Munas Alim Ulama NU 1987 Di Cilacap, Ini Hasilnya

NU CILACAP ONLINEMunas Alim Ulama NU yang diselenggarakan di Pesantren Al Ihya Ulumaddin Kesugihan Cilacap Tanggal 23 – 26 Rabiul Awwal 1408 H / 15 – 18 Nopember 1987 M menghasilkan keputusan keputusan hukum melalui bahtsul masail sebagai berikut; tentang Melakukan Wuquf yang Bertentangan dengan Hasil Hisabnya, tentang Zakat Peternakan Bandeng, Zakat Perkebunan Tebu, Zakat Usaha Perhotelan, tentang Dispensasi Bagi Orang yang Selalu Bepergian, tentang Dasar Penetapan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, tentang Zakat Hasil Pertanian yang Menggunakan Pupuk, dan tentang Koperasi Simpan Pinjam

Melakukan Wuquf yang Bertentangan dengan Hasil Hisabnya

Pertanyaan : Seorang hasib melakukan wuquf pada hari yang ditetapkan oleh Kerajaan Saudi Arabia, sedang hal ini bertentangan dengan hasil hisabnya. Sahkah wuqufnya?.

Jawab : Sah.
Keterangandari kitab:
Bughyah al-Musytarsyidin [1]

نَعَمْ إِنْ عَارَضَ الْحِسَابُ الرُّؤْيَةَ فَالْعَمَلُ عَلَيْهَا لاَ عَلَيْهِ عَلَى كُلِّ قَوْلٍ

Jika terjadi pertentangan antara hasil hisab (hitungan astronomi/falak) dengan ru’yah (melihat bulan secara langsung), maka yang diamalkan adalah hasil ru’yah dan bukan hasil hisab menurut semua pendapat. Referensi lain:

  1. Hasyiyah al-Idhah, h. 153
  2. Mauhibah Dzi al-Fadhl, Juz IV, h. 497.
[1] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Mesir: Musthafa al-HAlabi, 1952), h. 110.

*Sumber: Ahkamul Fuqaha MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NU Di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap. Pada Tanggal 23 – 26 Rabiul Awwal 1408 H. / 15 – 18 Nopember 1987 M.

Zakat Peternakan Bandeng

Pertanyaan : Orang yang beternak ikan bandeng dengan tujuan bahwa hasil panennya akan diambil dan dijual untuk keperluan hidup sebagaimana lazimnya orang berumah tangga. Setelah delapan bulan sejak awal beternak, maka semua ikan dia­mbil dan dijual laku dengan memperoleh uang senilai setengah kilo gram emas. Sesudah dibelanjakan barang guna keperluan hidup, kemudin sisa uang senilai lima puluh gram emas dibelikan bibit bandeng untuk diternakkan lagi dengan tujuan yang sama. Apakah peternakan bandeng dengan tujuan dan cara tersebut, wajib dizakati?. Apabila wajib dizakati, kapan harus dikeluarkan?. Kalau wajib dizakati, dapatkah diberikan contoh peternakan hewan bukan zakawi di Indonesia yang memenuhi syarat-syarat tijarah?.

Jawab : Tidak wajib dizakati, sebab tidak memenuhi persyaratan zakat tijarah. Adapun contoh peternakan hewan bukan zakawi tetapi wajib dizakati adalah peternakan bandeng dengan sengaja diperda­gangkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang lain.

Keterangandari kitab:

A. Al-Muhadzdzab [1]

وَلاَ يَصِيْرُ الْعَرْضُ لِلتِّجَارَةِ إِلاَّ بِشَرْطَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَمْلِكَهُ بِعَقْدٍ يَجِبُ فِيْهِ الْعِوَضُ كَالْبَيْعِ وَاْلإِجَارَةِ وَالنِّكَاحِ وَالْخُلْعِ وَالثَّانِيّ أَنْ يَنْوِيَ عِنْدَ الْعَقْدِ أَنْ يَمْلِكَهُ لِلتِّجَارَةِ

Suatu barang tidak menjadi komoditas perdagangan kecuali dengan dua syarat:

1. Dimiliki dengan akad yang mengharuskan adanya ‘iwad (penukar), seperti akad jual beli, persewaan, pernikahan dan khulu’.
2. Ketika melakukan akad berniat memilikinya dengan tujuan diperdagangkan.

B. Itsmid al-‘Ainain [2]

مَسْأَلَةٌ أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِيْ كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ خَصْبًا أَوْ حَشِيْشًا وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا وَعِنْدَ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ فِيْمَا يُوْكَلُ أَوْ يُوْزَنُ أَوْ يُدَّخَّرُ لِلْقُوْتِ وَلاَ بُدَّ مِنَ النِّصَابِ عِنْدَ مَالِكٍ كَالشَّافِعِيِّ

Permasalahan, Syaikh Sa’id Ba’asyan juga menjelaskan, bahwa mazhab Abu Hanifah itu mewajibkan zakat dalam setiap yang tumbuh dari bumi kecuali kayu bakar, tebu atau rerumputan dan tidak mempertimbangkan nishab tertentu. Dan menurut Imam Ahmad, zakat wajib pada semua yang ditakar, ditimbang, atau disimpan untuk makanan pokok, dan menurut pendapat Imam Malik harus memenuhi nishab sebagaimana Imam Syafi’i. Referensi Lain :

  1. Ahkamul Fuqaha, soal nomor 140 dan 272.
  2. Tuhfah al-Muhtaj,Juz II, h. 195.
[1]  Abu Ishaq al-Syairazi, al-Muhadzdzab, Mesir: Isa al-Halabi, t. th.), h. 195.
[2] Ali Bashabrin, Itsmid al-‘Ainain pada Bughyah al-Mustarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1952), h. 47-48.

