Kilas Lesbumi NU, Dari Cipari, Majenang Hingga Banyuwangi

NU CILACAP ONLINE – Kilas Lesbumi NU, Dari Cipari, Majenang Hingga Banyuwangi. Lesbumi NU Cilacap menghadirkan rulisan berikut ini dalam rangka menyambut Harlah Lesbumi ke 59, tepat di tanggal 28 Maret 2021. Simak selengkapnya,

Pada suatu sore yang ranum sebab mendung tapi hujan pun tidak, Desa Sidasari, Kecamatan Cipari, saya bersilaturahmi ke kediaman Shobirin dan Saeroni. Di usianya yang sudah 77 tahun, beliau masih cukup lancar berbicara. Ada banyak kenangan yang bisa diceritakan meski seringkali tak bisa mengungkapkan secara detil. beliau merupakan generasi lanjutan, bakat nyuluk shlawatan berkat dari orang tua tuanya yang diturunkan padanya.

Kenangan tentang aktivitasnya di Nahdlatul Ulama tentu menjadi tema yang menarik bagi PC Lesbumi NU Cilacap, menggali dan mendokumentasikan dalam bentuk vidio. Lebih-lebih saat itu, ia juga menunjukkan alat musik kuno yang renta, sejumlah manuskrip yang telah tua jadilah dokumen arsip lawasan. Tambah membuat saya tak ingin beranjak dari rumahnya yang sederhana itu.

Baca juga

Kilas Lesbumi NU Majenang

Dari sekian itu, ada satu kisahnya yang memantik untuk menulis kisah ini. Yaitu , slawatan jawa grup janjanen. Sekelompok orang desa pedalaman Majenang yang membawakan suara lengkingan menyayat dengan beberapa alat terbang, yaitu musik genjring rebana. Di bagian belakangnya, tertulis: Lesbumi 1950

“Lesbumi 1950,” Sayangnya, tulisan ukiran itu sudah lapuk dan hanya seutas kenangan itu yang bisa dikorek dari beliau. Tak ada data lainnya. maklum masyarakat yang kental dengan tradisi lisan. Namun, sepenggal keterangan itu, semakin menimbulkan tanda tanya besar: Lesbumi pada tahun 1950?

Sebagaimana kita ketahui, Lesbumi secara resmi dilahirkan pada 21 Syawal 1381 H atau 28 Maret 1962 sebagaimana tercantum pada Anggaran Dasar yang pertama. Pada saat itu, dipilihlah Djamaludin Malik sebagai ketua umumnya. Sedangkan Usmar Ismail dan Asrul Sani sebagai wakil ketuanya. Empat bulan dari pertemuan tersebut, diselenggarakanlah acara Musyawarah Besar I Lesbumi di Bandung pada 25-28 Juli 1962. Fragmen berdirinya Lesbumi tersebut, sulit untuk mencari keterangan lebih lengkap.

Baca juga

Choirotun Chisaan yang mengangkat Lesbumi dalam tesis S2-nya di Sanata Dharma, Yogyakarta juga tak mendedah secara detail kronik kesejarahan dari Lesbumi sendiri. Tesis yang kemudian diterbitkan LKiS dengan judul “Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan” itu, hanya mengurai latar belakang pendiriannya yang kental nuansa politis.

Lebih lanjut, Choirotun juga mengesankan pendirian Lesbumi bersifat “top down“. Yaitu, atas inisiatif aktivis seniman NU di pusat untuk menggelar mubes guna merespon situasi sosial-politik yang ada (133-9). Hal ini cukup janggal jika dibandingkan dengan proses berdirinya organ-organ di NU.

Pada umumnya, ada gerakan awal terlebih dahulu oleh pengurus NU di lingkup daerah. Karena terlihat efektif, kemudian diluaskan skalanya hingga kemudian menasional. Simak saja sejarah berdirinya GP Ansor, IPNU dan organ lainnya. Kebanyakan berawal dari bawah ke atas.

Bisa jadi, sebelum Lesbumi diresmikan secara nasional oleh PBNU, secara lokalistik lembaga tersebut telah ada dan bergerak. Dari keterbatasan literatur tentang Lesbumi yang saya baca serta temuan kata “Lesbumi 1950” ini, menimbulkan hipotesis dibenak saya. Bisa jadi, sebelum Lesbumi diresmikan, secara lokalistik lembaga tersebut telah ada dan bergerak.

Diceritakan bahwa KH Hasan Basri membawa NU di tlatah Majenang tahun 1930, yakni 4 tahun setelah NU resmi berdiri. demikian dalam dakwahnya menggunakan model ajaran warisan ulama pendahulunya, Para Kiai pun Walisanga terutama sunan kalijaga.

Zaman di masa selama pendudukan Belanda maupun pergerakan menuju Indonesia merdeka banyak piranti kesenian lokal yang digunakan oleh ulama kala itu, dalam rangka tujuan tersebut seni budaya menjadi alat jitu, alat penanaman nilai-nilai, penyebarluasan informasi baik ilmu agama, kemasyarakatan, mestinya melalui pendekatan kearifan, melalui kesenian Islami yang lokalistik tersebut, tontonan juga tuntunan.

Seperti halnya di Banyuwangi, Jawa Ujung timur sana, diceritakan Lesbumi ditandai dengan kesenian lokal sebagai produk kebudayaannya, yakni Orkes Melaju Sinar Laut Muntjar, di Tahun 1960.

Dari Banyuwangi muncul dua lagu yang saling berhadapan dan sama-sama populer pada dekade 60-an. Yakni, lagu Genjer-Genjer yang identik dengan Lekra-PKI dan Selawat Badar yang merupakan bagian dari Lesbumi NU.

