Trending

Lailatul Qadar, Ibnu Arabi dan Sebuah Proses Spiritual

NU Cilacap Online – Lailatul Qadar dan Pandangan Ibnu Arabi erat hubungannya dengan sebuah proses spiritual. Bagaimana pandangan Ibn Arabi tentang Lailatul Qadar?

Memandang suatu peristiwa dalam bulan Ramadhan tidak dapat lepas dari apa yang dinamakan malam Lailatul Qadar. Dalam maknanya Lailatul Qadar; jika diartikan pada sebuah bahasa yakni terdiri atas dua kata, yaitu ‘lail’ yang artinya malam, sedangkan ‘qadar’ sendiri memiliki makna yang beragam.

Lailatul Qadar yang juga merupakan malam yang penting bagi umat muslim di bulan ramadhan, yang dalam Al-Qur’an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Tentu menjadi catatan tersendiri bagaimana pemaknaan dan dimensi-dimensi nilai-nilai dari Lailatul Qadar dapat tergambar jelas sebagai mana digambarkan malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Lailatul Qadar yang terjadi di antara 10 hari terkahir di bulan ramdahan, menurut Quraish Shihab salah satu cendikiawan muslim di Indonesia, kata Qadar sesuai dengan penggunaannya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dapat memiliki tiga arti.

Ketiga arti tersebut tentang Lailatul Qadar yaitu pertama penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.

Baca juga Menyambut Lailatul Qadar

Penggunaan Qadar sebagai ketetapan sendiri dapat dijumpai pada surat Ad-Dukhan ayat 3-5: “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami”

Kedua, kemuliaan yang mana malam Lailatul Qadar tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Qur’an.

Penggunaan Qadar yang merujuk pada kemuliaan dapat dijumpai pada surat Al-An’am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat

Ketiga adalah sempit, Lailatul Qadar itu malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr. Penggunaan Qadar untuk melambangkan kesempitan dapat dijumpai pada surat Ar-Ra’d ayat 26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya)

Maka dengan begitu luasnya pengertian Lailatul Qadar sebagai sebuah dimensi dari perjalanan spiritual umat muslim, serta kemuliaan dan hikmah dari malam tersebut yang mana bila dimaknai secara mendalam merupakan perjalanan dari kehidupan manusia memaknai dirinya.

Baca Juga:

Mungkinkah  Lailatul Qadar sebagai sebuah titik kehidupan manusia khusunya umat muslim dapat menjadi sebuah waktu di mana umat muslim mendapat karunia tertinggi malalui malam Lailatul Qadar dari Allah SWT sebagai seorang manusia?

Lailatul Qadar dalam Pandangan Ibnu Arabi

Lailatul Qadar sendiri seperti banyak dipandang oleh cakrawala para sufi itu merupakan karunia spiritual tertinggi yang dicapai seseorang. Seperti diketahui, pada Lailatul Qadar cahaya ilahi turun menghampiri dan menyatu dengan jiwa-jiwa hamba. Sebab itu, malam Lailatul Qadar disebut juga malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Ibnu ‘Arabi, salah seorang sufi dan filsuf besar. Memaknai Lailatul Qadar menurutnya, pemaknaan seribu bulan bukanlah hitungan angka, melainkan simbol untuk menjelaskan karunia Allah yang tidak terbatas.

Kata seribu bersifat kualitatif yang menggambarkan tak terbatasnya kemungkinan pemaknaan di baliknya. Artinya, momen ketika jiwa hamba menyatu dengan cahaya Tuhannya adalah momen yang tak terperi sekaligus karunia yang tak terhingga.

Baca juga Rahasia Ramadhan dan Hikmahnya 

Menyatu dengan cahaya Allah yang tak terbatas, tentu memberikan pengalaman yang tak terbatas pula. Kebersatuan cahaya ilahi dan jiwa pada saat Lailatul Qadar itulah yang selanjutnya diharapkan dapat mengejawantah dalam kepribadian dan perilaku keseharian.

Manusia yang dalam jiwanya bersemayam cahaya ilahi, pasti tidak akan menampakkan perilaku kecuali sesuai dengan nilai-nilai ilahi kata Ibnu Arabi.

Singkatnya, Lailatul Qadar adalah sebuah proses spiritual, dan oleh karenanya tidak akan cukup digambarkan dengan kata-kata. Dan setiap proses spiritual yang dialami manusia akan sangat berpengaruh terhadap akhlak dan kepribadiannya.

Maka, jika ibadah di malam-malam Ramadhan tidak mampu merubah perilaku kita, berarti Lailatul Qadar tidak pernah benar-benar mendatangi kita. Wallahu A’lam (Toto Priyono)

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button