Sya’banan, Ruwahan, Sadranan Dalam Tuntunan Nabi

NU Cilacap Online – Tradisi Sya’banan, Ruwahan, Sadranan adalah beberapa istilah tradisi sebagian umat Islam di Indonesia untuk mengisi bulan Sya’ban. Bulan Sya’ban adalah bulan istimewa. Pada bulan Sya’ban semua amal manusia dilaporkan kepada Allah SWT.

Tradisi Nabi sendiri memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban melebihi puasa sunah beliau pada bulan-bulan yang lain. Kemudian, tradisi nabi SAW ini jamak disebut sya’banan.

Tradisi Sya’banan

Adapun berkaitan dengan keutamaan Sya’banan, al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali, murid terkemuka Syekh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif sebagai berikut:

خَرَّجَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَ النَّسَائِيُّ (مِنْ حَدِيْثِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَصُوْمُ اْلأَيَّامَ يَسْرُدُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يُفْطِرُ وَ يُفْطِرُ اْلأَيَّامَ حَتَّى لاَ يَكَادُ يَصُوْمُ إِلاَّ يَوْمَيْنِ مِنَ الْجُمْعَةِ إِنْ كَانَا فِيْ صِيَامِهِ وَ إِلاَّ صَامَهُمَا وَ لَمْ يَكُنْ يَصُوْمُ مِنَ الشُّهُوْرِ مَا يَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ ؟ قَالَ : ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَب وَ رَمَضَان وَ هُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ اْلأَعْمَالُ فِيْهِ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ عَزَّ وَ جَلَّ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِيْ وَ أَنَا صَائِمٌ).

“Al-Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan dari hadits Usamah bin Zaid, yang berkata: “Rasulullah terkadang berpuasa selama beberapa hari berturut-turut sehingga kami berkata, beliau tidak sarapan pagi. Beliau juga sarapan pagi selama beberapa hari sehingga hampir saja beliau tidak berpuasa kecuali dua hari dari Jum’at, apabila dua hari itu menjadi bagian puasanya. Kalau tidak, beliau berpuasa pada dua hari itu. Nabi tidak berpuasa pada bulan-bulan yang ada seperti puasa beliau pada bulan Sya’ban.

Aku berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada bulan-bulan sebelumnya seperti puasa engkau pada bulan Sya’ban?” Nabi menjawab, “Bulan Sya’ban itu, bulan yang dilupakan manusia antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan Sya’ban itu, bulan di mana amal manusia diangkat Allah SWT Tuhan semesta alam. Aku ingin, amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.”

Demikian tradisi Nabi SAW mengistimewakan bulan sya’ban kemudian menjadi perhatian para sahabat, dan kesunahan itu hingga ulama Ahlisunnah wal Jamaah menghormati bulan istimewa tersebut dimaknai sya’banan.

Ruwahan

Cara menyikapi bulan istimewa, di mana amal manusia dilaporkan kepada Allah SWT, umat Islam di tanah air Nusantara terutama di Jawa ini melakukannya dengan Ruwat atau Ruwahan yakni dengan memperbanyak sedekah, sehingga bulan ini disebut dengan bulan Ruwah.

Ruwahan
Tradisi ruwahan di kalangan masyarakat muslim Jawa

Para alim ulama menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah pada momen-momen yang dianggap penting itu. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi berkata:

وَقَالَ أَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّ اْلإِكْثَارُ مِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ اْلأُمُوْرِ الْمُهِمَّةِ.

“Para ulama kami berkata, “Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika dalam mengnyikapi urusan-urusan penting.”

