Metode Cepat Tanggap Belajar Alqur’an (CTBA) An-Nahdliyah
NU CILACAP ONLINE – Metode Cepat Tanggap Belajar Al-Qur’an (CTBA) An-Nahdliyah lahir sekitar akhir tahun 1990-an dan kini dikenal sebagai “Metode An-Nahdliyah” adalah salah satu metode membaca Al-Qur’an yang lebih ditekankan pada kesesuaian dan keteraturanbacaan dengan menggunakan ketukan.
Metode Cepat Tanggap Belajar Al-Qur’an CTBA An-Nahdliyah adalah salah satu metode membaca Al Qur’an yang lahir di daerah Tulungagung, Jawa Timur. Metode ini dicetuskan untuk pertama kali oleh KH Munawir Kholid. Dalam perkembangannya Beliau dibantu oleh tim mentor salah satunya KH Syamsu Dluha.
Dalam kesempatan Diklat Metode CTBA An-Nahdliyah yang digelar di Kabupaten Cilacap pada pertengahan Juni 2021, KH Syamsu Dluha mentor sekaligus tim Mabin An-Nahdliyah Pusat menceritakan sedikit tentang sejarah lahirnya metode Annhadliyah.
Metode Cepat Tanggap Belajar Anqur’an An-Nahdliyah metode mengajar Alqur’an yang disusun oleh Badan Pengkajian Pendidikan Alqur’an (BP3Q) yang berpusat di Kota Tulungagung. Penciptanya sendiri adalah KH Munawir Kholid.
Kiai Dhuha demikian beliau akrab mulai bercerita. Di tahun 1987, di Kabupaten Tulungagung tepatnya Kecamatan Kepatihan muncul Iqro’ sebagai metode pembelajaran Alqur’an kepada anak-anak di sana. Keberadaan Iqro’ ini bisa diterima dengan baik lantaran metodenya yang praktis dan mudah dipahami. Penggunaannya pun hampir merata di masjid-masjid dan mushala.
Perkembangan Iqro’ ini mengundang rasa penasaran seorang tokoh agama setempat Kiai Munawir Kholid. Ia pun menelusuri buku Iqro’ ini. Akhirnya diketahui Iqro dibawa oleh seorang tokoh Muhammadiyah. Kenyataan ini tentu saja menampar Kiai Kholid sebagai seorang NU tulen sementara lingkungan tempat tinggalnya dihuni mayoritas warga NU. Ia pun menyatakan ketidak relaannya.
“Saya tidak rela anaknya orang-orang NU di-engremi orang Muhammadiyah,” kata Kiai Dhuha menirukan Kiai Kholid.
Perintis CTBA An-Nahdliyah
Sejak itu, Kiai Kholid bersama Kiai Manaf yang juga tokoh NU Tulungagung mulai merintis sebuah metode pengajaran Alqur’an dengan ketukan. Namun dirasa masih belum memuaskan. Kiai Kholid memperbanyak riyadloh untuk mendapatkan petunjuk. Hingga akhirnya sebuah isyaroh datang dari Alloh.
“Kiai Kholid diarahkan untuk berjalan ke arah utara. Beliau pun melakukannya hingga dalam langkahnya sampai ke rumah pengurus MWCNU Ngantru Tulungagung. Di situlah Kiai Kholid bertemu dengan saya (Kiai Dhuha),” tutur Kyi Dhuha.
Baca juga Guru Ngaji Se Majenang Raya Ikuti Diklat CTBQ An-Nahdliyah
“Kamu bisa baca Alqur’an? Coba baca Surat Alfatihah,” kata Kiai Kholid menyuruh Kiai Dhuha. Kiai Dhuha pun menurut. Mendengar bacaan Kiai Dhuha, Kiai Kholid merasa puas lantas bertanya siapakah gurunya.
“Guru saya Mbah Kiai Arwani, Kudus. Setahu saya, beliau (Mbah Arwani) kalau menyimak santri setor bacaan atau hapalan kok sudah benar, beliau akan mantuk-mantuk”, jawab Kiai Dhuha. Kiai Kholid merasa puas dengan jawaban itu. Ia pun mempunyai gagasan agar metode ketukan dipadukan dengan gaya mantuk-mantuknya Kiai Arwani.
