Makna Simbolik Di Balik Ibadah Qurban
Oleh : Taufik Imtikhani
NU CILACAP ONLINE – Di dalam Ibadah Qurban ada banyak makna yang bisa dicerna, termasuk makna simbolik di dalamnya. Lalu apa dan bagaimana makna simbolik di balik ibadah Qurban?
Umat Islam di seluruh dunia, segera akan merayakan Hari Raya Idhul Qurban. Dikatakan hari raya Qurban, karena pada hari itu, diperintahkan untuk melakukan penyembelihan hewan qurban, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mendekatkan diri menuju jalan ketaqwaan. Karena derajat taqwa adalah kedudukan yang paling mulia.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling bertakwa di antara kamu adalah yang paling bertakwa
Jadi, qurban adalah sebagian dari jalan, syariat, untuk mencapai derajat taqwa.
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ
” Tidaklah sampai darah dan daging qurban, tetapi yang sampai adalah jalan taqwamu..” (Al Hajj:37)
Jadi disini, qurban hakekatnya hanyalah washilah dalam menempuh jalan ketaqwaan, bukan tujuan itu sendiri. Sebagai sesuatu yang bukan bukan tujuan, tentu menarik untuk dielaborasi, mengapa harus dengan jalan tersebut?
Ini sesungguhnya memuat i’tibar sekalikus makna simbolik, yang penting bagi kita. Hewan, daging, dan darah qurban kemudian habis dibagi, dimakan, dan dibuang. Ketika sudah selesai, selesaikah pengorbanan kita?
Allah mengajarkan secara simbolik, keikhlasan dalam berkurban kepada orang lain. Dan itu tentu bisa dilakukan kapan saja di mana saja setiap saat. Tidak harus menunggu Idhul Qurban. Bahwa hal-hal itu butuh momentun dan monumen, benar. Namun momentum dan monumen harus diwujudkan dalam tindakan real.
Berqurban pada dasarnya, bernilai sedekah. Sedekah itu, harus yang terbaik. Hal ini secara historis telah dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim AS. Nabi Ibrohim AS saat itu hendak mengorbankan putranya Ismail AS yang telah lama ditunggu kelahirannya dan sangat dicintainya.
Demi ketaqwaan, kedua bapak dan anak itu rela melaksanakan perintah Allah, walau terasa sangat berat. Ismail pun berkata:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Ash-shaffat:102)
Ismail kemudian diganti oleh Allah dengan domba gibas. Ini pun penuh dengan makna simbolik. Domba dalam tradisi arab adalah lambang kedudukan sosial yang tinggi kala itu. Artinya, dalam berkurban, bersedekah, berbuat amal sholih, harus dilakukan dengan yang terbaik. Ini untuk memperoleh kedudukan yang sempurna.
Dalam Ali Imran ayat 92, Alloh mengatakan:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّوْنَ
..”Tidaklah engkau sampai kepada kedudukan yang sempurna, sehingga menginfakkan apa yang paling dicintai.”
Misi profetik para Nabi adalah berkorban untuk umatnya. Mereka bersusah payah berlara lapa, untuk umatnya. Bahkan Isa bin Maryam, dalam kepercayaan kristen, sampai rela disalib untuk umatnya. Muhammad, dukanya selalu mengharu biru, untuk umatnya. Bahkan perlakuan buruk musuh-musuhnya, Ia balas dengan kebaikan, ampunan dan maaf, serta masih membuka ruang untuk berdialog. QS. Ali Imran: 159 menceritakan,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (Ali Imron : 159)
Inilah puncak amal sholih, yang disebut dengan kebajikan. Berbuat baik kepada orang yang melakukan kita dengan baik, itu hal yang normal. Tapi berbuat baik kepada orang yang memusuhi kita, membenci kita, itu adalah hal yang sulit. Tapi Nabi dapat melakukan hal itu.
Artikel Makna Simbolik Di Balik Ibadah Qurban ditulis oleh Taufik Imtikhani, Penulis adalah anggota NU Marginal Forum Cilacap.