Internalisasi Islam Rahmatan Lil Alamin Dalam Politik Indonesia

Tinjauan Paradigmatik Perspektif PKB

NU CILACAP ONLINE – Konsep Islam Rahmatan Lil Alamin merupakan konsepsi nilai universal agama Islam; bagaimana proses Internalisasi Islam Rahmatan Lil Alamin dalam paradigma pembangunan politik di Indonesia? Bagaimana pandangan para Ulama seperti KH Abdurrahman Wahid, KH Hasyim Muzadi tentang konsep Islam Rahmatan Lil Alamin?

Islam, Demokrasi dan Politik

Sistem demokrasi di Indonesia dan tumbuhnya partai-partai politik menunjukkan bahwa demokrasi di indonesia mulai berkembang. Perkembangan sistem demokrasi ini memiliki tujuan untuk mewujudkan cita- cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam alinea ke-4 teks Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.

Berkembangnya sistem politik di Indonesia juga disertai dengan tumbuhnya partai politik. Partai politik tumbuh dengan dilandasi oleh ideologi dan gagasan-gagasan tentang tujuan pembentukan partai politik itu sendiri. Sedangkan kemunculan partai politik di Indonesia dilandasi oleh ideologi yang berdasarkan pada agama dan nilai-nilai Pancasila. Begitu pula visi misi dari masing-masing partai politik yang merupakan buah hasil dari pemikiran filosofis yang melandasi partai politik tersebut. (Yumitro, 2013)

Bicara tentang demokrasi yang berjalan di Indonesia, maka perlu diketahui pula bahwa perkembangan demokrasi di indonesia pasca era reformasi mulai diwarnai dengan keberadaan partai-partai islam khususnya PKB. Adapun partai Islam, berkaitan erat dengan pemahaman terhadap hubungan antara Islam dan politik. mendefinisikan bahwa politik Islam terdiri dari berbagai partai dan gerakan yang menginginkan penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik dan sosial. Dengan makna yang sama,

Dengan makna yang sama, Olivier Roy menjelaskan bahwa partai dan gerakan Islam merupakan kelompok aktivis yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik sebagaimana mereka memahami agama. (Yumitro, 2013)

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, istilah rahmatan lil alamin sangat tepat dihubungkan dengan istilah politik. Hal itu tentu tidak hanya sekadar hubungkan atau disandingkan saja dalam sebuah frasa, akan tetapi juga untuk dijadikan sebagai suatu prinsip yang wajib dimaknai dan diejawantahkan dalam kehidupan politik sehari-hari. Oleh karena itu, sangat tepat jika setiap partai politik selalu mengusung istilah itu dalam setiap perjuangan politiknya.

Siring berjalannya waktu, politik rahmatan lil alamin pun semakin dapat relevansinya mengingat pada praktik politik kita dewasa ini dinilai cenderung mengalami kemunduran, selain itu hanya menjadi sekadar perjuangan kuasa demi memperoleh kuasa semata.

Politik dewasa ini bukan lagi dimaknai sebagai perjuangan mewujudkan kebajikan bersama. Akhirnya, kebajikan dasar kehidupan suatu bangsa yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila, seperti: ketakwaan, peri kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan, mengalami kini telah mengalami pengerdilan. (Republika, 2014).

Dalam hal ini, sering kali agama seringkali menjadi pihak yang dipersalahkan ketika konflik meledak. Momentum persengketaan dan permusuhan yang terjadi akhirnya berimbas pada persoalan agama. Di berbagai medan konflik, warga muslim sering menjadi pihak tertindas.

Kaum muslim menjadi kelompok besar yang diam di tengah medan konflik, yang tak dapat menyuarakan aspirasi dan argumentasi secara proporsional. Karena, akses informasi dan relasi kuasa yang sangat terbatas.(nu.or.id).