Saat itu juga Kiai Kholid menyuruh kiai Dhuha untuk membuat sebuah makalah yang berisi tentang bagaimana cara membaca Alqur’an yang baik. Setelah itu KH Syamsu Dhuha langsung didaulat untuk memberikan penataran terhadap guru-guru ngaji se-Kabupaten Tulungagung dengan materi Program Sorogan Alqur’an (PSQ).
Sering berjalannya waktu, metode ketukan berkembang di Kabupaten Tulungagung. Sementara itu muncul metode Qiroati di Semarang yang diciptakan oleh KH Ahmad Dahlan Zarkasyi, mengetahui hal ini pengurus Maarif Tulungagung sowan kepada Kiai Zarkasyi untuk meminta ijazah dan sekaligus hak ciptanya untuk dikembangkan di Tulungagung. Mereka pun diizinkan.
Sekembalinya dari Semarang, Kiai Kholid memanggil Kiai Dhuha dan teman lainnya untuk memadukan metode ketukan Tulungagung dengan metode Qiroati Semarang untuk kemudian membaginya dalam 6 jilid. Tidak disangka metode ini berkembang pesat bahkan mulai masuk ke kabupaten lain.
Namun begitu, ternyata ada juga yang tidak cocok dengan adanya metode tersebut walau pada akhirnya mereka yang tidak sepaham bisa menerima juga. Namun pada suatu ketika dikarenakan suatu hal, Maarif Tulungagung memutuskan agar Metode Ketukan Tulungagung Furqoh (putus) dengan Metode Qiroati.
Metode Annhadliyah
Sejak itu pak Kholid dan kawan-kawan membagi tugas untuk membuat buku metode baru hingga tersusunlah 6 jilid. Setelah jadi buku tersebut diteliti dan disepakati oleh Pengurus Cabang NU dan Maarif NU Kabupaten Tulungagung dan diberi nama An-Nahdliyah. Metode ini tetap memakai ketukan namun pada jilid 6 halaman 10 mulai dilepas ketukan dan diganti dengan murottal.
Kiai Dhuha menjelaskan bahwa ketukan dalam metode An-Nahdliyah berfungsi sebagai titian murattal atau jeda bacaan. Ini dimaksudkan untuk melatih anak-anak tidak tergesa-gesa dalam membaca Alqur’an.
“Jadi ketukan ini sebenarnya pengganti hitungan jari. Biasanya kan untuk menjelaskan panjang pendek bacaan, guru menggunakan jari. Oh ini panjangnya satu alif, ini setengah alif, kalo yang ini 3 alif, “ jelas Kiai Dhuha.
Dalam memperagakan ketukan, guru bisa memakai tongkat atau pangkal pulpen. Dengan ketukan tersebut, guru memberikan aba-aba saat membimbing bacaan anak-anak.
Sejak saat itu, tepatnya tahun 1990, Metode Annhadliyah ini berkembang pesat di pondok-pondok pesantren. Tidak hanya di Kabupaten Tulungagung, namun juga di kota-kota lain di seluruh Indonesia. Bahkan metode ini juga berkembang di Negara Hongkong.
Di sana menurut penuturan Kiai Dhuha dibentuk Cabang Istimewa An-Nahdliyah Hongkong. Pada tahun 2013, Kementrian Agama Pusat Jakarta mengundang tim Metode An-Nahdliyah untuk melakukan presentasi yang bertempat di Bogor.
Metode An-Nahdliyah ini juga telah disimak dan didoakan oleh beberapa ulama Nusantara di antaranya KH Abdullah Abas (Buntet Cirebon), KH Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), KH Idris Marzuki (Lirboyo), KH Bakir (Lamongan) KH Shodik Way (Jepara, Lampung, Sumatra), dan masih banyak ulama lainnya.
Hingga hari ini, Metode CTBA An-Nahdliyah telah diterima oleh hampir semua Lembaga Pendidikan di Indonesia. Bukan hanya dari kalangan NU saja tapi juga dari Muhammadiyah dan LDII.