Mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (Taklif) yang mewajibkannya untuk mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah satu Imam Mujtahid, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt :

فاسئلوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون

Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui

Dengan berdasar pada ayat ini, seseorang yang tidak mengetahui, diwajibkan oleh Allah Swt. untuk bertanya, Nah bertanya itu merupakan perwujudan sikap taqlid seseorang kepada orang yang ‘Alim. Firman Allah ini berlaku secara umum untuk semua golongan yang dikhitobi.

Secara umum pula firman Allah ini, mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan / konsensus Jumhur al Ulama. Karena sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman generasi sahabat, tabiin dan hingga zaman setelahnya, mereka wajib meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti fatwa-fatwa mereka dalam hukum-hukum syari ah dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk Ulama.

Baca Artikel Terkait

Pertanyaan esensial yang kemudian muncul adalah, mengapa harus mempertanyakan suatu hukum dan tuntutan syari at yang tidak diketahui?. Karena sesungguhnya para Ulamapun ketika menerima pertanyaan, mereka seringkali segera menjawab pertanyaan tersebut to the point tanpa memberi isyaroh untuk menuturkan dalil, di satu sisi ketika seorang Ulama melarang untuk melakukan sesuatu kepada orang yang awam, merekapun (awam) langsung menerimanya tanpa mengingkarinya.

Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid, disadari pula bahwa sama sekali orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami Al Kitab dan Al Sunnah dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan pemahaman Ulama ahli Al Haq yang agung dan terpilih. Sesungguhnya orang yang ahli bid’ah dan berperilaku menyimpang, mereka memahami hukum-hukum secara bathil dari Al Kitab dan Al Sunnah, pada kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.

Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk tetap eksis / konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam Al – Syafi’i ra., tidaklah selamanya ia harus mengikuti madzhab ini, bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain selain Al – Syafi’i. Seorang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pelacakan / pencarian sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitabpun yang ada sebagai reverensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan bahwa saya adalah bermadzhab Al-Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah sebagai pengakuan bilamana hanya sekedar ucapan belaka.

Tetapi menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa; ketika seorang awam itu konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihanya. Karena jelas seorang Awam itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar. Maka konsekwensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi ketentuan madzhab yang ia yakini.

Bagi seseorang yang taqlid ( مقلّد ) boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah masalah yang timbul padanya. Misalnya saja ia taqlid pada satu imam dalam melaksanakan shalat dhuhur, dan ia taqlid dan mengikuti imam lain dalam melaksanakan shalat ashar. Jadi taqlid setelah selesainya melakukan sebuah amal/ ibadah adalah boleh.

Untuk memahami hal ini dapatlah digambarkan sebuah masalah: Bila seorang yang bermadzhab Syafi’i melakukan shalat dan ia menyangka ( ظن ) atas keabsahan shalatnya menurut pandangan madzhabnya, ternyata kemudian menjadi jelas bahwa shalatnya adalah batal menurut madzhab yang dianutnya, dan sah bila menurut pendapat yang lain, maka baginya boleh langsung taqlid pada madzhab lain yang mengesahkan shalatnya. Dengan demikian cukup terpenuhilah kewajiban shalatnya.

Baca Artikel Terkait

1 2Laman berikutnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button