Diaspora NU dan Diplomasi Islam Moderat di Arab Saudi

NU CILACAP ONLINE – Seperti apa peran diaspora NU (warga Nahdlatul Ulama) dalam diplomasi, membangun, mengampanyekan dan mendakwahkan Islam Moderat di Arab Saudi? Artikel berikut ini menjelaskan fakta terkini, silakan disimak selengkapnya.

WARGA asal Indonesia yang tinggal di luar negeri, biasa dikenal dengan istilah diaspora Indonesia, merupakan aset penting dalam diplomasi budaya Nusantara di negara-negara sahabat. Satu di antaranya diaspora (muqimin) warga Nahdlatul Ulama (NU) yang tinggal di Arab Saudi. Di tengah semangat pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mengampanyekan tradisi Islam moderat khas Indonesia ke penjuru dunia, peran warga NU di luar negeri, khususnya di Arab Saudi, sangat penting bagi jalur diplomasi yang diperankan aktor selain negara.

Peran warga NU, yang dikenal sebagai agen tradisi Islam wasathi (Islam tengah atau moderat), atau Islam paham ahlu as-sunnah wa al-jamaa’ah (aswaja), di pusat Islam aliran Wahabi ini, telah berlangsung lama. Sejarah hubungan antara Nusantara dan negeri Hijaz (sekarang Arab Saudi) sudah berlangsung sebelum lahirnya era negara bangsa.

Jejak tradisi keilmuwan dan keagamaan Nusantara itu masih terlihat di Arab Saudi hingga hari ini, dilestarikan warga NU. Komitmen pemerintah Saudi, dengan moderasi Islam, membuka peluang bagi warga diaspora NU untuk meningkatkan peran diplomasi kulturalnya, melalui dakwah Islam aswaja yang moderat.

Living NU di Arab Saudi

Selain masih banyak generasi muda NU yang mempelajari ilmu-ilmu keislaman di beberapa majelis ilmu di Makkah dan Madinah, tradisi keagamaan warga NU di Arab Saudi secara umum masih semarak. Kemudahan akses teknologi informasi (IT) semakin menjadikan transformasi nilai-nilai ke-NU-an lebih cepat tersosialisasikan, di kalangan warga diaspora NU. Melalui akses teknologi digital dakwah Islam moderat ala NU tersebut dapat dilakukan secara kreatif dan menarik kepada masyarakat Saudi, bahkan dunia Islam (Eickelman, 2005; Mandaville, 2001).

Artikel Terkait

Berdasarkan data resmi pemerintah Saudi, terdapat sekitar 360 ribu warga negara Indonesia di seantero kerajaan Islam terbesar di dunia ini. Jika digabung dengan WNI yang tidak tercatat (undocumented), angka tersebut bisa menyentuh sekitar 1 jutaan.

Baca juga PCINU Sebagai Duta Damai & Diplomasi NU Internasional

Dari jumlah itu, menurut Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Arab Saudi, mayoritas adalah warga Nahdlatul Ulama. Dugaan tersebut bukan tanpa alasan. Sepanjang pengetahuan penulis, saat menghadiri acara keagamaan yang diadakan organisasi kedaerahan warga Indonesia di Riyadh, misalnya, teramat sering diawali dengan bacaan Surah Yasin dan tahlil bersama. Bacaan Barjanzi dan selawat, kadang diiringi musik rebana (marawis), menjadi agenda utama dalam tiap peringatan Maulid Nabi.

Tidak sebatas acara keagamaan. Warga NU juga secara rutin memperingati hari-hari besar nasional, seperti hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan RI 17 Agustus, dan Hari Pahlawan pada tiap November. Kegiatan terbaru adalah acara tahunan Haul Gus Dur, Presiden Ke-4 RI, yang diisi dengan diskusi kebangsaan, dan pemikiran cucu pendiri NU, serta dihadiri berbagai organisasi paguyuban warga Indonesia di Arab Saudi. NU menyatukan dan melestarikan semangat nasionalisme warga diaspora.

Kehadiran warga NU di Arab Saudi sudah terbilang lama. Setidaknya sejak era 1980-an saat pemerintah Orde Baru memberlakukan kebijakan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi. Sebelum era itu, tercatat banyak warga Indonesia bermukim di Makkah dan Madinah. Entah sebagai pekerja lepas musim haji-umrah entah sebagai pencari ilmu di baik lembaga pendidikan formal (madrasah), maupun majelis-majelis taklim yang diasuh sejumlah ulama berpaham aswaja.