*Sumber: Ahkamul Fuqaha MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NU Di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap. Pada Tanggal 23 – 26 Rabiul Awwal 1408 H. / 15 – 18 Nopember 1987 M.

Zakat Perkebunan Tebu

Pertanyaan :

Ada usaha perkebunan tebu di sawah dengan tujuan bahwa hasil panennya akan dijual semua untuk keperluan hidup. Setelah tebu berumur 18 bulan, maka semua tebu ditebang dan dijual laku dengan memperoleh uang senilai setengah kilogram emas. Hasil penjualan tebu ini, apakah wajib dizakati dan apa alasannya?. Kalau tidak wajib dizakati, dapatkah diberikan contoh penanaman (pertanian/perkebunan) tanaman bukan zakawi yang memenuhi syarat-syarat tijarah?.

Jawab : Tidak wajib zakat, karena tidak memenuhi persyaratan tijarah. Adapun contoh penanaman tanaman bukan zakawi tetapi dizakati adalah tanaman tebu yang ditujukan untuk diperjual belikan.

Keterangandari kitab:

1. Busyra al-Karim [1]

وَرَوَى أَبُوْ دَاوُدَ بِإِخْرَاجِ الصَّدَقَةِ مِمَّا يُعَدُّ لِلْبَيْعِ اهـ

Dan Abu Dawud meriwayatkan tentang (kewajiban) mengeluarkan zakat dari barang dagangan.

2. Hawasyi al-Madaniyah [2]

وَقَدْ قَرَرْنَا أَنَّ مَا لاَ زَكَاةَ فِيْ عَيْنِهِ تَجِبُ فِيْهِ زَكَاةُ التِّجَارَةِ مِنَ الْجُذُوْعِ وَالتِّبْنِ وَاْلأَرْضِ إِذْ لَيْسَ فِيْ هَذِهِ الْمَذْكُوْرَاتِ زَكَاةُ عَيْنٍ وَمَا لاَ زَكَاةَ فِيْ عَيْنِهِ تَجِبُ فِيْهِ زَكَاةُ التِّجَارَةِ.

Kami telah menetapkan, bahwa barang yang tidak wajib dizakati karena dzatnya itu wajib dizakati tijarah, seperti batang kayu, jerami dan tanah. Sebab semuanya itu tidak terkena wajib zakat karena dzatnya, sementara barang yang tidak terkena wajib zakat karena dzatnya, maka terkena wajib zakat tijarah.

[1] Sa’id bin Muhammad Baasan, Busyra al-Karim, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.), Juz II, h. 50.
[2] Sulaiman al-Kurdi, Hawasyi al-Madaniyah, (Surabaya: Maktabah Ahmad Nabhan, t. th.), Juz I, h. 95.

*Sumber: Ahkamul Fuqaha MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NU Di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap. Pada Tanggal 23 – 26 Rabiul Awwal 1408 H. / 15 – 18 Nopember 1987 M.

Zakat Usaha Perhotelan

Pertanyaan : Orang yang membuka hotel dengan modal senilai satu kilo­gram emas, bertujuan agar dari uang hasil sewa hotel dapat dipergunakan untuk mencukupi keperluan hidup pengusaha hotel. Rata-rata setiap bulan menghasilkan uang sewa senilai empat puluh gram emas, dan setiap bulannya uang sewa ini selalu habis untuk keperluan hidup dan biaya pemeliharaan/perbaikan hotel. Karena demikian, maka pada akhir tahun hanya tersisa uang sewa senilai lima puluh gram emas. Hotel yang selalu diperbaiki dengan uang sewa ini, sekarang menjadi bagus dan harga jualnya naik menjadi senilai satu setengah kilogram emas. Usaha perhotelan dengan cara demikian ini, apakah wajib dizakati pada akhir tahun dan apa alasannya?Kalau wajib dizakati, berapa harus dibayar; apakah dari hasil sewa saja atau dari/beserta harga hotel. Kalau tidak wajib, dapatkah diberikan contoh usaha perhotelan yang mengandung makna tijarah yang wajib dizakati?.

Jawab : Tidak wajib dizakati. Contoh usaha perhotelan dan usaha semisal yang wajib dizakati adalah usaha perhotelan yang hasilnya pertahun telah memenuhi persyaratan tijarah.

Keterangandari kitab:

1. Kifayah al-Akhyar [1]

وَلَوْ أَجَّرَ الشَّخْصُ مَالَهُ أَوْ نَفْسَهُ وَقَصَدَ بِاْلأُجْرَةِ إِذَا كَانَتْ عَرْضًا لِلتِّجَارَةِ تَصِيْرُ مَالَ تِجَارَةٍ لِأَنَّ اْلإِجَارَةَ مُعَاوَضَةٌ

Seandainya seseorang menyewakan harta atau dirinya dengan maksud ketika memperoleh upah akan dijadikannya barang dagangan, maka upah tersebut menjadi harta dagangan. Sebab akad sewa merupakan mu’awadhah -pertukaran-.

