Pengertian dan Landasan Hukum Ahlul Halli wal ‘Aqdi
NU Cilacap Online – Pengertian, Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat (mengurai), istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka, pengangkatan Abu Bakar r.a. menjadi khalifah dijadikan landasan hukum praktik Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
Tugas Ahlul Halli wal ‘Aqdi (AHWA)antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung, karena itu Ahlul Halli wal ‘Aqdi juga disebut oleh al-Mawardi sebagai Ahlu al-Khiyar (golongan yang berhak untuk memilih). Peranan golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang di antara Ahl al-Imamah (golongan yang berhak untuk dipilih) untuk menjadi khalifah.
Paradigma pemikiran ulama fiqh merumuskan istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan yaitu golongan Anshar dan Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fiqh diklaim sebagai Ahlul Halli Wal ‘Aqdi (kadang ditulis dengan Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi, red. ) yang bertindak sebagai wakil umat.
Walaupun sesungguhnya pemilihan itu khususnya pemilihan Abu Bakar dan Ali bersifat spontan atas dasar tanggung jawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama. Namun kemudian kedua tokoh itu mendapat pengakuan dari umat. Sehingga dalam hubungan ini tepat sekali definisi yang dikemukakan oleh Dr. Abdul Karim Zaidan tentang Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah orang orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekuen, taqwa, adil, kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.
Kemudian Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam mendefinisikan bahwa Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah orang-orang yang diserahkan kepadanya suatu urusan untuk memilih kepala negara, mereka yang melakukan akad dan bertanggung jawab dalam hal ini.
Djazuli mendefinisikan bahwa Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang mashlahat. Mereka berkewenangan membuat undang-undang yang mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal yang tidak diatur secara tegas oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Dan mereka juga merupakan tempat berkonsultasi imam di dalam menentukan kebijaksanaannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa Ahlul Halli wal ‘Aqdi merupakan suatu lembaga pemilih. Orang-orangnya berkedudukan sebagai wakil-wakil rakyat dan salah satu tugasnya yaitu memilih khalifah atau kepala negara. Ini menunjukkan bahwa sistem pemilihan khalifah dalam perspektif pemikiran ulama fiqh dan kecenderungan umat Islam pada generasi pertama dalam sejarah adalah merupakan pemilihan secara tidak langsung atau melalui perwakilan.
Dalam hal ini secara fungsionalnya sama seperti halnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara dan lembaga perwakilan rakyat yang personalpersonalnya merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat melalui suatu Pemilu (Pemilihan Umum). Adapun salah satu tugasnya adalah memilih presiden (sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan).
Baca Artikel Terkait
- Ahwa Bukan Akal Akalan, Klarifikasi Yahya Staquf
- Ahlul Halli Wal ‘Aqdi Disepakati Dalam Rapat Pleno PBNU
- Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa) Dipakai dalam Pemilihan Rais Aam
Landasan Hukum Ahlul Halli wal ‘Aqdi
Ibnu Al-Atsir di dalam kitabnya al-Kamil fi al-Tarikh, menceritakan salah salah satu peristiwa terbesar dan bersejarah yaitu pengangkatan Abu Bakar r.a. menjadi khalifah.
Diceritakan oleh Ibnu Atsir bahwa pada wafatnya Rasulullah SAW, orang-orang Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah dan mereka berusaha mengangkat Sa’ad Bin Ubadah menjadi pemimpin umat walaupun Sa’ad pada waktu itu dalam keadaan sakit. Sa’ad Bin Ubadah kemudian berpidato yang isinya mengemukakan tentang keutamaan keutamaan orang Anshar yaitu bahwa kemuliaan dan jasanya dalam membela Rasulullah SAW adalah sangat besar. Berita tentang kumpulnya orang-orang Anshar ini sampai kepada Umar Bin Khattab, kemudian Umar Bin Khattab r.a. mendatangi rumah Rasulullah SAW karena Abu Bakar r.a berada di sana.
Umar berkata kepada Abu Bakar yaitu: “Telah terjadi suatu peristiwa yang tidak bisa tidak harus hadir”. Kemudian diceritakan oleh Umar peristiwa tersebut yaitu berkumpulnya orang-orang Anshar di Bani Sa’idah yang akan mengangkat Sa’ad Bin Ubadah menjadi pemimpin umat. Selanjutnya Abu Bakar dan Umar seger menuju ke Saqifah Bani Sa’idah dan ikut pula beserta mereka Abu Ubaidah.
Abu Bakar kemudia berbicara kepada orang-orang Anshar yang pada akhir pemicaraannya Abu Bakar berkata: “Orang Quraish adalah orang yang pertama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka wali dan keluarga Rasulullah SAW dan paling baik berhak memegang kembali umat setelah Rasulullah SAW wafat”. Tetapi kaum Anshar memandang bahwa kaumnyalah yang paling mulia dibanding Quraish.
Perbincangan itu kemudian memanas yang masing-masing mempertahankan kedudukannya untuk dipilih menjadi khalifah. Namun akhirnya persoalan ini dapat diselesaikan dengan adanya baiat oleh Basyir Bin Sa’ad, Umar, dan Abu Ubaidah. Kemudian baiat itu pun diikuti oleh kaum Aus. (A. Djazuli, 1985: 33-35)
Dari peristiwa itulah kemudian muncul istilah pemilihan kepala Negara melalui konsep perwakilan (Ahlu Halli wa al-Aqdi). Dan dari peristiwa itu, landasan hukum Ahlul Halli Wal ‘Aqdi direferensikan. Dengan demikian pada prinsipnya adanya Ahlu Halli wa al-Aqdi adalah diharuskan di dalam suatu Negara Islam, karena di dalamnya dipenuhi dengan prinsip-prinsip musyawarah (Qalamuna)