NU dan Lingkungan Hidup

NU CILACAP ONLINE – Bagaimana pandangan NU terhadap persoalan lingkungan hidup? Setiap tanggal 5 Juni, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkannya sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day/WED), menjadi hari bagi penduduk Bumi meneguhkan kembali arti penting lingkungan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Nahdlatul Ulama (NU) memiliki komitmen terhadap persoalan lingkungan hidup. Pandangan tersebut disajikan dalam tulisan berikut ini yang semula berjudul Teologi Lingkungan, ditulis oleh ALI MASYKUR MUSA Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU).

Tersedianya lingkungan hidup yang nyaman dan bersahabat dengan manusia beserta makhluk-makhluk lain yang ada di dalamnya merupakan dambaan setiap manusia. Sebaliknya,tidak ada satu orang pun yang menginginkan terjadinya bencana alam, baik dalam skala kecil maupun—apalagi—dalam skala besar. Bumi diciptakan sebagai tempat hidup yang nyaman,bukan mengancam. Di sisi lain,negara juga memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana telah diamanatkan oleh Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia amendemen kedua menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Dipertegas lagi dalam Pasal 65 ayat (1) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Semakin memburuknya kondisi lingkungan hidup secara terbuka diyakini dapat memengaruhi dinamika sosial, politik, sosial, dan ekonomi masyarakat baik di tingkat komunitas, regional, maupun nasional. Pada akhirnya krisis lingkungan hidup secara langsung mengancam kenyamanan dan meningkatkan kerentanan kehidupan setiap warga negara.

Komitmen Ulama

Lalu bagaimana Islam memandang tindakan mencemari lingkungan? Apa hukumnya mencemari lingkungan? Selama ini ada kritik yang dilontarkan sebagian pihak bahwa ulama di Tanah Air belum pernah mengeluarkan fatwa tentang hukum mencemari dan merusak lingkungan. Ulama di Tanah Air dinilai sebagian kalangan cenderung menetapkan fatwa yang dinilai kurang penting. Anggapan itu sangat tidak beralasan sebab para ulama Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan fatwa terkait masalah penyelamatan lingkungan hidup.

Dalam Muktamar Ke-29 NU di Cipasung, Tasikmalaya pada 1994, para ulama telah membuat fatwa tentang pencemaran lingkungan. Fatwa itu ditetapkan ulama NU berawal dari kebijakan industrialisasi yang ternyata berdampak pada rusaknya lingkungan. Saat ini masih ada pelaku industri yang masih nakal dengan membuang limbah industri secara langsung tanpa diolah terlebih dahulu.Akibatnya, lingkungan sekitar seperti sungai, tanah, dan udara menjadi rusak dan kotor. Tak hanya industri, limbah domestik yang dibuang secara sembarangan oleh masyarakat pun berdampak pada rusaknya lingkungan.

Lalu bagaimana hukum mencemarkan lingkungan? Ulama NU bersepakat bahwa hukum mencemarkan lingkungan baik udara, air, maupun tanah, apabila menimbulkan kerusakan, hukumnya haram. “Tindakan seperti itu juga termasuk perbuatan kriminal (jinayat)”, begitu bunyi fatwa tersebut. Lalu bagaimana konsep Islam dalam mengenai ekses pencemaran lingkungan? Menurut para ulama NU, ada dua solusi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama,apabila ada kerusakan, wajib diganti oleh pencemar.

Kedua,memberikan hukuman yang menjerakan terhadap pencemar yang pelaksanaannya sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Ajaran Islam,menurut para ulama NU, melarang umatnya membuat kerusakan di muka bumi. Hal itu sesuai firman Allah SWT dalam surah Al- A’raf ayat 56: “Janganlah Kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik”. Rasulullah SAW juga mengingatkan umatnya agar tak melakukan pencemaran dan kerusakan di muka bumi: “Terlaknat orang yang melakukan kerusakan terhadap sesama muslim ataupun lainnya”.

Sikap Rasulullah yang melaknat pelaku kerusakan lingkungan merupakan bukti bahwa Islam cinta kelestarian alam. Para ulama NU pun menjelaskan adab bagi umat muslim agar tak mengganggu tetangganya karena pencemaran. “Apabila pemilik rumah membangun dapur api di rumahnya dan asapnya mengganggu tetangganya, hal itu tidak boleh,” tutur fatwa itu mengutip Kitab Al Ahkam al Sulthaniyah.

Larangan Privatisasi Energi Primer

Islam agama yang menekankan kebersamaan, baik dalam menjaga maupun memanfaatkan sumber daya alam.Kekayaan sumber daya alam adalah anugerah Tuhan yang harus dikelola dengan cara yang baik, memberi kemaslahatan untuk sebesarbesar umat manusia,bukan untuk individu dan perorangan. Islam melarang kerakusan dan mengecam penumpukan kekayaan berlebihan. Alquran (QS Al-Taubah/9: 34-35) mengecam mereka yang menimbun emas dan perak secara rakus untuk keperluan pribadi.

Kelak emas dan perak itu akan dipanaskan di neraka jahanam untuk menyetrika dahi, lambung, dan punggung mereka. Islam mendorong pemerataan dalam pemanfaatan sumber daya alam agar tidak dikuasai oleh orang per orang. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah,Nabi menyatakan: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (almuslimun syuraka’ fi tshalatsatin, fil ma’i wal kala’i dan wan nar – HR Abu Dawud,Ahmad, Ibnu Majah). Kenapa Nabi melarang penguasaan tiga hal ini secara perorangan?

Karena tiga hal ini adalah barang publik yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Perlu diingat, konstitusi kita juga menganut prinsip kebersamaan dan kegotong-royongan ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945. Sekuat apa pun dalil konstitusi, sungguh disayangkan, kini kenyataannya,sektorsektor strategis seperti migas, batu bara, mineral, air, kehutanan, dan perkebunan kini telah diswastanisasi, dikuasai oleh asing dan swasta. Kita tidak boleh beranggapan swastanisasi dan privatisasi adalah sebuah kewajaran dari perjalanan kemajuan zaman.

Kita harus sadar, semakin tua bumi semakin letih.Bumi yang semakin panas karena lapisan ozon yang menipis adalah akibat “kemajuan” yang serakah dan hasrat “memiliki” yang tak kunjung padam. Patut disesali, tak sepenuhnya kita sadar akan sifat rakus yang sering kita rawat dan manja itu. Manusia yang semula berderap maju menundukkan alam, pada masanya nanti seolah tak berdaya, terpana di depan alam yang hampir hancur. Berpijak pada kesadaran itu,perlu kita wujudkan hidup berdampingan dengan bumi dalam sebuah harmoni. Bumi memiliki irama dan jalinan ikatan yang akrab dengan manusia.

Untuk mewujudkan keseimbangan alam, tidak ada salahnya kita kembali kepada prinsip-prinsip kebersamaan, yang lebih dekat dengan ajaran Islam dan konstitusi nasional. Sebagai khalifah di bumi, manusia mempunyai tugas mulia untuk bergandengan _tangan secara harmonis dengan alam. Siapkah kita?

Sumber: Teologi Lingkungan KoranSindo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button