Mempertajam Misi Kaderisasi Gerakan Pemuda Ansor

NU CILACAP ONLINE – TANGGAL 24 April 2012, Gerakan Pemuda (GP) Ansor genap berusia 78 tahun. Dalam usianya yang ke-78 ini organisasi tersebut masih menghadapi banyak tantangan. Di antaranya soal Mempertajam Misi Kaderisasi Gerakan Pemuda Ansor, mengingat GP Ansor adalah wadah kaderisasi Nahdlatul Ulama secara berkesinambungan untuk menyediakan kader-kader NU yang dibutuhkan dari waktu ke waktu. Ada empat prinsip dasar kaderisasi yang meliputi teologis, kosmologis, epistemologis dan ideologis NU yang perlu dielaborasi kembali sebagai pegangan operasionalisasi program yang lebih teknis.

Pertama, tentang prinsip Teologi Aswaja. Masyarakat NU menetapkan Ahlussunnah wal Jamaah (aswaja) sebagai akidah resmi. Aswaja ini secara teologi bermazhab pada Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Artinya teologi NU adalah teologi yang berusaha mengenalkan adanya Allah dan ke-Esa-an-Nya dengan mengenal adanya sifatdan asma Allah.

Pemahaman aswaja dalam kecenderungannya saat ini tidak lagi bertolak dari perspektif doktrinal dalam bingkai dikotomis antara firqah dhalalah (kelompok sesat) dan firqah najiyah (kelompok yang benar dan selamat) tetapi langsung ke persoalan tauhid yang lebih diarahkan pada analisa sejarah sosial politik yang melatarbelakanginya. Artinya tilikan doktrinal terhadap Aswaja disempurnakan dengan tilikan historis sebagai manhaj dalam pemikiran keagamaan. Dengan demikian dalam konteks kekinian aswaja harus merupakan refleksi iman atas berbagai problem konkrit yang dihadapi umat.

Aswaja yang demikian itu kemudian menjelma menjadi praksis iman yang nyata danbergerak melampaui Aswaja ketika pada saat awal sekali diadaptasi. Di manapun Aswaja memiliki prinsip yang sama yaitu moderasi, toleransi, keadilan dan kerakyatan. Kehadiran NU telah memberikan wajah Islam yang lebih moderat dan toleran. Dalam kenyataannya komunitas Islam model itulah yang mampu menciptakan kerukunan sosial sehingga kemudian tercermin dalam sikap berpolitik dan bernegara yang lebih demokratis.

Kedua, kosmologi NU. Kosmologi adalah kesadaran tentang realitas dan cara memahami realitas tersebut. Kosmologi sangat mempengaruhi cara pandang warga NU terhadap realitas di sekelilingnya. Kosmologi sering dikaitkan dengan realitas keteraturan alam (kosmos) yang komprehensif dalam matra pertumbuhannya.

Artikel Terkait

Tertib kosmos diatur oleh hukum sosial yang dibangun oleh masyarakat. Dengan demikian kosmologi memiliki arti sosial yang berarti terciptanya kehidupan sosial yang mantap dan stabil.

Perspektif kosmologis menegaskan alam raya bukan benda mati melainkan komprehensifitas makhluk hidup yang selalui mengabdi kepada Allah. Ini akan berbanding terbalik dengan kosmologis kapitalis yang memandang alam raya materialis semata yang halal dieksploitasi untuk kepentingan hedonistis sesaat. Kosmologi kapitalis telah merasuki cara berpikir dan bertindak manusia yang sering berujung pada ketidaktertiban sosial. Sebab parameternya yang konsumtif di satu sisi dan di sisi lain telah meninabobokan kemiskinan yang berarti juga menghancurkan kosmologi masyarakat tradisional seperti warga NU.

Ketiga, Epistemologi NU. Epistemologi lazim juga disebut sebagai filsafat keilmuan. Epistemologi tidak hanya menyangkut bagaimana cara berfikir, tetapi juga membicarakan sumber pengetahuan sampai ke masalah metode memperoleh pengetahuan.

Bagaimana sebenarnya epistemologi NU? Seperti halnya kosmologi, epistemologi NU belum banyak dielaborasi. Komunitas NU memiliki basis keilmuan yang unik, yaitu pesantren. Sampai kurun waktu saat ini pesantren sering ìdituduhî sebagai kelompok irasional oleh modernisasi yang mengusung epistemologi model rasionalisme, empirisisme dan positivisme. Padahal sumber pengetahuan bagi komunitas NU tidak hanya akal dan indera tetapi juga hati atau intuisi. Dengan bantuan sumber pengetahuan tersebut metode iluminatif dikembangkan.

Disadari atau tidak komunitas NU tidak mungkin bertumpu hanya pada epistemologi yang tunggal melainkan perlu melengkapi diri dengan metode modern. Ini sebangun dengan munculnya kecenderungan epistemologi modern yang gencar melirik kepada epistemologi dengan metode intuitif yang mereka sebut sebagai pengetahuan lokal. Keempat ideologi NU.

Dari Khitah NU yang berlandaskan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah kemudian dirumuskan ideologi NU didukung dengan pengalaman kesejarahan NU sendiri. Ideologi NU adalah kebangsaan yang berorientasi kerakyatan yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan keadilan. Rumusan ideologis semacam ini masih harus dielaborasi agar lebih bersifat operasional.

