Haji Riang Gembira 2023 Part 20; Umrah Sunnah 3, Hudaibiyah

Umrah Sunnah ke 3 dengan Miqat di Hudaibiyah oleh jamaah haji KBIHUNU Cilacap melengkapi catatan perjalanan Haji Riang Gembira Part 20. Ingat nama Hudaibiyah kan ?
Hudaibiyah adalah tempat sangat monumental di zaman Nabi Muhammad SAW, di mana pada tahun 628M atau tahun keenam Hijriyah bulan Dzulqa’dah terjadi perjanjian antara Nabi Muhammad saw mewakili umat Islam dan Suhail bin Zmru mewakili kaum Quraisy di Hudaibiyah. Atau juga dikenal dengan sebutan Syumaisi. Saat itu Nabi beserta umatnya sebanyak 1.400 orang.
Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah paling tidak memuat empat substansi, yaitu; Pertama, kedua belah pihak bersedia melakukan gencatan senjata selama 10 tahun. Kedua, setiap orang diberi kebebasan untuk memilih menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW atau menjadi bagian dari kaum kafir Quraisy.
Ketiga, kaum muslimin wajib mengembalikan orang Makkah yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW di Madinah tanpa alasan yang benar kepada walinya, sedangkan kaum kafir Quraisy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang menjadi pengikut mereka.
Keempat, kunjungan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji ditangguhkan pada tahun berikutnya, dan lama kunjungannya maksimal tiga hari dengan tidak membawa senjata.
Selama kurun waktu itu, ketegangan antara umat Islam dan kaum Quraisy relatif tidak terjadi. Kondisi aman dan tidak ada peperangan. Menurut sebuah sumber, dengan perjanjian itu, Nabi bebas mengirim duta-dutanya ke berbagai negara untuk berdakwah. Sehingga, umat Islam yang tadinya hanya berjumlah 1.400 orang bertambah menjadi hampir 10.000 orang.
Adapun jarak Makkah ke Hudaibiyah berkisar antara 22km, ditempuh dengan menggunakan bus sekitar 30 menitan. Ini mengacu pada perjalanan yang kami, jamaah kloter SOC 69 KBIHU NU alami Selasa malam lalu saat akan melaksanakan umrah sunnah yang ketiga dengan mengambil miqat di Hudaibiyah.
Masjid Hudaibiyah
Penanda miqat umrah sunnah ke 3 di Hudaibiyah adalah masjid Hudaibiyah yang bernama Masjid Syumaisi. Masjidnya asri, bersih. Masih menampakkan bentuk lamanya. Kokoh, kuat.
Kami sampai di masjid Hudaibiyah pada saat adzan Isya sedang berkumandang. Kami bisa mendengarkan suara adzan yang nyaring dan merdu. Usai adzan, kami shalat sunnah dua rakaat, lalu duduk menunggu iqamah.

Ketika iqamah selesai, imam masjid tetap berdiri di belakang dan tak kunjung maju ke depan, hanya memberi isyarat kepada Muadzin. Muadzin kemudian menyerahkan imam shalat Isya kepada jamaah yang mau umrah. Mungkin karena sudah kadung berdiri di shaf depan, salah satu jamaah KBIHUNU memberanikan diri maju ke bagian depan menjadi imam shalat Isya.
Tanpa bilang ‘sawwuu…sawwu…’ atau melihat ke belakang untuk mengingatkan makmum agar barisannya rapat dan rapi, imam amatir ini langsung saja main takbiratul ihram, Allahu Akbar….Bismillahirrahmanirrahiim…. Begitulah, Bismillah dibaca di awal fatihah dengan nyaring… lalu salam. Shalat Isya selesai.
Usai shalat Isya, jamaah melaksanakan shalat sunnah ihram dua rakaat. Lalu kembali ke bus masing-masing. Pendamping mengingatkan kepada jamaah untuk niat umrah bagi yang belum dan mencopot masker dan celana dalam. Mencopot celana dalam hanya berlaku bagi laki-laki. Untuk yang perempuan tidak berlaku. Tetapi mereka pada pake cd atau tidak, saya juga tidak tahu.
Satu demi satu, bus bergerak menuju Makkah. Cepat bus-bus itu melaju, tetapi tidak saling salip. Sampai di Shib Emir, semua jamaah turun dan terus berjalan menuju Masjidil Haram. Tahapan Umrah Sunnah 3 Hudaibiyah dilanjutkan. Sebelum masuk ke dalam masjid, jamaah dipersilakan untuk ke toilet, mensucikan diri.
Sampai di titik ini, saya merasakan kenyamanan bersama-sama dengan jamaah kloter SOC 69. Karu karom dan jamaahnya sangat mandiri.
Thawaf di Pelataran Ka’bah
Saya kebetulan berada di bagian terakhir karena harus menunggu teman-teman yang masih noilet. Ada 10 orang perempuan kira-kira, dan dua pasang suami istri. Kami terus merangsek menuju pelataran Ka’bah untuk melantai. Dua orang perempuan memegangi tali tas saya. Yang lain mengikuti di belakangnya.
