Hukum Menjamak Shalat Bagi Penyandang Disabilitas

NU CILACAP ONLINE – Ada korelasi antara disabilitas dan aksesibilitas dalam hal apakah boleh menjamak shalat oleh penyandang disabilitas atas alasan ketersediaan aksesibilitas; lalu bagaimana hukum menjamak shalat bagi penyandang disabilitas atas alasan aksesibilitas tersebut? Berikut ulasannya. 

Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intlektual mental dan sensorik dalam jangka waktu yang lama. D alam berintraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk beradaptasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Shalat Fardu adalah Shalat dengan status hukum Fardu, yakni kewajiban dilaksanakan setiap Muslim dan Muslimat. Shalat Fardu sendiri menurut hukumnya terdiri atas dua golongan yakni Fardu ‘Ain dan fardu kifayah. Fardu ‘ain yakni yang diwajibkan setiap individu. Termasuk dalam shalat ini adalah Shalat lima waktu.

Pandangan terhadap para penyandang disabilitas seringkali dipandang sebagai aib atau bahkan kutukan. Sehingga masyarakat cenderung menjauhi orang orang penyandang disabilitas, bahkan memperlakukan mereka dengan salah.

Hal itu tentunya merupakan masalah; masyarakat sendiri memperlakukan para penyandang disabilitas secara berbeda lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi fisik tertentu mereka dianggap tidak mampu melakukan aktivitas sebagaimana orang lain pada umumnya.

Artikel Terkait

Baca juga Ranting NU Tritih Wetan Peringati Hari Disabilitas Internasional

Islam sebagai Agama Samawi tidak terlepas dari empat tujuan, yakni:

Pertama untuk mengenal Allah SWT (Ma’rifatullah) dan mengesakan Allah SWT (Tauhid);

Kedua menjalankan segenap ritual dan ibadah kepada Allah SWT sebagai manisfestasi rasa syukur kepada-Nya;

Ketiga untuk mendorong amar ma’ruf nahi mukar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) serta mengahsilkan hidup manusia dengan etika dan akhlak mulia (Tasawuf);

Keempat untuk menetapkan peraturan peraturan yang berkaitan dengan hubungan sosial (Muamalah) di antara manusia.

4 (empat) poin inilah yang disebut oleh Syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi sebagai maksud dan hikmah diturunkannya hukum islam Hikmatut Tasyri’.

Disabilitas Masa Nabi Muhammad SAW

Sebagai contoh disabilitas pada masa Nabi Muhammad SAW adalah sahabat Abdullah Ibnu Umi Maktum, beliau mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk memohon bimbingan Islam. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW mengabaikannya karena Nabi Muhammad SAW sedang sibuk mengadakan rapat dengan petinggi kaum Quraisy.

Kemudian turunlah wahyu Allah SWT Surat Abasa sebagai peringatan agar Nabi Muhammad SAW lebih memperhatikan Abdullah Ibnu Umi Maktum yang disabilitas Netra, dari pada pemuka Quraisy itu.

Sejak itulah Nabi Muhammad SAW jika bertemu dengan Abdullah Ibnu Umi Maktum langsung menyapa dengan kalimat: “Selamat berjumpa wahai orang yang kerenanya aku telah diberi peringatan oleh Tuhanku”.

Sebagaimana pemaparan di atas, maka layanan publik harus menyediakan fasilitas untuk penyandang disabilitas seperti Musholla, Masjid dan Jalan untuk mereka. Karena layanan publik seperti Musholla dan Masjid masih banyak yang belum mempunyai fasilitas untuk menunjang penyandang disabillitas seperti tempat mensucikan diri atau tempat wudlu.

Maka muncul pertanyaan apakah boleh penyandang disabilitas menjamak shalat dengan alasan fasilitas publik belum ada untuk penyandang disabilitas?

Dalam Kitab Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz IV halaman 264, dijelaskan yang artinya adalah:

“Penjelasan tentang madzhab para ulama perihal menjamak shalat tanpa bepergian jauh dengan tanpa sebab ketakutan, tanpa adanya perjalanan, tanpa hujan dan tanpa sakit: madzhab kita sayfi’iyyah, madzahb abu hanifah, malik dan ahmad dan mayoritas ulama adalah tidak memperbolehkannya.

Tetapi diriwayatkan dari ibnu mundzir dan sebagian ulama bahwa jamak itu boleh tanpa sebab. Ia berkata: Ibnu Sirin memperbolehkannya apabila ada keperluan atau selama tidak dijadikan kebiasaan.

Hal itu didasarkan pada keterangan berikut dalam Kitab Sab’atu Kutub Mufidah yang artinya “Tidak mengapa bertaklid (ikut) kepada ulama selain madzhabnya dalam perincian masalah tertentu, sama saja taklidnya kepada salah satu dari madzhab empat atau kepada ulama lainnya yang mahabnya terjaga dan terbukukan dalam masalah tersebut sehingga diketahui syarat syarat dan pertimbangannya”.

Secara benang merah, setatus hukum kaum disabillitas yang menunda shalat dari waktu yang ditentukan ketika bepergian dengan alasan fasilitas publik atau tempat yang dituju belum ada fasilitas untuk disabilitas; maka hukumnya diperbolehkan. “Wallahualam bissawab”.

Penulis artikel berjudul Hukum Menjamak Shalat Bagi Penyandang Disabilitas adalah Anas Mubarok, seorang tenaga pendidik di SDN 1 Kaliwungu Kedungreja Kabupaten Cilacap. Ia juga aktif di Banom NU GP Ansor di tempat tinggalnya.

Editor Naeli Rokhmah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button