Desain Agama Rahmatan Lil Alamin

Islam merupakan sebuah agama yang dipercaya sebagai agama yang memiliki sifat universal, dinamis, dan humanis. Islam juga dipercaya sebagai agama yang akan kekal sepanjang waktu. Agama yang memiliki kitab suci Alquran ini juga dipercaya telah memiliki orisinal dari Allah swt, dengan rosul terakhir-Nya, yaitu nabi Muhammad Saw. Sebagaimana yang telah termaktub dalam Q.s. al Ahzab/33:40.(Rasyid, 2016)

Dalam ajaran Islam tidak hanya diperuntukkan kepada satu kelompok atau wilayah saja, melainkan ajaran Islam untuk seluruh umat manusia yang berada di alam semsta ini. Namun demikian, konstruksi universalitas Islam dalam kalang umat muslim sendiri tidak selalu sama. Terdapat salah satu kelompok yang mengartikan bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad yang dilahirkan dan berbudaya Arab itu sudah final, sehingga semua yang melekat pada diri nabi termasuk budayanya harus diikuti sebagaimana adanya.ada pula kelompok lain yang mendefinisikan universalitas ajaran Islam merupakan ajaran yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, sehingga kelompok tersebut menyatakan dapat masuk pada budaya apapun.(Luthfi, 2016)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelompok yang pertama menginginkan untuk menyeragamkan seluruh budaya yang ada di dunia menjadi satu. Sementara pada kelompok yang kedua menginginkan Islam sebagaimana nilai yang dapat mempengaruhi seluruh budaya yang ada. Dengan kata lain Islam diwujudkan dalam bentuk nilai bukan dalam bentuk fisik dari budaya yang ada. Berdasarkan pada dua jenis kelompok tersebut dapat dikakan bahwa kelompok yang pertama sama dengan kelompok yang bersifat funamental sedangkan kelompok yang kedua merupakan kelompok yang bersifat substantif.

Untuk lebih dalam memaknai Islam sebgai agama yang rahmatan lil alamin, maka perlu ditinjau berdasarkan makna harfiyahnya. Adapun kalimat Islam rahmatan lil alamin terdapat kata “rahmat” yang memiliki makna kelembutan yang terpadu dengan rasa keibaan. Sebagaimana Ibnu Faris memaknai kata tersebut dengan merujuk pada sebuah kelembutan hati dan belas kasih. Sedangkan dari kata tersebut muncullah kata ‘rahima’ yang memiliki arti ikatan darah, persaudaraan dan hubungan kekrabatan. Dipertegas oleh Al-Asfahani bahwa di dalam konsep “rahmat” kebaikan tanpa belas kasih. Artinya, jika kata rahmat itu disandarkan kepada Allah Swt maka akan bermakna “kebaikan semata-mata” dan jika disandarkan kepada manusia maka diartikan sebagai “simpati semata”.(Rasyid, 2016)

Konsep rahmat dalam al-Quran disebutkan bahwa yang termasuk pada kategori rahmat adalah seluruh bentuk kebaikan dan segala hal yang bermanfaat untuk manusia di dunia ini maupun nanti di akhirat. Kata rahmat adalah bentuk antonim dari kata mudharat dengan segala macam bentuknya. Oleh karena itu diebutkan kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad. Berdasarkan pada sifat tersebut Rasulullah menebarkan Agama Islam sebagaimana yang termaktub dalam QS. Ali Imran ayat 159. Kemudian sifat rahmat tersebut juga diwariskan kepada para sahabat Nabi. (Hefni, 2017)

Dalam kesinambungan sifat rahmat dari Allah kepada Nabi kemudian diwariskan kepada sahabat Nabi itu menjadikan suatu konsep rahmat yang kukuh dalam agama Islam sendiri. Meskipun sifat rahmah dimanifestasikan dalam wujud kelembutan,keakraban, dan penuh kasih sayang, akan tetapi sifat-sifat tersebut tidak kemudian menghilangkan sifat ketegasan, keperkasaan, dan keberanian mereka dalam menghadapi kedzaliman, serta penyimpangan, dan bahkan segala macam manipulasi di dunia ini.

