H Imam Tobroni: Merawat Indonesia Dengan Manhaj Aswaja

Imam Tobroni PCNU Cilacap
H. Imam Tobroni, S.Ag., M.M.,

NU CILACAP ONLINE – Artikel Merawat Indonesia Dengan Manhaj Aswaja ini ditulis oleh H Imam Tobroni, S.Ag., M.M. Artikel Harlah NU 95 selengkapnya sebagai berikut.

Tanggal 31 Januari 2021 NU akan memperingati Hari Lahir yang ke 95. Tema yang diusung adalah Khidmah NU: Menyebarkan Aswaja, Meneguhkan Komitmen Kebangsaan.

Tentu kita bangga akan eksistensi NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia ini, yang dari waktu ke waktu semakin menunjukan keberadaanya. Kendatipun perjuangan yang dilakukan, tentu tidak dengan cara yang ringan.

Dari masa ke masa NU hadir untuk menjadikan nilai nilai Aswaja semakin membumi di tengah kehidupan kemasyarakatan dan ke-Indonesia-an. Keberadaan Ormas Keagamaan dan Kemasyarakatan NU yang tidak ekslusif inilah, yang menjadikan NU semakin mendapat hati di tengah tengah masyarakat.

Aswaja NU dan Indonesia

Antara nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dengan meneguhkan komitmen kebangsaan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Aswaja sebagai manhhaj, sebagai sebuah paham teologi yang dianut oleh warga NU, menjadi sumber inspirasi bagaimana warga NU bersikap, bertindak dan berperilaku sebagai warga Negara. Di sinilah merawat Indonesia dengan manhaj aswaja perlu selalu diteguhkan.

Suatu sikap yang memgedepankan aspek toleransi (tasamuh), jalan tengah, moderat (tawasuth) dan adil-proporsional (I’tidal) adalah merupakan tingkatan sikap yang sangat dibutuhkan dalam konteks kebangsaan Indonesia. Sebab darinya, akan lahir semangat kerukunan di antara dan di tengah pluralisme dan keberagaman. Sebuah ciri kebangsaan Indonesia dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.

Selain itu nilai nilai dalam manhaj Aswaja tersebut dengan serta merta dapat mendorong tindakan progresif dan dinamis dalam kehidupan berkebangsaan. Di sisi lain, komitmen kebangsaan yang selama ini telah dibangun oleh para muasis / pendiri Negara telah mewujud dalam bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia. Ini semua telah dapat menumbuhsuburkan berkembangnya nilai nilai Aswaja di masyarakat.

NKRI dengan Pancasila sebagai Dasar Negaranya, telah melakukan sekian lama uji pengalaman sejarah. Dan ternyata, tindakan ekstrimisme, radikalisme, terorisme dan bentuk-bentuk intoleransi yang mengancam Indonesia Rukun, tetap tidak dapat sesuai untuk hidup di negara ini. Bahkan mereka selalu ditumpas dan dapat dihabiskan.

Kondisi ini membuktikan bahwa masyarakat telah meyakini akan ke khas an nilai nilai keagamaan dan keislaman yang sesuai dengan kultur kebangsaan dan keindonesiaan. Dan inilah yang sering di sebutkan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqiel Sirodj dengan terminologi Islam Nusantara.

Peneguhan komitmen Kebangsaan Nahdlatul Ulama ini dalam tema Harlah NU ke 95, tentu tidak sebatas pada ranah politik, di mana telah dapat mengawal keutuhan dan keberadaan Negara Pancasila dari waktu ke waktu hingga sekarang.

Walaupun memang diakui selama masa Orde Baru, 32 tahun lamanya NU dipasung dalam ketidakberdayaan. Tetapi banyak hikmah yang diambil, yakni memposisikan diri pada posisi menjadi kekuatan penyeimbang demokrasi dan sekaligus membangun civil society.

Dampak yang bisa dirasakan NU adalah, dapat melakukan penguatan organisasi, menata pranata sosial keagamaan yang selama ini tidak terinvetarisir dan bahkan mampu mendorong semangat warga Masyarakat untuk berkontribusi kepada Negara melalui pemberdayaan masyarakat dan pendidikan. Dan inilah kemudiaan pada saatnya kader kader NU banyak bertebaran dalam setiap lini profesi dan pekerjaan.

Menjaga Indonesia

Kita tidak pernah minta mau dilahirkan di mana. Pun tidak pernah ditawari hendak dilahirkan di mana. Namun faktanya, kita di lahirkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika kita dilahirkan, tak mengerti apa apa. Tidak mengerti NU, tidak pula mengerti Indonesia. Sampai nanti kita tahu bahwa kita sebenarnya hadir dan lahir di tempat yang sangat tepat.

