Trending

Shalat Tarawih 20 (Dua Puluh) Rakaat, Dalam Hujjah Aswaja

NU CILACAP ONLINE – Shalat Tarawih di bulan Ramadhan, ada yang mengerjakan 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Lantas mengapa lebih memilih Shalat Tarawih 20 Rakaat?

Shalat Tarawih

Shalat Tarawih merupakan Ibadah yang unik bagi umat Islam di Indonesia; selalu saja setiap tahun menjelang bulan Ramadhan dan dalam bulan Ramadhan, menjadi bahan pembicaraan dan kajian bagi kalangan intelektual.

Ada juga di kalangan masyarakat, pemahaman tentang Shalat Tarawih justeru menjadi sumber konflik, antara jama’ah yang satu dengan jamaah lain; antara masjid yang satu dengan masjid lainnya; juga antar keluarga, antara menantu dan mertua bisa terjadi retak dan bercerai-berai, gara-gara tidak sepaham dengan amaliyah Shalat Tarawih yang dianutnya.

Biasanya, yang menjadi perselisihan adalah Shalat Tarawih di bulan Ramadhan, ada yang 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Ini adalah masalah Furu’iyyah yang kental dengan khilafiyyah ini. Sudah lama menjadi kajian para fuqaha terdahulu, dan sudah disiapkan jawabannya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan “khilafiyyah” tersebut.

Bagi mereka yang dapat memanfaatkan dan menghargai usaha dan pemikiran para fuqaha tersebut, maka dapat merasakan rahmat dan nikmatnya ikhtilaf. Tapi bagi mereka yang tidak mau menggunakannya, bisa jadi sumber malapetaka baginya dan umat yang dipimpinnya.

Sebenarnya permasalahan apa yang mereka ributkan itu? Alasannya mengapa mengapa memilih Shalat Tarawih 20 Rakaat?. Nabi Muhammad SAW bersabda;

عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه البخاري

“Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah,  maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”, (HR. Al-bukhari).

QiyamulLail atau Tarawih?

Permasalahnnya adalah berangkat dari pemahaan terhadap hadits Nabi yang tersebut di atas. Ada perbedaan pemahaman; apa yang dimaksud dengan Hadits dengan bunyi:  من قام  itu Qiyamul al-Lail atau Tarawih? Sementara pemahaman bahwa kegiatan Shalat Sunah di malam-malam Ramadhan dikatakan Tarawih atau Qiyamu Ramadhan juga adalah didasarkan pada Hadits Nabi SAW di atas

Kata “Tarawih” adalah jama’ dari “Tarwih” yaitu satu kali dari “Rahah” (istirahat), seperti kata “Taslimah” dari “salam”. Shalat Tarawih berjamah pada malam-malam Ramadhan  dinamakan Tarawih karena kaum muslimin pertama kali berkumpul untuk shalat itu mereka beristirahat pada setiap dua kali salam.

Arti (من قام رمضان) adalah “Berdiri untuk Shalat pada Malam-Malam Ramadhan”. Yang dimaksud dengan Qiyamu al-Lail adalah “Asal Berdiri yang Terjadi pada Malam itu”, tidak disyaratkan harus mencakup seluruh malam.

Imam Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: Yang dimaksud Qiyam Ramadhan  adalah Shalat Tarawih. Yakni bahwa dengan melakukan shalat itu, maka terpenuhilah bahwa apa yang dimaksud dari Qiyam itu, begitu juga Al-Kirmani, “mereka sepakat bahwa yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih”.

Orang yang pertama kali mengumpulkan orang-orang muslim untuk melakukan shalat tarawih secara berjamaah dengan hitungan 20 rakaat adalah Khalifah Umar bin Khattab ra. dan disetujui oleh para sahabat Nabi pada waktu itu. Kegiatan tersebut berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Usman dan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Kegiatan shalat tarawih secara berjamaah seperti ini terkait sabda Rasulullah SAW:

 عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ 

“Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafaur Rasyidin”.

Jumlah Rakaat

Bagaimana penjelasan tentang jumlah rakaat Shalat Tarawih menurut para Imam Madzhab yang empat?

Pertama, Madzhab Hanafi; Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil). Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.