Selain sifat rahmat yang telah digambarkan seperti di atas perlu diketahui pula bahwa bentuk rahmat Allah dalam al-Quran itu terdapat tiga bagian, yang pertama, yaitu rahmat Allah untuk seluruh manusia. Kedua, rahmat Allah yang khusus untuk orang yang beriman. Sedangkan yang ketiga, rahmat Allah untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Penjelasan bahwa rahmat Allah untuk Seluruh Manusia, yaitu dalam konsep, Islam rahmat Allah berarti memberikan perhatian tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Dengan kata lain, semua manusia mendapatkan rahmat ddari Allah, baik dia dekat dengan Allah maupun jauh, mukmin atau kafir. Menebar rahmat akhirnya juga menjadi bagian dari tugas Nabi Muhammad saw sebagai komitmen dirinya untuk menjadi Rasul penebar rahmat untuk semesta alam. Rahmat untuk manusia dapat dikelompokkan dalam empat bagian: pertama, rahmat yang terkait dengan fisik, kedua, rahmat terkait dengan batin, ketiga, rahmat yang terkait dengan fitrah, dan keempat, rahmat terkait dengan akal.

Sementara, lebih spesifik, Islam dikatakan sebagai agama yang mengusung jargon “rahmatan lil-‘alamin”. Jargon tersebut selalu dicoba diwujudkan dalam praktek kehidupan umat muslim dengan pola yang beranekaragam. Rasionalisasi-pun sangat dibutuhkan saat Islam mencapai tahap menyebaran. Oleh Sebab itu, dengan jargon tersebut Islam diharapkan agar dapat masuk ke pelbagai aspek. Karena dengan demikia, kehadiran Islam akan lebih bisa diterima oleh semua kalangan dan dapat dipertanggung jawabkan secara rasional.

Pada ranah praktis, seringkali jargon rahmatan Lil alamin tidak dapat dipahami secara utuh oleh manusia pada umumnya, dan umat muslim khususnya. Salah satu contoh ketika nilai-nilai dalam Islam yang bersumber dari wahyu mencoba pakai dalam praktek kehidupan (habitual actions) seringkali diklaim sebagai kebenaran utuh dan tunggal, dengan menafikan tafsir-tafsir lain. Padahal tidak ada kebenaran yang utuh dan tunggal. Pada hakikatnya kebenaran itu selalu terjalin antara satu dengan yang lain, ibarat sebuah benang yang dirajut hingga menjadi sehelai kain. (Kompasiana, 26 juni 2015)

Islam sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin Menurut Para Ahli

  1. Islam Rahmatan lil Alamin Menurut KH Hasyim Muzadi

Di dalam menelaah gagasan Islam Rahmatan lil Alamin perspektif KH Hasyim Muzadi, merujuk kepada sumber primer, yakni Islam Rahmatan lil Alamin menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia (Perspektif Nahdlatul Ulama). (Rasyid, 2016).

Lebih lanjut KH Hasyim Muzadi menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmat untuk semesta alam sekaligus sebagai penyempurna bagi agama-agama sebelumnya sehingga menjadikan Islam sebagai agama yang cukup istimewa. KH Hasyim Muzadi.

Dengan mengusung gagasan Islam Rahmatan lil Alamin, ia berhasil menghadirkan wajah Islam yang khas, menyeluruh, dan komprehensif, dibandingkan istilah Islam yang Liberal, Islam Progresif, Islam Nusantara dan istilah Islam yang lainnya.

Ada beberapa metode yang beliau gunakan dalam menyampaikan konsep tersebut: pertama, melalui sebuah pendekatan dakwah, pendekatan hukum serta pendekatan politik. Ketiganya, dapat membawa Islam dengan lemah lembut, damai dan penuh rahmat, di beberapa negara yang memiliki beragam suku, etnis, agama dan budaya.

Berdasarkan pada beberapa landasan seperti psikologis, historis dan realistis yang melatarbelakangi Islam rahmatan lil alamin untuk dikampanyekan ke dunia.

Gambaran sikap dan pola dakwah tawassuth (moderat), i’tidal (tegak), tasammuh (toleran) dan tawazun (seimbang), menjadikan salah satu organisasi Islam seperti NU ini memiliki ciri khas dan wajah yang berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya.