Sesuai berjalannya waktu, kita bertambah besar, banyak bergaul, dan mulai melihat suatu kenyataan bahwa lingkungan kita bermacam macam adat, kebiasaan, budaya, bahasa dan agama. Kita, mungkin lahir dari suatu lingkungan sosial tertentu, dengan budaya dan adat tertentu, bahkan agama tertentu.

Di luar lingkungan kita, kita mendapati banyak hal yang berbeda dengan lingkungan kita sendiri. Secara naluriah, tentu kita akan merespon impuls dari luar kita untuk disesuaikan dengan alam pikiran kita, serta berpikir pula untuk menyediakan dengan setiap lingkungan baru yang kita alami. Inilah sifat adaptif yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk hidup.

Atas fakta tersebut, kita harus menyadari dua hal berikut ini. Pertama, Kita harus bersyukur, lahir di Indonesia yang kaya dengan berbagai potensi, termasuk masalah adat, budaya, bahasa, keyakinan dan agama. Cara bersyukur itu adalah menerima dengan ridlo, bahwa hal itu adalah fakta anugrah dan melihatnya sebagai sunatullah (QS, Al Hujurat:13).

Kedua, adalah merawat dan menjaga Indonesia agar tetap menjadi Dar Al-Salam, negara kesejahteraan, bagi seluruh rakyatnya, tanpa pandang bulu. Masalah keyakinan, agama dan idiologi, adalah persoalan yang sensitif, apalagi dalam masyarakat yang pluralisme. Maka diperlukan suatu tafsir ajaran agama, yang bisa menghargai pluralisme.

Maksudnya, diperlukan pendalaman tafsir yang komprehensif, untuk menjaga sentimen agama dan idiologi. Suatu penafsiran yang tidak ekstrem, tapi luwes. Penafsiran kaku biasanya karena bersifat tekstual, pada dlohirnya ayat/ hadist, dan tidak memahami konteksnya dahulu (Asbab Al-Nuzul dan Asbab A-Wurud ) dan kontek sekarang yang aktual.

NU mempunyai cara pandang tersendiri dalam memahami sumber pokok agama, Al-Qur’an dan hadits. Yaitu dengan memahami pendapat para ulama terdahulu, yang betul-betul dekat dengan sejarah hidup Nabi, merujuk kepada Tabi’in dan generasi Sahabat. Ini yang disebut Sanad. Sehingga pemahaman itu tidak menyimpang dari ajaran pokok Islam, beserta seluruh kontek sejarah dan sosial, serta dimensi-dimensi lain yang meliputinya.

Sebuah ayat Al-Qur’an mengatakan, Shirrotholladziina An’amta ‘Alaihim. Yaitu mengikuti jalan orang-orang yang mendapat nikmat (petunjuk). NU merumuskan beberapa konsep dan formula untuk menjaga keanekaragaman, yang dipahami oleh NU sebagai Sunatullah. Tawasuth, jalan tengah, Tasamuh, toleransi, Tawazun, keseimbangan dan i’tidal, keadilan.

NU dan Kerukunan Indonesia

Rumusan itu bisa ditambahkan dengan konsep Ta’awun, saling tolong menolong dan Tasawwuf, hidup, bersikap, bergaya sederhana. Semua unsur-unsur itu saling melengkpi, komplementer atau subtitutif. Itulah mengapa NU menerima asas tunggal pancasila.

NU melihat bahwa pancasila itu adalah jembatan yang menghubungkan berbagai wilayah2 yang berbeda. Pancasila adalah Kalimatun Sawaa, yang menjadi titik konvergensi berbagai perbedaan sudut pandang dalam bernegara, akibat perspektif idiologi dan agama yang bermacam macam.

NU sejak lama mengambil peranan penting dalam hal perumusan dan pembelaan kesaktian Pancasila. Selain menerima konsep asas tunggal, NU, melalui KH Wahid Hasyim, bersikap tegas untuk menolak rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta. Demi menghargai perasaan penduduk Indonesia bagian timur, yang mayoritas non-muslim.

Untuk Indonesia Rukun, NU sudah mengawalinya dan itu senantiasa dipertahankan. Kerukunan Indonesia bagi NU adalah bagian dari pelaksanaan nilai-nilai Aswaja. Merawat Indonesia dengan mengedepankan kerukunan menemukan titik singgung dengan Manhaj Aswaja NU, Fikrah Nahdliyyah, Khittah NU dan juga Mabadi Khaira Ummah.

Mari, dengan momentum Harlah NU, kita bersama-sama ikut merawat Indonesia dengan manhaj Aswaja, untuk kemajuan Indonesia, untuk Indonesia yang rukun dan berkeadaban. Selamat Harlah NU ke 95 tahun 2021.

~ H Imam Tobroni, S.Ag., M.M., Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cilacap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button