Di Majenang tak jauh beda, begitu populer saat itu tarian sintren (ronggeng) dan musik berjanjen selawat jamjanen.

Lesbumi NU, Suara Dari Banyuwangi

Gambaran dinamika kebudayaan di tlatah Majenang maupun Banyuwangi-Blambangan tersebut, juga terekam pada hasil bahtsul masail Muktamar NU tahun 1954. Saat itu, ada persoalan dari NU daerah, besar mungkin dari Majenang maupun Banyuwangi yang dibahas.

Pertanyaannya adalah tentang hukum sandiwara dengan propaganda Islam. Sandiwara dengan propaganda Islam ini, dikenal dengan sebutan “drama”. Lakon yang ditampilkan biasanya tentang para sahabat Nabi. Hingga dekade 90-an akhir, seni drama musikal ini masih populer. Saat ini, sudah sulit kita jumpai.

Dari pertanyaan tersebut, Muktamar NU memperbolehkannya dengan syarat tidak ada unsur kemungkaran (menurut kaca mata syariat). Namun bukan soal hukumnya yang menarik dibahas dalam tulisan ini. Konteks sosial politik yang melatarbelakangi munculnya pertanyaan demikian itulah yang patut ditelisik lebih jauh.

Tahun 1954 merupakan masa-masa awal NU menjadi partai politik. Setahun kemudian, NU akan menghadapi pemilihan umum 1955. Untuk itu, semua lembaga NU digerakkan untuk memasok dukungan suara. Tak terkecuali pada sektor seni budaya. Lesbumi. Potensi ini digarap penuh.

Terlebih, lawan politik NU masa itu (PKI) begitu massif menyasar seniman dan budayawan lewat Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat).

Dalam konteks Lokal perseteruan politik kebudayaan antara NU dan PKI memang cukup dahsyat. Selain melalui Genjer-Genjer, Sintren, janjanen, Selawat Badar, persaingan lainnya cukup ketat. Hipotesa diam atas, memang perlu penelitian lebih lanjut.

Mencari arsip dan data-data pendukung ataupun pembantah, menjadi hal yang penting. Bisa jadi, nama Lesbumi muncul dari Majenang atau Banyuwangi, meski pada arsip Mubes I NU itu tak tercantum delegasi dari Majenang atau Banyuwangi.

Dari 16 komisariat daerah yang hadir, yang paling dekat hanya Singaraja dan Surabaya. Akan tetapi, jika menyimak dinamika kebudayaan di Jawa ini, hipotesa di atas memang perlu disimak lebih jauh lagi.

Di Banyuwangi, sebagaimana dinukil langgar.co, bahwa grup musik seperti Sri Muda (Lekra) vs O.M Sinar Laut (Lesbumi), tari-tarian seperti Gandrung yang kerap ditampilkan Lekra melawan Kuntulan yang sering dibawakan seniman Islam.

Disampaikan, ada satu cerita tutur yang bisa disimak dari seorang tokoh NU lawas yang hidup di zaman itu, yang menarik tentang dinamika kebudayaan di Banyuwangi. Haji Ismail Ridwan, Ketua Lesbumi pada dekade 60-an, rela melakukan poligami dengan seorang penari gandrung. Hal ini tak lain agar ia bisa masuk ke komunitas seniman gandrung yang banyak dikooptasi PKI pada masa itu.

Baca juga

Haji Ismail Ridwan, Ketua Lesbumi pada dekade 60-an, rela melakukan poligami dengan seorang penari gandrung. Hal ini tak lain agar ia bisa masuk ke komunitas seniman gandrung yang banyak dikooptasi PKI pada masa itu.

Ada pula dengan cerita tari kuntulan. Secara historis, tari itu baru muncul pada dekade 60-an. Di dalam gerak tarinya sarat dengan simbolisasi ibadah dan amal sholeh. Hal ini sesuai dengan makna kuntulan yang merupakan penyerdehanaan dari lafaz “Kuntu Lailan” dalam bahasa Arab. Maknanya adalah berdiri di waktu malam (qiyamul lail).

Konon, awal munculnya tari kuntulan yang dibawakan oleh kaum hawa dengan iringan musik rebana dan selawat Nabi itu, mendapat penolakan dari para kiai sepuh kala itu.

Namun, juga mendapat pembelaan dari ulama NU yang lain. Pembela yang paling getol adalah KH Suhaimi Rafiudin Kampung Melayu. Dengan sederhana, kiai yang memiliki manuskrip tafsir Quran ini, mengajak para kiai yang keberatan menimbang dua kemudaratan. Satu sisi kemudaratan karena adanya potensi mengumbar aurat atau ikhtilat dari tarian atau kemudaratan banyak orang yang simpati pada PKI karena mengakomodir seni budaya.

Dari pertimbangan tersebut, akhirnya banyak ulama yang menyetujui. Setidaknya, tak mempermasalahkannya secara vulgar. Pandangan demikian tentu saja berangkat dari kaidah usul fiqh yang memperbolehkan memilih kemudaratan yang lebih ringan dari adanya dua kemudaratan.

Dari rangkaian fakta tersebut, sangat kemungkinan jika Lesbumi itu tak muncul dari atas, tapi berakar dari bawah terlebih dahulu. Merangkak dan tumbuh efektif hingga menjadi wadah nasional. Dan, bisa jadi pula, Majenang-Banyuwangi bisa jadi suatu daerah yang berkontribusi mengkreasi berdirinya Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi NU) tersebut.

Lesbumi NU lahir pada 28 Maret 1962 di kota Bandung. Saat itu, lesbumi dipimpin tiga tokoh film nasional di antaranya, Usmar Ismail, Jamaluddin Malik, dan Asrul Sani.

Penulis: Imam Hamidi Antassalam, Pengurus Cabang Lesbumi NU Cilacap

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button