Mudik Spiritual Menuju Fitrah Kemanusiaan

NU CILACAP ONLINE – Mudik Spiritual Menuju Fitrah Kemanusiaan. Perayaan tahunan Idul Fitri telah menghadirkan budaya dan tradisi mudik, arus balik dan arus mudik dengan segala fenomena yang melingkupinya.

Menurut Saya, Peringatan Idul  Fitri disamping menghadirkan Fenomena Mudik Kultural, juga sekaligus menghadirkan apa yang Saya sebut Mudik Spiritual. Mudik Spiritual hanya istilah lain dari Idul Fitri.  Maaf kata untuk yang tidak sepaham dengan istilah mudik spiritual. Secara harfiah Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah, yaitu kembalinya manusia menuju kepada fitrah kemanusiaan yang secara asali tak berdosa, bersih dari dosa-dosa.

Idul Fitri, Mudik Spiritual dalam konteks ini bisa dikatakan sebagai puncak-puncak spiritual pencapaian manusia dalam menapaki tangga-tangga menuju muttaqien, menjadi manusia merdeka, manusia yang menang, meraih kemenangan setelah bertempur dan berjihad  melawan hawa nafsu yang dijalaninya melalui Ibadah Puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Dengan demikian, Idul Fitri, mudik spiritual dalam makna yang demikian itu tidak berlaku bagi orang yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan.

Ini memang eksklusif dalam tradisi dan ajaran agama Islam yang mengaitkan secara tidak terpisah hubungan timbal balik antara Puasa Ramadhan dengan Idul Fitri.  Puncak puasa Ramadhan adalah Idul Fitri, tercapainya kembali kondisi fitrah kemanusiaan. Sekembalinya manusia pada posisi dan kondisi fitrah meniscayakan hilangnya pola-pola dan cara-cara destruktif seperti kekerasan.

Kondisi fitrah-bersih diri mengajari kita akan etika berperikehidupan yang manusiawi, untuk membedakannya dengan perikehidupan hewani, yang destruktif, dekaden dan amoral. Kondisi Fitrah juga mengajari kembali kepada kita akan pandangan dunia word view tauhid yang memiliki implikasi kesatuan keterciptaan, kemanusiaan, keumatan, tindakan dan tujuan kehidupan. Pola-pola pemecahbelahan keumatan, di hadapan pandangan dunia tauhid, terbukti hanya akan menjauhkan umat dari kesadaran akan pentingnya transformasi nilai-nilai sosial Islam.

Baca juga Refleksi Birrul Walidain dalam Tradisi Mudik Lebaran

Dalam puasa pula, ditekankan sejauh mana seseorang mampu menapaki tangga-tangga pembersihan diri menuju fitrah sebagaimana dijanjikan oleh bulan Ramadhan, yaitu tangga-tangga dan fase ramadhan rahmah, maghfirah dan itqun min Al-Nar. Dengan demikian, berpuasa sebulan penuh pun sebenarnya belum merupakan jaminan bahwa seseorang berhasil memasuki kembali (arti harfiah dari Id) garis finish lambang kemenangan dan keberhasilan menjaga kondisi fitrahnya sehingga seseorang berhak menyandang sebagai muttaqien –orang yang bertakwa sebagai tujuan puasa Ramadhan.

Fitrah yang merupakan kodrat manusia semenjak lahir menggambarkan keadaan suci-asali manusia yang secara ruhani berkecukupan (contentment) dan selalu ada dalam kesadaran berketuhanan (Gods Consciousnes). Kondisi Fitrah adalah keadaan manusia di mana dirinya sepenuh hati berada dalam kesadaran bahwa Tuhan selalu hadir dalam dirinya, dan bahwa kemana pun engkau menghadapkan wajah, di situ ada wajah Tuhan (Rahman, 1994).

Dengan demikian, hanya jika manusia berada dalam kesadaran berke-Tuhan-anlah keadaan fitrahnya dapat ia raih, pahami dan rasakan. Hal itu bisa kita pahami dan rasakan terutama ketika berada dalam kesendirian, atau ketika berada di segenap segmen kehidupan dan di “jalan-jalan” yang menuju ke arah pembumian etika dan tindakan Kebaikan. Baca juga Have Child Sebuah Fitrah, Anugerah dan Amanah

Ketika pikiran kita mulai tenang, ketika bisa mengatasi diri dari kesibukkan adi-duniawi dan hingar bingar nuansa materialisme, akan terdengar suara nurani yang mengajak kita untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Hadir (The Omnipresent), yaitu Tuhan. Kesadaran yang demikian itu akan mengantarkan kita pada usaha untuk menyadari ebih lanjut betapa lemahnya kita sebagai manusia di hadapan-Nya, dan betapa ekuasaan dan keperkasaan-Nya yang melintasi ruang dan waktu.

Suara yang terdengar tu adalah suara fitrah kemanusiaan; suara kesucian-kemanusiaan. Suara itulah yang dikumandangkan pada setiap saat diri kita menghadap keharibaan-Nya, dan suara-suara Allahu Akbar, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, Walillahi Alhamd, Takbir yang dikumandangankan saat perayaan Idul Fitri. Tak cukup hanya Mudik Kultural, kita juga perlu Mudik Spiritual (Kang Nawar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button