2. Mauhibah Dzi al-Fadhl [2]

(قَوْلُهُ وَالْإِجَارَةُ لِنَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ)

أَيْ فَإِذَا أَجَّرَ نَفْسَهُ بِعِوَضٍ بِقَصْدِ التِّجَارَةِ صَارَ ذلِكَ الْعِوَضُ مَالَ التِّجَارَةِ

Pernyataan penulis: “Dan akad sewa untuk diri atau hartanya.” maksudnya maka bila seseorang menyewakan dirinya dalam rangka memperoleh upah untuk digunakan berdagang, maka upah tersebut menjadi harta dagangan.

3. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [3]

وَمَنْ أَجَّرَ نَفْسَهُ أَوْ شَخْصًا آخَرَ بِعَرْضٍ مِنَ الْعُرُوْضِ بِقَصْدِ التِّجَارَةِ صَارَ ذَلِكَ الْعُرُوْضُ مَالَ تِجَارَةٍ فَتَجِبُ الزَّكَاةُ

Dan barang siapa yang menyewakan dirinya (jual jasa) ataupun (mempekerjakan) orang lain dengan memperoleh upah berupa barang  dengan tujuan berdagang, maka barang tersebut menjadi barang dagangan dan wajib zakat.

[1] Abu Bakar bin Muhammad al-Khishni, Kifayah al-Akhyar fi Hill Ghayah al-Ikhtishar, (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), Juz I, h. 145. Lihat Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Juz III, hlm. 394.
[2]  Mahfud al-Termasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H) Juz IV, h. 31.
[3]  Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid VI, h. 31.

*Sumber: Ahkamul Fuqaha MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NU Di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap. Pada Tanggal 23 – 26 Rabiul Awwal 1408 H. / 15 – 18 Nopember 1987 M.

Dispensasi Bagi Orang yang Selalu Bepergian

Pertanyaan : Bagaimana pendapat Musyawarah mengenai orang yang hampir selalu musafir (sejauh masafah al-qashri), dan mengenai orang yang mempunyai dua atau lebih tempat tinggal yang berjauhan (sejauh masafah al-qashri), namun semuanya dihuni dalam hubun­gannya dengan rukhshah?.

Jawab :

  1. Orang yang selalu musafir (sejauh masafah al-qashri), maka dalam hal rukhshah qashar shalat, hukumnya lebih utama itmam (tidak mengqashar). Dan dalam hal rukhshah ifthar (tidak puasa), bila ada harapan dapat mengqadha puasanya di hari lain, maka ia boleh ifthar. Tetapi apabila harapan itu tidak ada, maka tidak boleh ifthar, demikian pendapat Imam Subki yang didukung Imam Ramli; sedang menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami, boleh ifthar secara mutlak.
  2. Orang yang mempunyai dua atau lebih tempat tinggal yang ber­jauhan (sejauh masafah al-qashri), apabila sedang berada di tempat tinggal yang mana saja, maka hukumnya sama dengan orang yang muqim, karena dia tinggal di tempat tinggalnya sendiri. Dan apabila sedang pergi dari tempat tinggal yang lain maka selama masih dalam perjalanan dia termasuk musafir “munsyi al- safar”, artinya boleh melaksanakan rukhshah safar; namun untuk dapat meninggalkan shalat Jum’at dan boleh berbuka puasa, masih dis­yaratkan bahwa sebelum fajar ia harus sudah keluar dari batas desa yang bersangkutan.

Keterangandari kitab:

  1. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib

وَخَرَجَ بِقَوْلِنَا وَلَمْ يُخْتَلَفْ فِيْ جَوَازِ قَصْرِهِ مَنِ اخْتُلِفَ فِيْ جَوَازِ قَصْرِهِ كَمَلاَّحٍ يُسَافِرُ فِيْ الْبَحْرِ وَمَعَهُ عِيَالُهُ فِيْ سَفِيْنَةٍ وَمَنْ يُدِيْمُ السَّفَرَ مُطْلَقًا كَالسَّاعِي فَإِنَّ اْلإِتْمَامَ أَفْضَلُ لَهُ خُرُوْجًا مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ كَاْلإِمَامِ أَحْمَدَ

Dan terkecualikan dengan ucapanku: “Dan kebolehan mengqashar-nya tidak diperselisihkan.” seperti sopir kapal yang melakukan pelayaran bersama keluarganya di kapal, dan orang yang selalu bepergian seperti Sa’i (pengelana), maka menyempurnakan shalat (tidak mengqashar  itu lebih utama baginya karena keluar dari khilaf ulama yang mewajibkannya seperti Imam Ahmad Ra.

2. Tuhfah al-Muhtaj 

وَقَالَ السُّبُكِيّ بَحْثًا وَلاَ أَيْ وَلاَ يَجُوْزُ اْلإِفْطَارُ لِمَنْ لاَ يُرْجَى زَمَنًا يَقْضِيْ فِيْهِ  لِإِدَامَتِهِ السَّفَرَ أَبَدًا وَفِيْهِ نَظَرٌ ظَاهِرٌ فَاْلأَوْجَهُ خِلاَفُهُ

Imam Subki berpendapat, tidak diperkenankan membatalkan puasa bagi orang yang tidak punya harapan di waktu lain untuk meng-qadha karena terus menerus bepergian. Dan dalam hal itu ada kajian ulang yang jelas. Pendapat yang lebih kuat  al-awjah adalah kebalikannya.

