Ada Rahasia Apa di Nanga Suhaid, Aroma Kewalian Sangat Terasa

NU CILACAP ONLINE – Ada rahasia apa di Nanga Suhaid, aroma kewalian sangat terasa di sana, Nanga Suhaid adalah sebuah desa di Kecamatan Suhaid, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.

Nanga Suhaid adalah satu salah satu tempat unik yang merupakan pusat peradaban laut atau peradaban sungai yang ditinggalkan para wali. Di sini aroma spiritual Islam sangat terasa. Ekonomi masyarakat sejahtera sebagai salah satu ‘pusat ikan’, daerah nya adem ayem gemah ripah loh jinawi.

Jika kita baca jejak, ada pola yang ‘sama’ dalam beberapa hal dalam model pergerakan antara para misionaris di tanah Kalimantan dan para pendakwah Islam yang kemudian disebut para wali.

Misalnya selalu memulai misi dengan memilih hutan belantara, namun entah apa alasannya tempat yang dipilih selalu dicirikan dengan beberapa hal berikut:

Mereka selalu memilih dataran rendah dengan tanah berair atau tanah licak. Yaitu tanah yang dikelilingi air baik itu sungai maupun suak. Lalu mereka juga selalu memilih simpang tiga sungai atau pertemuan muara sungai dengan sungai yang lebih besar,

Wali dan Peradaban

Ciri selanjutnya mereka kemudian membabat hutan dan membangun peradaban baru di situ. Bisa berupa kerajaan maupun kampung. Ciri berikutnya adalah didirikannya mesjid atau surau dan balai sebagai pusat pergerakan. Baik pergerakan sosial, politik maupun pendidikan,

Kemudian, ciri lain yang juga nampak jelas adalah para wali ini memberikan toleransi tinggi kepada adat kebiasaan masyarakat setempat yang mereka islamkan. Sehingga masyarakat muslim yang tercipta bukan lah masyarakat ekslusif yang anti terhadap kondisi zaman.

Namun dalam urusan akidah dan ibadah mereka diajarkan sikap konservatif dan kadang sangat fanatik. Sehingga dapat kita liat misalnya masyarakat muslim pada peradaban sungai terlihat seperti sangat toleran dalam urusan furu’iya. Tetapi jangan pernah ganggu dan singgung soal akidah. Mereka akan bertaruh nyawa untuk itu.

Jejak pola pergerakan para wali ini kemudian pada masanya menjadikan peradaban sungai sebagai pusat – pusat kota yang berkembang sangat pesat dan dinamis. Juga menjadi kiblat peradaban pada saat itu. Adalah suatu kebanggaan menjadi orang aik atau turun ke laut menjadi muslim. Atau setidaknya bangga belajar kepada orang-orang Islam di laut,

Saat kemudian jalur transportasi air menjadi pilihan tunggal maka orang laut adalah orang yang hidup dan membangun peradaban di luar. Sementara orang atas adalah mereka yang kemudian memilih menjauh membangun peradaban di pedalaman.

Nanga Suhaid

Jaman berubah masa berganti seiring dengan massif nya misi yang dilancarkan oleh aktifitis pergerakan Kristus yang disebut misionaris kemudian terjadi perubahan skema peradaban.

Jika para pendakwah muslim (para wali) datang dengan menggunakan transportasi air maka para misionaris Kristus datang seperti capung turun dari udara. Mereka membangun lapangan-lapangan udara di pedalaman jauh. Di situ mereka membangun gereja dan sekolah misi dengan meniru pola ‘pesantren’ di Jawa.

Strategi Membangun Peradaban

Di sini ada yang unik, Jika para pendakwah Islam (Wali) membangun pusat peradaban dan pusat komando di luar dan melakukan pergerakan dari luar ke dalam. Maka para misionaris Kristus menggunakan pola sebaliknya.

Mereka meletakkan titik komando pada titik pusat Piramida di titik terdalam, kemudian mereka bergerak dengan pola jaring laba-laba kearah bawah dan luar.

Pola ini dari sudut strategi pergerakan lebih aman, karena titik komando berada di tengah dikelilingi oleh komunitas Kristus sipil yang terbentuk. Dan pusat komando itu berada di titik yang sulit di jangkau baik menggunakan transportasi air maupun transportasi darat.

Namun kemudian keadaan menjadi terbalik, ketika para aktivis Kristus membalik pusat peradaban dengan melakukan strategi ‘jalan darat’. Seiring meningkatnya ketersediaan dan kepemilikan alat transportasi darat maka mereka mengatur strategi agar jalan-jalan protokol yang dibangun pemerintah itu tidak menyusuri pantai – pantai sungai yang menjadi pusat peradaban orang laut yang telah dibangun sebelum nya oleh aktifitis pergerakan muslim (wali).

Maka kini pusat-pusat komando misionaris Kristus justru berada di luar. Sementara saat tranportasi air mulai banyak ditinggalkan, justru pusat komando para wali berada pada titik aman sulit dijangkau. Tetapi mengelilingi pusat-pusat komando misionaris Kristus tersebut.

Minimnya jangkauan alat transportasi darat di Nanga Suhaid menyebabkan adat budaya masih terjaga dengan baik. Suasana kekeluargaan terasa sangat harmonis. Mereka orang muslim biasa dalam keseharian tetapi sangat kuat menjaga prinsip akidah. Satu malam berada di sini seperti ribuan tahun berada di peradaban muslim tua. Para wali memang luar biasa. (Tohidin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button