Kedua, Madzhab Maliki; dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan  umat.

Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing.

Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”. Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid adalah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.

Ketiga, Madzhab as-Syafi’i; Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat. Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.

Baca Juga Risalah Aswaja KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Bagian-1)

Keempat, Madzhab Hanbali; Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni  suatu masalah, ia berkata, “shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (maksudnya; Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.

Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.

Hujjah Aswaja tentang Shalat Tarawih

Almarhum KH Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta dalam Kitabnya yang berjudul “Hujjatu Ahlissunnah Wal Jamaah” halaman 24 dan 40 menerangkan tentang “Shalat Tarawih” yang artinya kurang lebih sebagai berikut:

  1. Shalat tarawih, meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan, sepatutnya tidak boleh ada saling mengingkari terhadap kepentingannya. Shalat tarawih menurut kami, orang-orang yang bermadzhab Syafii, bahkan dalam madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah 20 rakaat. Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah muakkad bagi setiap laki-laki dan wanita, menurut madzhab Hanafi, Syafii, Hambali, dan Maliki.
  2. Menurut madzhab Syafii dan Hambali, shalat tarawih disunnahkan untuk dilakukan secaran berjamaah. Madzhab Maliki berpendapat bahwa berjamaah dalam shalat tarawih hukumnya mandub (derajatnya di bawah sunnah), sedang madzhab Hanafi berpendapat bahwa berjamaah dalam shalat tarawih hukumnya sunnah kifayah bagi penduduk kampung. Dengan demikian apabila ada sebagian dari penduduk kampung tersebut telah melaksanakan dengan berjamaah, maka lainnya gugur dari tuntutan.
  3. Para imam madzhab telah menetapkan kesunnahan shalat tarawih berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits sebagai berikut:

 كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيَ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثٌ مُتَفَرِّقَةٌ لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ وَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا ، وَكَانَ يُصَلِّى بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ أَيْ بِأَرْبَعِ تَسْلِيْمَاتٍ كَمَا سَيَأْتِى وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيَهَا فِى بُيُوْتِهِمْ أَيْ حَتَّى تَتِمَّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لِمَا يَأْتِى ، فَكَانَ يُسْمَعُ لَهُمْ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ النَّحْلِ 

“Nabi SAW. keluar pada waktu tengah malam pada bulan Ramadlan, yaitu pada tiga malam yang terpisah: malam tanggal 23, 25, dan 27. Beliau shalat di masjid dan orang-orang shalat seperti shalat beliau di masjid. Beliau shalat dengan mereka delapan rakaat, artinya dengan empat kali salam sebagaimana keterangan mendatang, dan mereka menyempurnakan shalat tersebut di rumah-rumah mereka, artinya sehingga shalat tersebut sempurna 20 rakaat menurut keterangan mendatang. Dari mereka itu terdengar suara seperti suara lebah”.

Kesimpulan; dari apa yang kami sebutkan itu kita tahu bahwa para ulama’ dalam empat madzhab sepakat bahwa bilangan Shalat Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah.

Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat. Para ulama ini beralasan bahwa shahabat melakukan shalat pada masa khalifah Umar bin al-Khattab ra di bulan Ramadhan 20 rakaat atas perintah beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dan lain-lainnya, dan disetujui oleh para shahabat serta terdengar di antara  mereka ada yang menolak.

Karenanya hal itu menjadi ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti sebagaimana ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh.

Baca Artikel Terkait

Shalat Tarawih Sendiri atau Berjamaah ?

Lebih Utama Mana Shalat Tarawih Berjamaah Atau Sendiri? Para ulama juga berbeda pendapat apakah seharusnya shalat tarawih dilaksanakan dengan berjamaah atau sendiri-sendiri di malam Ramadhan maka para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:

Imam al-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama Syafi’iyyah dan sebagian pengikut Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa: Shalat tarawih lebih utama dilakukan secara berjamaah, alasannya:

  1. Mengikuti perintah Umar bin Khatab ra sebagaimana    hadis-hadis yang sudah diriwayatkan terdahulu.
  2. Melaksanakan amalan para sahabat Nabi r.a
  3. Melestarikan amalan kaum muslimin Timur dan Barat.
  4. Karena termasuk perbuatan mensyi’arkan Islam, sebagaimana halnya shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Malahan berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Imam at Thahawi berpendapat berjamaah dalam shalat tarawih hukumnya Wajib Kifayah Namun Imam Malik Abu Yusuf dan sebagian kecil pengikut Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat berjamaah Tarawih hukumnya “lebih utama dilaksanakan sendiri tanpa berjamaah” Alasannya: Sabda Nabi Muhammad Saw.