Di tengah perjalanan dan desakan manusia, saya mendengar mereka mengatakan, “pak Rozi diikuti oleh gadis-gadis cantik tahun 80an“. Saya bergaya khusyu’, diam saja, tidak mereaksi apapun. Saya terus melantai, menuju rukun hajar aswad sebagai permulaan thawaf. Dan Mereka mengikuti. Utuh.
Ketika rukun hajar aswad sudah dicapai melalui tanda lampu hijau, dari belakang muncul suara lantang, Bismillahi Allahu Akbar….3X.. Saya bilang, terus saja mbak. Sementara itu, Saya sengaja mengesekkan suaranya. Si mbak yang diketahui adalah seorang Ning di Majenang ini memimpin doa… Ya, saya bergaya esek, untuk menutupi ketidakhafalan doanya.
Begitulah, kami melantai di pelataran Ka’bah sampai putaran ketujuh berakhir. Saya memimpin di depan, tetapi doa-doa dipimpin oleh Ning tadi. Jamaah 10 orang utuh. Baca juga: Thawaf di Lantai 2 Masjidil Haram.
Setelah putaran ketujuh berakhir, saya menawari mereka mbok mau mendekat ke Ka’bah, atau ke hijir Ismail. Mereka kompak ok, setuju. Maka jadilah acara berdesakan dimulai lagi. Tidak terlalu susah untuk mencapai ini, karena posisinya memang sudah dekat. Saya nengok ke belakang.
Thawaf dan Berpegangan Tas
Si pemegang tali tas saya tetap semangat. Wajahnya sumringah. Dia gadis di era 70an, tetapi masih semrinthil sekali. Dia tinggal di Cilopadang ke atas, berbatasan dengan Salem, Brebes. Tidak dapat berbahasa Jawa. Padahal dari awal, instruksi-instruksi menggunakan bahasa Jawa. Dia hanya main pegang tali tas saya saja.
Thawaf selesai. Sambil mengikuti arus, sedikit demi sedikit jamaah keluar dari pusaran orang. Lalu berhenti di tempat yang dirasa nyaman. Masih di pelataran Ka’bah. Mereka shalat dua rakaat, terus berdoa sedoa-doanya, diiringi air mata dan bibir yang ndremimil.
Jamaah bergerak menuju mas’a. Di lantai dasar juga, yang ada sensasi naiknya. Dan bukit Shafa yang berupa bebatuan terlihat jelas. Bukit ini sudah terpagari kaca. Hanya mata dan perasaan saja yang bisa sampai ke bukit Shafa. Kaki dan badan tidak bisa menggapainya.
Ketika di tanjakan, kami membaca ayat, inna al shafa wa al marwata min sya’aa-irillah…dst…Lalu kami berhenti, dan berdoa. Awalnya saya membiarkan agar si Ning saja yang baca doa. Tetapi buku disodorkan ke saya. Apa boleh buat. Saya berdoa, diaminkan oleh jamaah.
Doa usai dibaca. Kami bergerak menuju Marwah. Sambil berjalan ke sana, saya persilakan jamaah untuk membaca shalawat, terserah. Dipilihlah shalawat thibbilqulub.
Kaki sudah mulai lempoh. Tetapi sebagai pendamping saya tidak tunjukkan ke jamaah. Apalagi melihat si Ibu masih semrinthil. Saya tawari minum dulu, ambil air zam-zam di pinggiran yang tersedia melimpah. Maksudnya biar kaki ini bisa relaksasi. Dia tidak mau. Jawabnya, “saya sudah bawa”. Waduh,… ya sudah. Perjalanan dilanjutkan.
Shalawat Thibbilqulub
Shalawat thibbilqulub terus bergema. Si ning yang memimpin. Suaranya lantang. Lumayan, semangat mereka mengurangi rasa lempoh saya. Apalagi si Ning memang pinteran menggugah semangat jamaah. Allahumma shalli….Ning itu mengulang dengan keras: “shalli…shalli…”.. ‘ala sayyidina…dst. begitu seterusnya secara berulang. Semangat jamaah tetap stabil hingga berakhir di Marwah.
Sampai di akhir perjalanan ketujuh, tak ada satupun yang mampir mengambil air zam-zam. Bahkan ketika proses tahallul selesai. Jamaah masih utuh. Semua jamaah sudah melakukan tahallul dan sejenak sudah melempangkan kaki. Rangkaian Umrah Sunnah 3, Hudaibiyah selesai. Baca juga: Haji Riang Gembira 2023 Part 2: Umrah Wajib Jamaah KBIHUNU
Saya tawari, jalan lagi apa… atau mau nginap di sini…tanpa menjawab iya, mereka menyat dan bergerak menuju terminal.
Masih di pelataran haram, ketika menemukan tempat air zam-zam, saya tidak nawarin, juga tidak pake omongan, tetapi saya langsung belok saja untuk minum sepuasnya. Haus sudah tak tertahankan sedari tadi. Ternyata, di belakang saya, jamaah mengikuti semuanya.
Di perjalanan pulang, ibu yang berjalannya masih semrinthil dan lincah itu sudah tidak lagi memegangi tali tas saya… (Bersambung ke part 21)