3. Fath al-Wahhab

وَلاَ أَيْ لاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى مُسَافِرٍ غَيْرَ مَنْ مَرَّ وَلَوْ سَفَرًا قَصِيْرًا لِاشْتِغَالِهِ بِالسَّفَرِ وَأَسْبَابِهِ

Shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir walaupun dalam perjalanan pendek, karena ia termasuk orang yang tersibukkan dengan perjalanan tersebut dan hal-hal yang terkait dengan perjalanannya.

4. Tuhfah al-Thullab 

فَرْعٌ يَحْرُمُ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ السَّفَرُ وَلَوْ لِطَاعَةٍ بَعْدَ فَجْرِ يَوْمِهَا إِلاَّ إِنْ تُمَكِّنُهُ الْجُمْعَةُ فِيْ طَرِيْقِهِ أَوْ قَصْدِهِ أَوْ يَتَضَرَّرُ بِتَخَلُّفِهِ عَنِ الرَّفْقَةِ

Haram bepergian bagi orang yang berkewajiban Jum’at, walaupun untuk tujuan ketaatan (ibadah) setelah fajar hari Jum’at terkait, kecuali jika memungkinkan untuk bisa shalat Jum’at di tengah perjalanan atau di tempat tujuannya, atau akan memperoleh kesulitan tertinggal dari teman seperjalanan.

5. Miraqah Shu’ud al-Tashdiq

وَيَجُوْزُ الْفِطْرُ لِمُسَافِرٍ سَفَرَ قَصْرٍ بِأَنْ يَكُوْنَ طَوِيْلاً وَفَارَقَ الْعُمْرَانَ وَنَحْوَهُ قَبْلَ الْفَجْرِ عَلَى مَا أَفَادَهُ الرَّمْلِيُّ

Boleh berbuka puasa bagi musafir dalam perjalanan yang jauh sehingga boleh meng-qashar shalat, dan sudah keluar dari bangunan-bangunan (batas kota) sebelum fajar sebagaimana pendapat yang dianut oleh Imam Ramli.

-Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Bandung: Syirkah Ma’arif, t. th.), Jilid I, h. 201.
-Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj pada Hasyiyata al-Syirwani wa al-‘Abbadi, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th), Jilid III, h. 73.
-Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab, (Bandung: Syirkah Ma’arif, t. th.), Juz I, h. 72.
-Zakaria al-Anshari, Tuhfah al-Thullab, (Mesir: Mushtafa al-Halabi, 1340 H), h. 32.
-Nawawi bin Umar al-Bantani, Miraqah Shuud al-Tashdiq, (Kudus: Menara Kudus, t. th.), h. 43.

*Sumber: Ahkamul Fuqaha MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NU Di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap. Pada Tanggal 23 – 26 Rabiul Awwal 1408 H. / 15 – 18 Nopember 1987 M.

Artikel Terkait Munas NU

Dasar Penetapan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha

Pertanyaan : Tentang penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha ?.

Jawab :