Ideologi yang demikian itu yang masih mungkin untuk disempurnakan. Bukan tidak mungkin akan memiliki peluang tampil sebagai ideologi alternatif. Watak ideologi NU yang berorientasi kerakyatan bisa menjadi kontrol utama bagi kecenderungan ideologi yang elitis dan oligarkis.

Yang Dibutuhkan NU. Tidak bisa dipungkiri Ansor sangat membutuhkan kader yang handal yang memahami nilai dasar NU. Memiliki wawasan luas, komitmen kuat, kecakapan teknis organisasi. Penanaman nilai dasar NU penting dilakukan agar kader Ansor memiliki kemampuan memahami nilai-nilai dasar pergerakan.

Juga memiliki pandangan keagamaan yang pluralis dan bersikap toleran. Hal ini sangat penting ditekankan karena prinsip dasar dikembangkannya agama Islam menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Perlu pula memiliki keterampilan managerial.

Hanya dengan organisasi yang teratur dan solid, visi dan misi Ansor bisa dikembangkan secara masif. Bersamaan dengan itu ideologi NU harus benar-benar dirumuskan untuk tujuan operasional yang lebih nyata dalam kehidupan.

Ada banyak wawasan yang perlu dimiliki oleh kader Ansor. Seorang kader diharapkan memiliki wawasan dasar yang meliputi kemampuan menganalisa perkembangan sosial, politik dan ekonomi. Memiliki kemampuan mengartikulasikan perkembangan situasi sosial politik. Ini penting agar kader mampu mengambil posisi strategis dan jauh dari benturan kepentingan di antara kekuatan kapitalisme global. Mampu melakukan analisa historis dan sosiologis terhadap perkembangan Aswaja, kesadaran kosmologis NU, dan analisa filosofis terhadap epistemologi serta proses pembentukan ideologi.

Dan kader yang dibutuhkan muntlak memiliki kecakapan teknis. Kecakapan teknis yang dimaksud antara lain menguasai dasar perjuangan NU. Memiliki kemampuan melakukan analisa terhadap situasi dan memiliki kemampuan menggerakkan organisasi dan massa.

Pada dasarnya kader GP Ansor adalah kelompok aktivis-intelektual NU yang mengemban tugas serta bertanggung jawab atas kontribusi organisasi terhadap kebijakan publik yang menyangkut pengembangan pemuda. Segmentasi pengembangan pemuda sebenarnya memberikan ranah yang jelas terhadap komprehensifitas GP Ansor pada setiap ritme gerakannya. Ritme GP Ansor yang dinamis memberikan peluang seluas-luasnya untuk mengakomodasi setiap matra kehendak yang harus disalurkan pada model-model kegiatan yang bersifat kontributif langsung terhadap kebutuhan GP Ansor.

Lantas bagaimana seharusnya figur kader GP Ansor? Kader tidak lain adalah kader yang dibutuhkan NU. Menyadarai bahwa NU sebenarnya membutuhkan banyak sekali kader maka spesifikasi kader harus diketengahkan ke arah mana kader GP Ansor bisa memberikan kontribusinya kepada NU. Di sini kader GP Ansor muntlak memiliki minimal dua orientasi, struktural dan keahlian. Struktural berarti kader dipersiapkan untuk menyongsong estafet kepemimpinan NU di semua tingkatannya.

Sementara orientasi keahlian berarti bahwa kader harus memiliki kecakapan yang bisa dikontribusikan langsung kepada NU, masyarakat, bangsa dan negara. Kebutuhan untuk memunculkan kader-kader yang memilki keahlian dan konsentrasi langsung dengan segmen kebutuhan NU dan masyarakat pada umumnya sangat mendesak.

GP Ansor sangat menyadari hal ini. Kita menyadari mayoritas warga NU adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian, maka GP Ansor membutuhkan kader yang memiliki keahlian di bidang pertanian. Ketika NU bermaksud mengawal tanggung jawab dan program politik kebangsaan, kerakyatan dan kemaslahatannya, maka

NU membutuhkan kader politik yang bisa disuplai oleh GP Ansor. NU lahir dari rahim pemikiran dan perjuangan ulama. Maka NU pun sebenarnya membutuhkan kader ke-ulama-an yang bisa dilahirkan oleh GP Ansor. Di atas semua kebutuhan yang ada kebutuhan minimal kader GP Ansor sebanyak yang tercermin dalam struktural NU, badan otonom dan lajnahnya ketika harus dilakukan distribusi kader di dalamnya.

Semua ideal di atas harus dipertajam dengan mekaniksme kaderisasi GP Ansor secara lebih sistematis, terpadu, dan berkesinambungan sehingga mampu menghasilkan kader yang diidealkan NU sebagai organisasi induknya. Kaderisasi tidak mungkin lagi dilakukan secara kultural. Karena kaderisasi model ini berakibat terjadinya parsialitas dan disorientasi kader, tumpah tindih struktural dan stagnasi program kerja.

** Artikel ditulis oleh Munawar AM, PW GP Ansor Jawa Tengah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button