Salah satu lembaga pendidikan formal yang berpengaruh adalah Madrasah Shaulatiyah di Makkah. Madrasah yang didirikan Syeikh Rahmatullah bin Khalil al-Rahman, ulama asal India pada paruh kedua abad ke-19, itu mempunyai peran penting dalam tradisi keilmuwan warga NU di Makkah. Madrasah yang sekarang berlokasi di kawasan Ka’kiyah, Makkah, ini menjadi tujuan kebanyakan warga NU asal Madura, Medan, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat /NTB), yang menuntut ilmu-ilmu keislaman.

Kebanyakan dari mereka adalah putra (para gus) pimpinan pesantren daerah asal mereka. Meneruskan tradisi para guru di masa lalu, yang pernah belajar di Shaulatiyah, tegas para gus tersebut. Di madrasah berasrama ini, terdapat juga santri asal negara lain, seperti Myanmar, Pakistan, Yaman, Bangladesh, dan India.

Baca juga PCINU, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama

Di masa lampau, peran Madrasah Shaulatiyah tidak bisa dilepaskan dari empat tokoh ulama moderat di Indonesia. Mereka pernah mengenyam pendidikan di Shaulatiyah. Tiga dari mereka adalah tokoh pendiri organisasi masyarakat (ormas) Islam moderat Indonesia. Mereka adalah Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Persarikatan Muhammdiyah), Hadratus Syaikh Hasyim Ásyari (pendiri Nahdlatul Ulama), dan Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid al-Ampanani (pendiri Nahdlatul Wathan). Yang terakhir adalah Tuan Guru Syeikh Musthafa Husein Nasution al-Mandaili, tokoh NU dan pendiri Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing, Sumatra Utara.

Tradisi keilmuwan warga NU juga berlangsung melalui sejumlah pengajian rutin yang dilakukan para ulama. Salah satunya adalah pengajian Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, ulama karismatik kelahiran Makkah yang memiliki murid tersebar di Indonesia. Sepeninggal Sayyid Maliki, pengajian rutin diteruskan keturunannya.

Daya tarik pengajian Syeikh Maliki sangat besar di kalangan warga NU Kota Makkah. Majelis ilmu ini tak jarang menjadi ajang silaturahim warga NU yang bermukim di Haramain, dengan Nahdliyin dari Tanah Air yang tengah melaksanakan umrah. Fakta ini menunjukkan tradisi Islam yang bersifat jarak jauh (long distance), bahkan global, di antaranya, tradisi keagamaan (dengan ‘t’ kecil), warga NU dapat dengan mudah terkoneksikan, dengan otoritas Islam berpaham aswaja di mana pun berada (Eisenlohr, 2016).

Ulama diaspora Indonesia Syeikh Yasin Padan pernah menimba ilmu di Madrasah Shaulatiyah. Jejak keilmuwan ulama ahli hadis asal Padang Sumatra Barat, ini diteruskan muridnya, Syeikh Zakaria. Pengajian Syeikh Zakaria di Jalan Syarah Sittin, Makkah, banyak dihadiri warga NU di kota suci tersebut. Sama halnya di Makkah, pengajian Habib Zein dan Syeikh Adnan menjadi tempat mengaji warga NU di Kota Madinah.

Baca juga

Tak kalah penting dari aktivitas keilmuan warga NU di kedua kota suci di atas adalah kegiatan warga NU di Kota Jeddah, dikenal dengan sebutan baab Makkah (pintu Makkah). Jeddah merupakan kawasan paling banyak warga Indonesia tinggal. Meskipun Arab Saudi terbilang ketat dalam hal pengawasan kegiatan beragama warga asing, warga NU tidak pernah surut dalam menjalankan tradisi aswaja. Seperti yang terjadi di Kota Jeddah, tepatnya di Distrik Syarafeyah, tempat berdirinya Taman Pendidikan Alquran (TPA) An-Nashiriyyah, sekaligus berfungsi sebagai Masjid Indonesia Jeddah (MIJ) dan Kantor PCINU Arab Saudi.

