Dimensi Sosial Ibadah Puasa, Bagaimana Mengartikannya?

NU CILACAP ONLINE – Dimensi Sosial Ibadah Puasa, Bagaimana Mengartikannya? Pertanyaan ini layak dijawab dan disebarkan pengertiannya kepada halayak agar dalam kita menjalankan ibadah puasa tidak hanya mendapatkan rasa lapar dan haus, tetapi juga meraih hikmah daripada puasa itu sendiri.

Lantas apa goal atau tujuan dari ibadah puasa itu? Allah Swt secara lugas telah menyebutnya dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (183);

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)

Indikator Manusia Bertakwa

Pada ayat tersebut jelas bahwa goal akhir dari tujuan puasa adalah la’allakum tattquun, agar menjadi orang yang bertakwa. Yang menjadi pertanyaan , siapa orang yang bertakwa itu? Allah SWT telah menjelaskan kriteria orang yang bertakwa dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 3.

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ

Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, (Al-Baqarah; 03).

Dari ayat tersebut dapat ditarik pemahaman adanya 3 indikator atau ciri-ciri orang bertakwa yaitu:

Beriman kepada hal-hal yang gaib. Bahwa orang yang bertaqwa adalah adalah mereka yang beriman kepada hal-hal yang gaib, yang tidak tampak dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan indra mereka. Seperti Allah, malaikat, surga, neraka, dan lainnya yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Mau menegakkan syariah Allah, yang artinya mau menjalankan perintah Allah. Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan shalat. Shalat menjadi standar keimanan seseorang.

Shalat  menjadi ukuran paling mudah untuk memberi tanda apakah seseorang berislam atau tidak berislam. Berbeda dengan zakat, puasa, dan sebagainya.

Mau menyedekahkan sebagian riskinya, berupa harta, ilmu, kesehatan, kekuasaan, dan hal-hal lainnya yang bermanfaat.

Hal ini semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya. Artinya tiga hal ini adalah sesuatu yang harus kumpul (akumulatif) dalam diri seseorang yang bertakwa.

Melihat ayat tersebut, kita dapat melihat bahwa puasa tidak hanya membentuk karakter soleh seseorang secara pribadi, tetapi puasa juga membentuk karakter seseorang yang soleh secara sosial.

Artinya orang tersebut rajin beribadah kepada Allah tetapi juga rajin berbuat baik kepada orang lain. Puasa tidak hanya mengarahkan orang untuk beribadah tapi juga membentuk seseorang menjadi sholeh secara sosial.

Baca juga Ramadhan Syahrut Tarbiyah, Bulan Pendidikan

Puasa, Psikologis-Biologis

Rasulullah Muhammad SAW menyebut, banyak orang berpuasa tapi ia hanya memperoleh lapar, dahaga, karena tidak mampu menjaga panca indranya.

Artinya seorang puasa tidak hanya menjaga mulut tidak makan dan minum, tetapi mampu menjaga mata untuk melihat hal-hal yang tidak baik, mampu menjaga telinga kita mendengar sesuatu yang tidak baik. Oleh karena itu, manusia dikatakan ada yang puasa biologis dan ada puasa psikologis.

Puasa biologis yakni puasa yang hanya menjaga lapar, haus, dan menjaga dari keinginan syahwat. Sedangkan puasa psikologis adalah puasa yang mampu menjaga nurani diri kita. Artinya bagaimana orang itu mampu menjaga ucapan agar tidak menyakiti orang lain, mampu menjaga menjaga semua indra agar tidak membatalkan puasa secara maknawi.

Nabi berkata bahwa amal yang baik adalah shadaqah di bulan Ramadhan. Ramadhan bermakna membakar, membakar jiwa manusia, membakar dosa manusia,  agar manusia sadar bahwa dia adalah hamba.  Ini berarti bahwa bulan Ramadhan adalah Momentum untuk membakar dosa-dosa manusia.

Mengingatkan manusia bahwa dia punya Allah itu mudah, tapi mengingatkan manusia bahwa ia adalah hamba Allah itu sulit. Karena seringkali manusia lupa berperilaku sebagaimana Allah, sombong, merasa kaya, merasa paling tahu dan itu semua adalah sifat Allah. Maka pada momentum di bulan Ramadhan, manusia di sadarkan bahwa ia adalah seorang hamba yang lemah dan tidak berdaya.

Konsekuensi manusia sebagai hamba adalah sadar bahwa kita ingat punya Tuhan Allah. Bila kita sadar bahwa kita adalah hamba,  maka kita tidak akan takabbur atau sombong. Puasa menyadarkan manusia adalah hamba Allah yang tidak bisa hidup sendiri.

Tiga dimensi ini harus ada semua dalam diri orang yang berpuasa. Insyaallah bila kita konsisten menegakkan, maka bila kita mampu melakukan itu, berarti kita telah mencapai la’allakum tattaqun, derajat takwa. Inilah makna puasa Ramadhan. (Naeli Rokhmah)

Artikel berjudul “Dimensi Sosial Ibadah Puasa, Bagaimana Mengartikannya?” disarikan dari Taushiyah Ramadhan oleh Sekretaris PCNU Cilacap, Gus Hazam Bisri.

Baca Juga: Al-Qur’an Sebagai (Perisai) Pembela, Apa Maksudnya ?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button