Empat pilar dakwah yang dijalankan secara proporsional, menjadikan NU kondusif menerima perbedaan di tengah-tengah pergulatan pemikiran di Indonesia. Bahkan NU dianggap sebagai organisasi peyanggah moderasi Islam di Indonesia.

Kebiasaan-kebiasaan menerima hal yang berbeda inilah kemudian dapat menghantarkan NU menjadi lebih dewasa dalam menatap masa depan dan menyebarkan ajaran Islam, dengan visi Islam yang rahmatan lil alamin. D

alam praktiknya, seperti Islam yang memberi rahmat kepada siapa pun, baik non-Muslim yang ingin masuk Islam pun tidak ada unsur paksaan dan tekanan apa pun. Sebagaimana Konsep ukhuwah Islamiyah (hubungan sesama orang Islam) yang dideklarasikan Nabi Muhammad, telah termaktub dalam Piagam Madinah, hal itu juga dapat menginspirasi lahirnya sikap dewasa dalam menyikapi sebuah perbedaan.

Dengan demikian Islam rahmatan lil alamin menurut pandangan KH Hasyim Muzadi sebagaimana maknanya, yaitu Islam yang membawa pada sebuah Keadilan dan Perdamaian Dunia, karena sifatnya yang universal sehingga makna yang terkandung adalah untuk semua makhluk sejagat raya ini, tidak memandang siapa manusianya, apa agamanya, apa negaranya dan sebagainya.

  1. Islam Rahmatan lil Alamin Menurut KH Abdurrahman Wahid

Islam rahmatan lil alamin menurut Gus Dur harus tampil sebagai pemersatu bangsa dan pelindung bagi keragaman serta mampu menjawab tantangan masa sehingga Islam lebih toleran, egaliter, inklusif, dan demokratis.

Nilai Islam yang esensial dan universal lebih diutamakan dari pada hanya sekedar legal-simbolis. Islam juga dikatakan telah mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa membawa “embel-embel” atau atribut yang melekat pada Islam itu sendiri, akan tetapi ruh keislaman telah menyatu dalam wajah nasionalisme, yaitu:

  1. Pribumisasi Islam; Agama dan budaya ibarat sebuah uang logam yang tidak dapat Agama Islam diyakini bersumber pada wahyu yang bersifat normatif, maka cenderung menjadi kekal. Sedangkan budaya adalah ciptaan manusia, maka dari itu perkembangannya selalu mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah-ubah. Perbedaan ini tidak lantas menghalangi kemungkinan terwujudnya kehidupan beragama dalambentuk budaya. Inti dari pribumisasi Islam adalah suatu kebutuhan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang cukup sulit untuk terhindarkan.
  2. Nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia; inti dari yang terkandung dalam nillai-nilai demokrasi dan hak asai manusia adalah terwujudnya suatu keadilan dan kesejahteraan hidup lahir maupun batin, baik secara material maupun
  3. Prinsip humanis dalam pluralitas masyarakat; dalam hal ini diharapkan bahwa dalam bernegara perlunya menjunjung tinggi kemanusiaan sehingga tidak ada lagi konflik yang berkepanjangan baik antar suku, ras, golongan maupun yang mengatasnamakan agama di berbagai pelosok di Indonesia. Sebab jika masih terdapat konflik yang berkepanjangan itu menunjukkan belum adanya penghargaan terhadap kemanusiaan sehingga dengan mudahnya orang main hakim
  4. Prinsip Keadilan dan egaliter; Demokrasi akan dinilai berkeadilan jika ada kesetaraan (egalitarianisme) warga masyarakat baik di depan hukum, undang-undang, maupun dalam lembaga birokrasi dengan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa adanya diskriminasi baik warna kulit, pribumi-keturunan, etnis, gender, idiologi, maupun agama.