  1. Bahwa dasar ru’yah al-hilal atau istikmal dalam penetapan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, adalah dasar yang diamalkan oleh Rasulullah Saw., Khulafaur Rasyidin dan yang dipegangi oleh seluruh ulama Madzhab al-Arba’ah. Sedang dasar hisab falak untuk penetapan tiga hal ini, adalah dasar yang tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah Saw. dan Khulafa al-Rasyidin serta diperselisihkan keabsahannya di kalangan para ulama.
  2. Bahwa itsbat al-‘am (penetapan secara umum) oleh Qadhi atau Penguasa mengenai awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha atas dasar hisab tanpa dihasilkan ru’yah al-hilal atau istikmal, adalah tidak dibenarkan oleh Mazhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali); (Kitab Fiqh ‘ala al-Madzhabil al-Arba’ah).
  3. Bahwa Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyyah yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Anggaran Dasar pasal 4), yaitu, Jam’iyyah yang menjunjung tinggi dan mengikuti ajaran Rasulullah Saw. dan tuntunan para sahabat serta ijtihad para ulama Mazhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali).
  4. Dan untuk keseragaman di kalangan warga NU dalam melaksanakan keputusan dimaksud termasuk dalam hal penetapan mengenai Idul Adha, maka Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama tang­gal 23 – 24 Rabiul Awwal 1408 H./15 – 16 Nopember 1987 M. di Pondok Pesantren Ihya ‘Ulumuddin Kesugihan Cilacap, Jawa Tengah, telah mengambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Menegaskan bahwa penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha oleh Qadli atau Penguasa yang diberlakukan kepada masyarakat (itsbat al-‘am) dapat dibenarkan jika berdasarkan ru’yah al-hilal atau istikmal.
b. NU telah lama mengikuti pendapat ulama yang tidak membedakan Mathla’ dalam penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, yakni ru’yah al-hilal di salah satu tempat di Indonesia yang diterima oleh Pemerintah sebagai dasar penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha di seluruh wilayah Indonesia walaupun berbeda mathla’nya.
c. Melakukan ru’yah al-hilal untuk penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha adalah fardhu kifayah menurut Madzhab al-Arba’ah kecuali Madzhab Hanbali yang berpendapat bahwa hukumnya sunah. Pelaksanaan ru’yah al-hilal yang diusahakan oleh Pemerin­tah/Departemen Agama adalah sudah cukup sebagai pelaksanaan fardhu kifayah tersebut bagi seluruh umat Islam Indonesia.
d. Lajnah Falakiyah dan Ru’yah PBNU perlu melakukan upaya bagi terlaksananya prinsip ru’yah al-hilal atau istikmal antara lain dengan cara : – Membuat kepastian awal Sya’ban dengan ru’yah al-hilal atau istikmal untuk keperluan awal Ramadhan. – Melakukan ru’yah al-hilal pada malam 30 Syawal dan 30 Dzul Qa’dah, selanjutnya menanyakan hasil ru’yah al-hilal tanggal 01 Dzul Hijjah kepada Pemerintah. Hal ini dilakukan sebab seringka­li pemerintah tidak mengeluarkan pengumuman penetapan tanggal 01 Dzul Hijjah secara rinci. Kemudian hasilnya diumumkan kepada Wilayah dan Cabang NU di seluruh Indonesia untuk keper­luan Idul Adha segera.
e. Untuk keperluan memulai puasa Ramadhan, melaksanakan Idul Fitri dan menyelenggarakan Idul Adha, maka kepada warga NU terutama anggota pimpinan dari tingkat pusat sampai dengan ting­kat ranting diinstruksikan agar menyimak pengumuman dan peneta­pan Pemerintah/Departemen Agama melalui RRI dan TVRI mengenai tiga hal ini.   Jika pengumuman dan penetapannya berdasarkan ru’yah al-hilal atau istikmal, maka warga NU wajib mengikuti dan mentaatinya. Tetapi jika pengumuman dan penetapannya hanya semata-mata berda­sarkan hisab, maka warga NU tidak wajib mengikuti dan mentaatin­ya, selanjutnya mengawali puasa Ramadhan, melaksanakan Idul Fitri dan menjalankan Idul Adha pada hari berikutnya.   Sikap demikian ini sesuai dengan pendapat Jumhur al-Salaf, sesuai dengan jiwa Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1404 H./1983 M. dan Keputusan Muktamar ke-27 tahun 1405 H./1984 M. dan dilindungi Undang-undang Dasar 1945, pasal 29, ayat 2.

Keterangandari kitab: Bughyah al-Musytarsyidin [1]

لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ

Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari. Al-‘Ilm al-Mantsur fi Itsbat al-Syuhur [2]

قَالَ سَنَدُ الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ

Para tokoh madzhab Malikiyah berpendapat: “Bila seorang penguasa mengetahui hisab tentang (masuknya) suatu bulan, lalu ia menetapkan bulan tersebut dengan hisab, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma’ ulama salaf bertentangan dengannya.”

[1] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1952), h. 108.
[2] Taqiyuddin al-Subki, al-‘Ilm al-Mantsur fi Itsbat al-Syuhur, (Indonesia: Madrasah al-Salafiyah al-Syafi’iyah Tebuireng-tulis tangan/roneo, 1354 H), h. 14.

*Sumber: Ahkamul Fuqaha MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NU Di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap. Pada Tanggal 23 – 26 Rabiul Awwal 1408 H. / 15 – 18 Nopember 1987 M.

Baca Juga >> Sejarah Lembaga Falakiyah NU

Zakat Hasil Pertanian yang Menggunakan Pupuk

Pertanyaan : Pertanian yang menggunakan pupuk relatif lebih berat mu’nahnya dari pada pertanian yang menggunakan mu’nah al-saqyi (biaya pengairan). Apakah hasil pertanian yang menggunakan pupuk itu harus dizakati nishf al-usyr (5 %) atau (10 %)?.

Jawab :

  1. Mu’nah al-saqyi (biaya pengairan) tidak sama dengan biaya pupuk, karena air berpengaruh langsung pada hidup atau matinya tanaman, sedang pupuk hanya berpengaruh pada kesuburan tanaman dan kelipatan hasil produksinya.
  2. Jika sebidang tanah yang diairi dengan biaya tanpa diberi pupuk akan menghasilkan gabah sebanyak lima kwintal misalnya, maka tanah tersebut jika diairi dengan biaya pengairan dan diberi pupuk akan dapat menghasilkan gabah sebanyak sepuluh kwintal atau lebih, sedang biaya pupuk yang dipergunakan tentu lebih murah dari harga kelipatan gabah yang dihasilkan dengan pupuk tersebut, sehingga dengan demikian biaya pupuk tersebut telah tertutup oleh harga kelipatan yang dihasilkan.

Jadi zakat dari tanaman yang diberi pupuk tetap “usyr” (10 %) dan bukan “nishful usyr” (5 %).