TPA An-Nashiriyyah yang didirikan pada awal 1993 oleh tokoh NU asal Tasikmalaya, Ahmad Fuad Abdul Waha Mawahib, setiap harinya selalu ramai dengan aktivitas keagamaan warga NU. Dengan menempati gedung tua tiga lantai, yang berdiri di tengah hiruk pikuk Kota Jeddah, TPA ini tak pernah sepi dari kegiatan sosial-keagamaan warga NU. Kegiatan mingguan hingga pengajian bulanan dan kegiatan peringatan hari-hari besar Islam, Maulid, Isra Mikraj, dan istigasah, sudah menjadi identik dengan TPA An-Nashiriyah.

TPA An-Nashiriyah telah berperan menjadi agensi diplomasi Islam moderat ala NU di kota tua Jeddah, pusat perdagangan kawasan tepi Laut Merah masa lalu yang legendaris, dengan kemajemukan warganya hingga sekarang. Bersama diaspora asal negara lain, diaspora NU tumbuh bersama Kota Jeddah yang dikenal beda (Jeddah ghayr) jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya di kerajaan ini.

Baca juga  NU, Organisasi Keagamaan & Kemasyarakatan Islam Aswaja

Keterbukaan Arab Saudi

Mendakwahkan Islam moderat ala Indonesia di Arab Saudi menemukan momentum yang tepat dewasa ini. Reformasi segala bidang, yang dilaksanakan kerajaan itu, terangkum dalam Visi 2030 Arab Saudi. Di antara perubahan fundamental, yang tengah dilakukan adalah perubahan perspektif Islam konservatif, menuju Islam moderat (wasathiyah). Perubahan paradigma Islam, yang dicanangkan Kerajaan Arab Saudi, tidak lepas dari munculnya propaganda dan tindakan terorisme dan ekstremisme di kawasan Timur Tengah.

Dalam merespons fenomena terorisme dan ekstremisme tersebut, secara tegas Raja Salman bin Abdul Aziz pada Mei 2019 mengutarakan tekad kuat pemerintahannya melawan segala bentuk propaganda terorisme, ektremisme, rasialisme, dan ujaran kebencian. Ajaran Islam sendiri, tegasnya, tidak ada sangkut pautnya dengan segala tindakan kekerasan tersebut. Prinsip wasathiyah (moderasi) dalam penegakan syariah Islam menjadi pegangan penting bagi Arab Saudi.

Baca juga Daftar Situs Islam Aswaja PCINU Di Beberapa Negara

Pada saat yang sama, mantan Gubernur Riyadh itu menekankan pentingnya pelaksanaan prinsip-prinsip moderasi dan toleransi secara bijak dan masuk akal dalam menghadapi propaganda rasialisme dan ungkapan kebencian, serta menekankan pentingnya mengedepankan cara-cara musyawarah (syuura) dan rekonsiliasi (islaakh) atau saling islah dalam segala hal.

Arah baru Islam, yang dicanangkan Raja Salman di atas, merupakan angin segar bagi Nahdliyin di Arab Saudi. Warga NU, juga warga ormas keagamaan lainnya, dapat memainkan peran diplomasi Islam moderat Indonesia kepada masyarakat Saudi dan warga dunia lainnya. Hemat penulis, saat ini, Saudi tengah mencari pola dan strategi implementasi manhaj Islam wasathiyah, dan warga NU dapat berbagi pengalaman aktualisasi Islam berbasis paham aswaja.

Untuk memanfaatkan momentum tersebut, peran diplomasi Islam moderat oleh warga NU di Saudi, khususnya, kalangan pelajar dan mahasiswa NU juga Muhammadiyah, dapat dilakukan melalui diskusi dan seminar pemikiran sejumlah tokoh muslim moderat Indonesia seperti Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafii Maarif, dan Kiai Azhar Basyir.

Mulai munculnya penulisan tesis dan disertasi mahasiswa Indonesia di kampus-kampus Saudi, yang membahas pemikiran tokoh-tokoh ulama Indonesia, antara lain Syeikh Hasyim ‘Asyari dan Buya HAMKA, tidak bisa dipisahkan dari praktik keagamaan diaspora Indonesia, khususnya warga NU, di Arab Saudi. Wallahu a’lam.

~Artikel Diaspora NU dan Diplomasi Islam Moderat di Arab Saudi ditulis oleh Achmad Ubaedillah, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Riyadh, Arab Saudi, staf pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Baca juga Agama dan Pancasila Bukanlah Sesuatu yang Bertentangan

Sumber: Media Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button