Bahkan, berkaitan dengan anjuran peningkatan amal kebaikan pada bulan Sya’ban, al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali berkata:

وَلَمَّا كَانَ شَعْبَانُ كَالْمُقَدِّمَةِ لِرَمَضَانَ شُرِعَ فِيْهِ مَا يُشْرَعُ فِيْ رَمَضَانَ مِنَ الصِّيَامِ وَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ لِيَحْصُلَ التَّأَهُّبُ لِتَلَقِّيْ رَمَضَانَ وَ تَرْتَاضَ النُّفُوْسُ بِذَلِكَ عَلىَ طَاعَةِ الرَّحْمنِ، رَوَيْنَا بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كَانَ الْمُسْلِمُوْنَ إِذَا دَخَلَ شَعْبَانُ اِنْكَبُّوْا عَلىَ الْمَصَاحِفِ فَقَرَؤُوْهَا وَأَخْرَجُوْا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ تَقْوِيَةً لِلضَّعِيْفِ وَالْمِسْكِيْنِ عَلىَ صِيَامِ رَمَضَانَ.

“Oleh karena Sya’ban itu merupakan pengantar bagi bulan Ramadhan, maka pada bulan Sya’ban yang utama mengamalkan hal-hal yang dianjurkan pada bulan Ramadhan seperti berpuasa, membaca al-Qur’an, sebagai persiapan menghadapi Ramadhan, dengan demikian jiwa menjadi terlatih untuk taat kepada Allah. Kami telah meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Anas, yang berkata;

“Ketika bulan Sya’ban tiba, kaum Muslimin biasanya menekuni mushaf dengan membaca al-Qur’an. Mereka juga mengeluarkan zakat harta benda untuk membantu orang yang lemah dan miskin dalam menjalani puasa Ramadhan.”

Baca juga

Sadranan

Pada bulan Sya’ban, dalam kebudayaan kita, masyarakat Jawa ada tradisi ziarah kubur, ritus ini jamak dikenal dengan tradisi Sadranan tau nyekar.

Selain Ruwahan, ada sadranan atau Nyadran yang dipercaya telah dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sejak lama. Syahdan, di masa Raja Syeilendra (Borobudur), istilah nyadran mulanya disebut shraddha, yang memiliki arti iman. Shraddha merupakan upacara penghormatan terhadap arwah orang-orang suci.

Sadranan
Tradisi Sadranan masyarakat di Nusantara

Inti dari ritual upacara shraddha adalah menunjukkan rasa hormat kepada arwah leluhur (nenek moyang) dan mensyukuri atas anugerah kekayaan alam yang melimpah.

Rasulullah juga berziarah ke makam para sahabat di Baqi’ pada malam nisfu Sya’ban. Al-Hafizh Ibn Rajab, murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berikut ini:

وَفِيْ فَضْلِ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ أَحَادِيْثُ أُخَرُ مُتَعَدِّدَةٌ وَقَدِ اخْتُلِفَ فِيْهَا فَضَعَّفَهَا اْلأَكْثَرُوْنَ وَصَحَّحَ ابْنُ حِبَّانَ بَعْضَهَا وَخَرَّجَهُ فِيْ صَحِيْحِهِ وَمِنْ أَمْثَلِهَا (حَدِيْثُ عَائِشَةَ قَالَتْ : فَقَدْتُ النَّبِيَّ فَخَرَجْتُ فَإِذًا هُوَ بِالْبَقِيْعِ رَافِعًا رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ : أَكُنْتِ تَخَافِيْنَ أَنْ يَحِيْفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُوْلُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ : إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلىَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ) خَرَّجَهُ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ.

“Mengenai keutamaan malam nisfu Sya’ban, ada sejumlah hadits-hadits lain yang diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama menilainya dha’if. Sebagian hadits-hadits itu dishahihkan oleh Ibn Hibban dan diriwayatkan dalam Shahih-nya. Hadits terbaik di antara hadits-hadits tersebut adalah, hadits ‘Aisyah yang berkata,

“Aku kehilangan Nabi , lalu aku keluar mencarinya, ternyata beliau ada di makam Baqi’, sedang mengangkat kepalanya ke langit. Beliau berkata, “Apakah kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya berbuat sewenang-wenang kepadamu?”

Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mengira engkau mendatangi sebagian istri-istrimu.” Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah turun pada malam nisfu Sya’ban ke langit dunia, lalu mengampuni orang-orang yang jumlahnya melebihi jumlah bulu-bulu kambing suku Kalb.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn Majah.”

Malam Nisfu Sya’ban

Tradisi lain yang juga berlangsung di tengah-tengah masyarakat yang termasuk Sya’banan atau Sadranan ada pada malam nisfu Sya’ban yaitu shalat sunat secara berjamaah dan dilanjutkan dengan doa bersama.

Tradisi ini berkembang sejak generasi salaf, kalangan tabi’in. Dalam hal ini, Ibn Rajab al-Hanbali berkata:

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ : بَلَغَنَا أَنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِيْ خَمْسِ لَيَالٍ: لَيْلَةِ الْجُمْعَةِ وَالْعِيْدَيْنِ وَأَوَّلِ رَجَبٍ وَنِصْفِ شَعْبَانَ قَالَ: وَأَسْتَحِبُّ كُلَّ مَا حُكِيَتْ فِيْ هَذِهِ اللَّيَالِيْ، وَلاَ يُعْرَفُ لِلإِمَامِ أَحْمَدَ كَلاَمٌ فِيْ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ وَيُتَخَرَّجُ فِي اسْتِحْبَابِ قِيَامِهَا عَنْهُ رِوَايَتَانِ مِنَ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فِيْ قِيَامِ لَيْلَتَيِ الْعِيْدِ فَإِنَّهُ فِيْ رِوَايَةٍ لَمْ يَسْتَحِبَّ قِيَامَهَا جَمَاعَةً لأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنِ النَّبِيِّ وَأَصْحَابِهِ وَاسْتَحَبَّهَا فِيْ رِوَايَةٍ لِفِعْلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدِ بْنِ اْلأَسْوَدِ وَهُوَ مِنَ التَّابِعِيْنَ فَكَذَلكَ قِيَامُ لَيْلَةِ النِّصْفِ لَمْ يَثْبُتْ فِيْهَا شَيْءٌ عَنِ النَّبِيِّ وَلاَ عَنْ أَصْحَابِهِ وَثَبَتَ فِيْهَا عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ التَّابِعِيْنَ مِنْ أَعْيَانِ فُقَهَاءِ أَهْلِ الشَّامِ.

“Al-Syafi’i berkata, “Kami mendapat informasi bahwa doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam hari raya, malam 1 Rajab dan malam nisfu Sya’ban.” Al-Syafi’i berkata, “Aku menganjurkan semua yang diceritakan pada kelima malam ini.”

Sementara tidak ditemukan pernyataan dari Imam Ahmad mengenai malam nisfu Sya’ban. Tetapi kesunnatan ibadah (shalat dan semacamnya) pada malam itu dapat dianalogikan terhadap dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai ibadah pada malam hari raya.

Dalam satu riwayat, Imam Ahmad tidak menganjurkan ibadah (shalat) berjamaah pada malam hari raya. Karena tidak pernah dikutip dari Nabi dan para sahabat.

Dalam riwayat lain, Ahmad menganjurkan shalat sunnat berjamaah pada malam hari raya karena Abdurrahman bin Yazid bin al-Aswad –ulama generasi tabi’in- telah melakukannya.

Demikian pula, shalat sunnat berjamaah pada malam nisfu Sya’ban, tidak ada riwayat dari Nabi dan para sahabat. Tetapi ada riwayat dari sekelompok tabi’in, dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan shalat sunnat secara berjamaah.”

Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam hal ini al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah, berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ .

“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…”

Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya”.

Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.”

“Artikel berjudul Sya’banan, Ruwahan dan Sadranan merupakan gubahan dari tausiyah KH Khalid Mawardi berjudul ‘Bulan Sya’ban, Tradisi Ruwah, dan Nyadran’ melalui Wag “NIN: Niat Ingsun ngaji”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button