Ketika Ratusan Warga Majenang Berebut Grebeg Kupat Syawal
NU CILACAP ONLINE – Ratusan warga ramai berebut grebeg kupat bada Syawal pada perayaan bada kupat (Lebaran Ketupat) di Desa Pahonjean Kecamatan Majenang. Tak ayal, ratusan gantungan ketupat berisi uang pun jadi rebutan untuk diberkat dan dibawa pulang.
Sudah jadi tradisi turun temurun, saban bulan syawal pada akhir pekan pertama usai umat Islam merayakan hari Idulfitri pada 1 Syawal, masyarakat muslim di Desa Pahonjean Majenang merayakan grebeg badan kupat dan Lebaran Ketupat.
Tradisi tersebut biasanya dihelat bertepatan pada hari kedelapan bulan Syawal. Pada lebaran tahun ini bertepatan pada Sabtu, 29/4/2023.
Kegiatan diselenggarakan dalam rangka perayaan nyawal yakni setelah umat Islam menyelesaikan puasa Syawal selama 6 hari, sesuai sunah Nabi Muhammad SAW.
Kegiatan Grebeg badan kupat dan Lebaran Ketupat yang diprakarsai oleh Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Nurul Iman Dusun Bantarsari Desa Pahonjean Majenang Cilacap ini telah berlangsung lama. Demikian menjadi tanda dan bukti amal shalih, simbol syukur, kebersamaan dan kebangsaan.
Di Desa Pahonjean Majenang, Masjid wakaf Almagfurlah KH Sam’ani yang terletak 150 m barat pasar hewan Pahonjean Majenang menjadi tempat berkumpulnya masyarakat merayakan tradisi tersebut.
Di pagi hari mereka berbondong-bondong menuju masjid, membawa hidangan lebaran, ketupat lengkap beserta lauk pauknya. Mereka berkumpul dalam satu majlis, menguatkan kembali tali silaturahmi, bermuwajahah bil wujuh.
Grebeg Kupat Badan
Jalannya acara Grebek Kupatan dipimpin oleh Imam Masjid Nurul Iman Pahonjean Kiai Muhammad Fatikhun. Kiai Fatikhun mengajak seluruh masyarakat untuk meneruskan amalan-amalan yang sudah dijalankan sebulan penuh selama bulan Ramadhan untuk menjadi kebiasaan baik di bulan-bulan berikutnya. Kemudian dilanjutkan dengan do’a bersama yang dipimpin oleh Kiai Makhsus, diikuti oleh ratusan jama’ah yang hadir.
Mereka kemudian secara bersama-sama menyantap ketupat yang telah disiapkan, lengkap dengan lauk pauknya, sambal goreng dan bubuk kedelai. Menyantap sembari mendengar shalawat yang diiringi musik kasidah grup drumband Madrasah Ibtidaiyah (MI) 01 Pahonjean Majenang pimpinan Nyai Puji Astuti.
Usai santap kupat bersama dan semua tahapan Lebaran Ketupat dilalui, kembali kiai Fatikhun ambil peran jadi komando acara inti yakni Grebeg Kupat Badan. Semua jamaah yang hadir pun berkumpul di halaman masjid untuk siap ikuti acara grebeg atau berebut kupat badan yang telah digantungkan begitu rapi.
Grebeg Kupat Badan pun berlangsung usai sang kiai membuka dengan doa tawasul berharap berkah. Masyarakat pun berebut dengan suka cita dan membawanya pulang sebagai berkat. Ribuan kupat yang digantungkan di halaman masjid itu berisi mata uang 500 rupiah hingga 5 ribu rupiah.
Baca juga
- PAC GP Ansor Majenang Dirikan Posko Mudik Lebaran 1443 H
- 7 Tradisi Suroan Cilacap, Akulturasi Budaya Nusantara
Filosofi Ketupat
Kata ketupat atau kupat berasal dari bahasa Jawa yakni “ngaku lepat” atau mengakui kesalahan. Dalam masyarakat Jawa, mengakui kesalahan biasanya dengan melakssanakan sungkeman.
Tata cara sungkeman dilakukan dengan bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orang tua. Hal ini menandakan pentingnya penghormatan anak terhadap orang tua.
Berkaitan dengan hal tersebut, ketupat menjadi simbol “maaf” bagi masyarakat Jawa. Tak heran, hari raya Idulfitri maupun Lebaran Ketupat identik dengan makanan tersebut.
Sejarah Lebaran Ketupat
Dikatakan bahwa tradisi kupatan dalam Lebaran Ketupat muncul di era Wali Songo. Dalam hal ini erat kaitannya dengan Sunan Kalijaga. Masyarakat Jawa mempercayai, Sunan Kalijaga merupakan sosok yang pertama kali memperkenalkan ketupat ke masyarakat.
Kala itu, Sunan Kalijaga memanfaatkan tradisi slametan yang sudah ada di masyarakat Nusantara untuk menyebarkan ajaran Islam. Sunan Kalijaga mengajarkan masyarakat cara bersyukur, bersedekah, dan bersilaturahmi.
Selain Majenang Cilacap, di sejumlah daerah masih melestarikan tradisi Lebaran Ketupat ini di antaranya Magelang, Rembang, Gresik, Pasuruan, Trenggalek, Kudus, Madura, hingga Lombok, dan Gorontalo. (Imam Hamidi Antassalam)
Baca juga 7 Tradisi Suroan Cilacap, Akulturasi Budaya Nusantara