Konsep Islam Rahmatan Lil Alamin Dalam Konteks PKB

Istilah rahmatan lil alamin pada dasarnya jarang disandingkan dengan istilah politik dalam bentuk sebuah frasa. Umumnya, istilah itu melekat dengan makna Islam sebagai sebuah Din atau jalan hidup. Jika dimaknai secara bebas, pemahaman rahmatan lil alamin itu dapat merujuk pada dua hal.

Pertama, yaitu alam semesta mendapat manfaat dengan diutusnya seorang Nabi yang bernama Muhammad Saw. Diyakini bahwa bagi orang mukmin yang mengikuti beliau, akan mendapat kemuliaan di dunia maupun di akhirat.

Kedua, yaitu Islam adalah sebuah rahmat bagi setiap manusia, namun khusus untuk orang yang beriman, mereka akan menerima rahmat serta mendapatkan manfaat di dunia juga di akhirat.

Pada konteks yang lain khususnya politik, nilai-nilai yang terkandung dalam istilah rahmatan lil alamin diharapkan pula dapat melekat di dalamnya. khususnya Islam sebagai sebuah agama yang mengatur banyak hal termasuk hal yang berkaitan dengan politik.

Dengan kata lain, politik dapat artikan sebagai upaya menyerupai istilah rahmat dan keselamatan bagi alam semesta tanpa terkecuali. Politik rahmatan lil alamin juga dimaksudkan sebagai politik yang mengedepankan keberpihakan pada kepentingan umum dan kehidupan alam semesta.

Sebagaimana dasar pemikiran politik seorang Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, beliau tidak bisa terlepas dari kenyataan bahwa beliua berada pada posisi beyond the symbols, yaitu berbagai macam simbol atau peran melekat dalam dirinya.

Sebagaiamana Gus Dur memahami realitas sosial dengan multidimensi, sehingga menanggapi realitas tidak hanya bersifat monolitik.

Secara sitematis Gus Dur melihat universalisme Islam dalam berbagai jaminan dasar Islam berdasarkan pada martabat manusia yang meliputi beberapa hal seperti berikut ini:

  1. Jaminan atas keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan jasmani di luar ketentuan
  2. Jaminan atas keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada unsur paksaan untuk berpindah
  3. Jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan, yang akan menampilkan sosok moral, baik moral dalam arti kerangka etis maupun kesusilaan.

Jaminan keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum, serta jaminan atas keselamatan profesi yang merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu.

Lebih lanjut, Gus Dur menjelaskan bahwa aplikasi dari ajaran Islam yang universal, atau dengan kata lain dikenal dengan istilah Islam rahmatan lil alamin itu tidak akan terjadi tanpa sikap terbuka terhadap peradaban yang lain, yang membuat Islam bersikap secara kosmopolitan atau memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. sikap terbuka tersebut memiliki unsur dominan, seperti kuatnya pluralitas budaya, hilangnya batasan etnis, dan terciptanya keberagaman politik.(Asmara, 2017)

Dengan demikian, yang menjadi orientasi Gus Dur adalah kepada kesejahteraan rakyat, karena dengan adanya kesejahteraan itulah dapat membuktikan demokratis atau tidaknya sebuah kehidupan di dalam masyarakat.

Dengan pemikiran Gus Dur yang dinilai liberal itu telah mempengaruhi banyak kalangan, salah satu di antaranya adalah suatu partai Islam, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Asas yang menjadi pemikiran Gus Dur tidak lepas dari aspek nasionalisme dan Islam, yang keduanya itu dituangkan dalam AD/ART PKB sehingga menjadikan Pancasila sebagai asas partai. Berkenaan dengan penentuan nasionalisme dan demokrasi yang dijadikan landasan dasar PKB dari pada dasar agama, Gus Dur mengatakan bahwa PKB lebih mengutamakan kepentingan nasional.

Jika dikaitkan dengan Islam, menurut Gus Dur PKB tidak harus mengusung simbol-simbol Islam karena pada dasarnya PKB sudah menerapkan nilai yang terkandung dalam Islam. Berdasarkan hai itu, Gus Dur mengatakan:

“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB adalah Partai Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan mereknya saja. Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. Dan PKB tidak mementingkan mereknya, tapi isinya”.