Keterangandari kitab:

1. I’anah al-Thalibin [1]

أَنَّ مُؤَنَ السَمَاءِ لَيْسَتْ مُؤَنَ السَّقْيِ بِالدَّوْلاَبِ فَزَكَاتُهَا الْعُشُرُ لاَ نِصْفُ الْعُشُرِ لِخَبَرِ الْبُخَارِيّ فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ أَوِ الْعُيُوْنُ أَوْ كَانَ عَشْرِيًّا الْعُشُرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْجِ نِصْفُ الْعُشُرِ

Sesungguhnya biaya pengairan berdasarkan tadah hujan itu tidak sama dengan biaya penyiraman dengan hewan. Maka zakatnya sepersepuluh (10 %) dan bukan separuhnya (5 %). Sesuai hadits riwayat Bukhari: “Dalam hal (pertanian) yang diairi oleh hujan, mata air atau yang dengan akarnya bisa menyerap air disekitarnya, maka (zakatnya) 10 %. Sedangkan yang diairi dengan suatu peralatan, maka separuhnya (5 %).”

2. Al-Iqna’ [2]

(نِصْفُ الْعُشُرِ) وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ r: فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشُرُ وَفِيْمَا سُقَتْ بِالنَّضْجِ نِصْفُ الْعُشُرِ وَانْعَقَدَ اْلاِجْمَاعُ عَلَى ذَلِكَ كَمَا قَالَ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ وَالْمَعْنَى فِيْهِ كَثْرَةُ الْمُؤْنَةِ وَخِفَّتِهَا

(Wajib zakat 10%) berdasarkan sabda Rasulullah Saw.: “Dalam pertanian yang diairi oleh hujan ataupun mata air atau yang dengan akarnya bisa menyerap air (disekitarnya), maka (zakatnya) 10 %. Sedangkan yang diairi dengan peralatan, maka separuhnya 5 %.” Hal ini sesuai dengan ijma’ seperti kata al-Baihaqi dan lainnya. ‘Illat dalam hadits tersebut adalah banyak atau sedikitnya biaya pengairan.

3. Fath al-Wahhab [3]

(قَوْلُهُ لَا بِأَكْثَرِهِمَا) مُتَعَلِّقٌ بِمَحْذُوفٍ أَيْ لَا يُعْتَبَرُ بِأَكْثَرِهِمَا وَقَوْلُهُ وَلَا بِعَدَدِ السَّقْيَاتِ مُتَعَلِّقٌ بِمَحْذُوفٍ أَيْ وَلَا يَسْقُطُ بِعَدَدِ السَّقْيَاتِ وَغَرَضُهُ بِهَذَا الرَّدِّ عَلَى قَوْلَيْنِ ضَعِيفِينَ حَكَاهُمَا فِي الْمِنْهَاجِ وَعِبَارَتُهُ مَعَ شَرْحِ الْمَحَلِّيِّ وَوَاجِبُ مَا سُقِيَ بِهِمَا أَيْ بِالنَّوْعَيْنِ كَالنَّضْحِ وَالْمَطَرِ سَوَاءٌ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهِ أَيْ الْعُشْرِ عَمَلًا بِوَاجِبِ النَّوْعَيْنِ فَإِنْ غَلَبَ أَحَدُهُمَا فَفِي قَوْلٍ يُعْتَبَرُ هُوَ فَإِنْ كَانَ الْغَالِبُ الْمَطَرُ فَالْوَاجِبُ الْعُشْرُ أَوْ النَّضْحُ فَنِصْفُ الْعُشْرِ وَالْأَظْهَرُ يُقَسَّطُ وَالْغَلَبَةُ وَالتَّقْسِيطُ بِاعْتِبَارِ عَيْشِ الزَّرْعِ أَوْ الثَّمَرِ وَنَمَائِهِ وَقِيلَ بِعَدَدِ السَّقْيَاتِ

(Ungkapan Syaikh Zakaria al-Anshari: “Tidak dengan yang terbanyak dari masa hidup buah-buahan dan tanaman, dan masa pertumbuhannya.)  itu terkait dengan kata yang dibuang, maksudnya tidak dihitung dengan yang terbanyak dari dua masa tersebut. Ungkapan beliau: “Tidak dengan hitungan penyiraman.”, itu terkait dengan kata yang dibuang, maksudnya tidak diprosentase dengan hitungan penyiraman. Tujuan beliau dengan ungkapan ini adalah menyanggah dua qaul dha’if yang dihikayatkan al-Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thalibin. Redaksinya sekaligus Syarh al-Mahalli adalah: “Dan zakat pertanian yang diairi dengan keduanya, yakni dengan dua macam pengairan, seperti hewan pengangkut air dan hujan secara sama adalah 3/4, maksudnya dari 1/10, karena mengamalkan kewajiban zakat dalam dua macam pertanian tersebut. Bila salah satu pengairan itu mendominasi, maka dalam satu pendapat, yang diperhitungkan (untuk menentukan zakat) adalah pengairan yang mendominasi itu. Bila yang mendominasi itu pengairan dengan hujan, maka zakatnya 1/10, atau yang mendominasi itu pengairan dengan hewan pengangkut air, maka zakatnya 1/20. Sedangkan menurut qaul al-azhhar kadar zakatnya diqisth (diprosentase antara keduanya). Dominasi dan taqsith (prosentase) tersebut dengan mempertimbangkan masa kehidupan tanaman atau buah-buahan, dan pertumbuhannya. Sementara menurut pendapat lain dengan hitungan penyiraman.

4. I’anah al-Thalibin [4]

(قَوْلُهُ وَسَبَبُ التَّفْرِقَةِ)

أَيْ مَا بَيْنَ مَا سُقِيَ بِلاَ مُؤْنَةٍ حَيْثُ كَانَ وَاجِبُهُ الْعُشُرَ وَمَا سُقِيَ بِمُؤْنَةٍ حَيْثُ كَانَ وَاجِبُهُ نِصْفَ الْعُشُرِ (قَوْلُهُ ثَقْلَ الْمُؤْنَةُ فِيْ هَذَا) أَيْ فِيْمَا سُقِيَ بِمُؤْنَةٍ

(Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Sebab perbedaan.”), maksudnya perbedaan antara pertanian yang diairi tanpa biaya yang zakatnya 10an yang diairi dengan biaya yang zakatnya 5%. (Unkapan beliau: “Besarnya biaya dalam pertanian ini.”), maksudnya pertanian yang diairi dengan biaya.

5. Fatawi Zubairi [5]

(بَابُ زَكَاةِ النَّبَاتِ)

سُئِلَ – فِيْ أَهْلِ بَلَدٍ يَمْتَادُوْنَ تَسْمِيْدَ أَشْجَارِهِمْ بَدَلَ السِّقَايَةِ بَلْ أَكْثَرَ فَهَلْ يَجِبُ عَلَى مَالِكِ اْلأَشْجَارِ الْعُشُرُ أَوْ نِصْفُهُ وَأَيْضًا هَلْ يُكْرَهُ أَكْلُ الثَّمْرَةِ مِنْ أَجْلِ التَّسْمِيْدِ أَمْ لاَ وَكَذَلِكَ إِذَا كَانُوْا يَمْتَادُوْنَ تَحْرِيْثَ أَشْجَارِهِمْ بَدَلَ السِّقَايَةِ مَا حُكْمُهُ فِيْ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ أَفْتُوْنَا مَأْجُوْرِيْنَ أَجَابَ عَفَا اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ التَّسْمِيْدُ وَالتَّحْرِيْثُ لاَ يُغَيِّرُ حُكْمَ الْوَاجِبِ فَيَجِبُ نِصْفُ الْعُشُرِ وَلاَ يُكْرَهُ أَكْلُ الثَّمْرَةِ الْمَذْكُوْرَةِ وَاللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ

(Bab Zakat Tanaman) Syaikh al-Zubairi Ra. pernah ditanya tentang penduduk suatu daerah yang melakukan pemupukan pohon-pohon sebagai pengganti dari pengairan, dan bahkan biayanya lebih besar. “Apakah pemilik pohon terbebani zakat 10% atau separuhnya (5%), dan apakah dimakruhkan memakan buah-buahan karena pemupukan tersebut, serta bagaimana jika mereka membajak lahan (sekitar) pohon-pohon tersebut sebagai pengganti pengairan, bagaimana hukumnya terkait dengan kewajiban zakatnya? Berilah fatwa kami, semoga anda mendapatkan imbalan pahala.” Beliau, ‘afallahu ‘anh, menjawab dengan berkata: “Pemupukan dan pembajakan lahan tidak merubah kewajiban zakat, lalu wajib zakatnya menjadi 5%, dan tidak makruh memakan buah-buahan tersebut. Wallah subhanah wa ta’ala a’lam.”

6. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [6]

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَزَكَاتُهُ الْعُشْرُ فِيمَا سُقِيَ بِغَيْرِ مُؤْنَةٍ ثَقِيلَةٍ كَمَاءِ السَّمَاءِ وَالْأَنْهَارِ وَمَا شَرِبَ بِالْعُرُوقِ وَنِصْفُ الْعُشْرِ فِيمَا سُقِيَ بِمُؤْنَةٍ ثَقِيلَةٍ كَالنَّوَاضِحِ وَالدَّوَالِيبِ وَمَا أَشْبَهَهَا لِمَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ

فَرَضَ فِيمَا سَقَتْ السَّمَاءُ وَالْأَنْهَارُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ بَعْلًا وَرُوِيَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ  وَفِيمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْر

Penulis (Abu Ishaq al-Syairazi) –rahimallahu ‘anh ta’ala- berkata: “Dan zakatnya (kurma dan anggur), 10 bagi yang diairi tanpa biaya besar, seperti dengan air hujan, air sungai, dan air yang diserap oleh akar. Dan 5 bagi yang diairi dengan biaya besar, seperti dengan onta-onta pengangkut air, alat penyiram tanaman dan semisalnya. Karena hadits riwayat Ibn Umar -radhiyallah ‘anhuma-: “Sungguh Nabi Saw. mewajibkan zakat 10 bagi tanaman yang diairi oleh hujan, sungai, atau tanaman yang menyerap air dengan akarnya,- dalam riwayat lain dengan redaksi: “’Atsariyyan” yaitu tanaman yang menyerap air yang mengalir disekitarnya, dan 5 bagi tanaman yang diairi dengan onta pengangkut air.