Dengan kata lain, satu-satunya alasan pemakaian Pancasila sebagai asas partai itu dilandasi oleh cara pandang tokoh PKB dalam melihat Islam, Islam dipandang tidak perlu dilembagakan secara formal, akan tetapi yang lebih utama adalah nilai ajaran Islam itu harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

Hal itu senada dengan Alwi Sihab yang pemikirannya dipengaruhi oleh Gus Dur, ia menegaskan bahwa agama idealnya dapat mendorong proses demokratisasi bukan malah menjadi alat legitimasi  politik. (Asmara, 2017).

Dari visi-misi PKB, Alwi menilai bahwa partai tersebut merupakan partai yang terbuka dan inklusif yang memiliki cita-cita untuk mewujudkan masyarakat bermoral, bukan untuk membentuk sebuah negara yang berasaskan syari‘at Islam.

Karena menurutnya, apabila masyarakat telah menerapkan moralitas dengan sendirinya akan membentuk negara yang bermoral pula. Bukan hanya asas, sistem, dan bentuk yang diutamakannya, melainkan tetapi yang terpenting adalah upaya untuk menanamkan substansi dan hakikat Islam dalam menciptakan manusia yang beradab.

Dikatakan pula bahwa agama dan demokrasi juga sangat berkaitan, karena nilai-nilai substansinya telah mendukung proses terciptanya demokrasi, di antaranya adalah pemerataan, persamaan, dan keadilan.

Alwi menegaskan kembali bahwa yang menjadi tujuan Islam adalah untuk menciptakan masyarakat yang bermoral tinggi bukan menciptakan negara yang berlandaskan agama karena demikian hanya akan memecah belah kesatuan bangsa.

Kesimpulan

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa internalisasi Islam rahmatan lil Alamin dalam paradigma pembangunan politik Indonesia sangatlah diperlukan.

Adapun di dalam melakukan internalisasi nilai  tersebut adalah dengan cara praktik dakwah secara politik dengan berpegang pada prinsip tawassuth (moderat), i’tidal (tegak), tasammuh (toleran) dan tawazun (seimbang).

Selain itu juga memerlukan penerapan gagasan Gus Dur yaitu Pribumisasi Islam, Nilai-Nilai Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia, Primsip Humanis Dalam Pluralitas Masyarakat, Prinsip Keadilan Dan Egaliter.

Baca Juga >> 9 Pedoman Politik Warga NU | NU Cilacap Online

Judul Asli Artikel Internalisasi Islam Rahmatan Lil Alamin Dalam Paradigma Pembangunan Politik Indonesia, ditulis oleh Hj. Siti Rosidah, S.Ag Anggota FKB DPRD Jawa Tengah

Daftar Pustaka

Asmara, M. (2017). Islam dan Pluralisme Dalam Pembangunan Politik di Indonesia (Perspektif Pemikiran Abdurrahman Wahid). Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan,Vol 2, No 1.

Hefni, H. (2017). Makna dan Aktualisasi Dakwah Islam Rahmatan lil ‘ Alamin di Indonesia. 1, 1–20. https://doi.org/10.15575/idajhs.v11i1.1438

Luthfi, K. M. (2016). Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal. SHAHIH : Journal of Islamicate Multidisciplinary, 1(1), 1. https://doi.org/10.22515/shahih.v1i1.53

Prihatin, N. A. (2018). Islam dan demokrasi: Sebuah Ijtihad Partai Politik Islam (Studi Kasus Partai Masyumi Dan Partai Keadilan Sejahtera). MOZAIK: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Dan Humaniora, 8(1), 69–93.

Rasyid, M. Makmu. (2016). Islam Rahmatan Lil Alamin perspektif KH Hasim Muzadi.EPISTEME, 11(1),93–116.

https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.1.93-116

Saputro, A. (2019). Agama Dan Negara : Politik Identitas Menuju Pilpres 2019. 111–120.

Yumitro, G. (2013). Partai Islam dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia.

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 17(1), 35–50.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button