[1] Muhammad Syaththa al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t.th.),  Jilid II, h. 161. Lihat pula, al-Fuyudhat al-Rabbaniyah, Himpunan Keputusan Muktamar Jam’iyah Ahli Thariqah al-Muktabarah al-Nahdhiyah, masalah no. 75.
[2]  Muhammad al-Khatib al-Syirbini, al-Iqna’, (Bandung: Syirkah Ma’arif, t. th.), Juz I, h. 194.
[3]  Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab pada Hasyiyah al-Jamal, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid II, h. 246.
[4] Muhammad Syaththa al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i,  t.th.), Jilid II, h. 161.
[5] Muhammad Rais al-Zubairi, Fatawa Zubairi pada Qurrah al-‘Ain bi Fatawa ‘Ulama al-Haramain, (Mesir: al-Tijariyah ak-Kubra, 1937) h. 100.
[6] Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Mesir: al-Imam, t. th.), Jilid V, h. 445.

*Sumber: Ahkamul Fuqaha MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NU Di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap. Pada Tanggal 23 – 26 Rabiul Awwal 1408 H. / 15 – 18 Nopember 1987 M.

Koperasi Simpan Pinjam

Pertanyaan : Koperasi Simpan Pinjam (Kosipa) apakah boleh?. Dan apakah uang administrasi termasuk “riba”?. Dan apakah wajib zakat?.

Jawab :

1. Modal yang dikumpulkan oleh KOSIPA dari uang “simpanan pokok” dan “simpanan wajib” para anggota koperasi untuk dipin­jamkan kepada yang memerlukan pinjaman, tidak dapat memenuhi ketentuan “syirkah”, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh, karena:

a. Dalam “syirkah” pengumpulan modal itu disyaratkan harus ada lafal yang dapat dirasakan sebagai pemberian izin dalam perda­gangan. Sedangkan dalam “Kosipa” pengumpulan modal tersebut dimaksudkan untuk dipinjamkan.

b. Dalam “syirkah” modal harus sudah terkumpul sebelum dilaku­kan syirkah. Sedangkan dalam “Kosipa” biasanya modal baru dikum­pulkan sesudah disetujui oleh rapat  anggota.   Jadi “akad” pengumpulan modal dalam “Kosipa” tersebut tidak sah menurut ketentuan syara’.

2. Uang administrasi yang dipungut oleh Kosipa dari setiap anggota Kosipa yang meminjam uang, hanyalah merupakan “istilah lain” dari bunga, karena:

a. Uang administrasi tersebut merupakan “keharusan” yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang meminjam uang; sehingga pada hakekatnya tidak berbeda dengan manfaat yang ditarik oleh yang meminjamkan uang, dalam hal ini “Kosipa” dari para peminjam uang.

b. Besarnya uang administrasi yang dipungut oleh “Kosipa” dari para peminjam uang telah ditentukan sesuai dengan besarnya uang yang dipinjam, yaitu sekian persen dari jumlah pinjaman sesuai dengan keputusan rapat anggota.   Jadi tanpa memperhatikan apakah syarat pemberian uang admin­istrasi sedang berlangsung, atau sebelum akad ataupun sesudah akad, atau apakah syarat tersebut berbentuk ucapan atau berben­tuk tulisan, yang kesemuanya itu memerlukan pembahasan tersen­diri, maka pungutan uang administrasi tersebut dapat dimasukkan dalam makna hadits Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Semua peminjaman yang dapat menyebabkan adanya sesuatu manfaat, maka hukumnya riba.”

3. Oleh karena akad pengumpulan modal dalam “Kosipa” tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan “syirkah”, maka masalah zakatnya dikembalikan kepada masing-masing anggota “Kosipa” tersebut. Oleh karena “Kosipa” ini telah dilaksanakan di seluruh tanah air Indonesia, maka seluruh musyawirin telah bersepakat untuk mem­berikan jalan keluar yang dapat dibenarkan oleh syara’ sebagai berikut:

a. “Kosipa” harus diganti bentuknya dengan bentuk “koperasi biasa” yang dibenarkan oleh syara’.
b. Uang yang telah menjadi milik koperasi dapat dipinjamkan kepada para anggota tanpa dikenakan uang administrasi dari pro­sentase jumlah uang yang dipinjam.

Keterangandari kitab:

Manhaj al-Thullab [1]

كِتَابُ الشِّرْكَةِ إِلَى أَنْ قَالَ وَشُرِطَ فِيْهَا لَفْظٌ يُشْعِرُ بِإِذْنٍ فِيْ تِجَارَةٍ إِلَى أَنْ قَالَ وَفِيْ مَعْقُوْدٍ عَلَيْهِ كَوْنُهُ مِثْلِيًّا خُلِطَ قَبْلَ عَقْدٍ بِحَيْثُ لاَ يُتَمَيَّزُ

Kitab Tentang Syirkah … Dan dalam syirkah disyaratkan lafal yang menunjukkan izin berdagang … dan dalam barang yang disyirkahkan disyaratkan berupa barang mitsl (barang yang diukur takaran atau timbangan dan oleh diakadi salam) yang sudah dicampur (dengan barang dari pihak lain) sebelum dilakukan akad sehingga tidak bisa dibedakan lagi. [1] Zakaria al-Anshari, Manhaj al-Thullab pada Fath al-Wahhab, (Bandung: Syirkah Ma’arif, t. th.), Juz I, h. 217.

*Sumber: Ahkamul Fuqaha MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NU Di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap. Pada Tanggal 23 – 26 Rabiul Awwal 1408 H. / 15 – 18 Nopember 1987 M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button