عن يسر بن سعيد ان زيد بن ثابت قال: افضل الصلاة صلاتكم في بيوتكم الاصلاة المكتوبة. رواه الترمذى       

“Artinya: hadits riwayat dari Yusrin bin Said bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata: “Paling utama-utamanya shalat adalah shalat kalian dikerjakan dirumah kecuali shalat fardlu”.

Pengikut Imam Malik, bertanya kepadanya: Bagaimana Imam Malik melakukan Qiyamul lail di Bulan Ramadhan lebih disukai yang mana berjamaah dengan orang banyak atau dilaksanakan sendiri di rumah?

Imam Malik menjawab: kalau dilaksanakan sendiri di rumah itu kuat dan lama. Saya lebih suka. Tetapi kebanyakan kaum muslimin tidak kuat dan malas melaksanakan shalat sendiri di rumah

Imam Turmudzi dan Imam Rabiah melaksanakannya sendiri di rumah begitu juga ulama-ulama lain. Sementara Imam Malik lebih suka dan lebih senang melakukan shalat sunnat sendiri di rumah.

Penjelasan Sahabat Umar Tentang Bid’ah yang Baik Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa shalat malam pada bulan Ramadhan itu diperintahkan berdasarkan sabda Nabi SAW:

 عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه رواه البخاري

“Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-Bukhari)

Shalat Nabi Muhammad SAW di Bulan Ramadhan

Nabi Muhammad SAW melakukan shalat itu di rumahnya, hanya saja beliau shalat itu di masjid berjamaah pada beberapa malam saja. Dalam hadit yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim,

عن عائشة رضى الله عنها, إن النبي صلي الله عليه وسلم صلى في المسجد فصلى بصلاته ناس, ثم صلى الثاينة فكثر الناس, ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله صلعم, فلما أصبح قال: رأيت الذي صنعتم فلم يمنعنى من الخروج إليكم إلا أنى خشيت أن تفترض عليكم وذلك في رمضان. رواه البخار

bahwa Nabi SAW pernah shalat di masjid lalu diikuti oleh orang-orang banyak, kemudian shalat pada malam kedua lalu makin banyak para sahabat yang ikut shalat, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat. Tetapi Nabi SAW tidak keluar kepada mereka. Setelah pagi hari beliau bersabda, “Saya tahu apa yang kalian perbuat, tapi yang mencegah aku keluar kepada kalian hanyalah karena aku khawatir akan menjadi kewajiban bagi kalian”. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan.

Dari uraian terdahulu kita tahu bahwa sunnah nabi dalam melaksanakan shalat Ramadhan ada dua macam:

  1. Shalat di rumah sendirian, ini yang beliau biasakan
  2. Shalat di masjid berjamaah beberapa malam, hanya saja beliau meninggalkan yang akhir ini karena khawatir menjadi wajib bagi umatnya. Adapun bilangan rakaat shalat Nabi Muhammad Saw itu 11 rakaat dengan berdiri lama bacaan surahnya panjang atau 13 rakaat dengan dua rakaat ringan.

Sebagian ahli fiqh mengatakan, “Kemungkinan Nabi Muhammad Saw dan para shahabatnya menyempurnakan 20 rakaat di rumah masing-masing”. Namun kemungkinan semacam ini jauh karena tidak disandarkan kepada dalil.

Anjuran Umar ra. Khalifah Umar bin Khottob r.a  masuk ke masjid, lalu melihat para shahabat berpencar-pencar berkelompok. Ada yang shalat sendirian dan ada yang shalat menjadi imam dari kelompoknya. Lalu Sayyidina Umar r.a berkata, “Menurut saya, seandainya mereka berkumpul dari satu pandangan tentu lebih baik”. Lalu ia berhasrat untuk mengumpulkan mereka di bawah Imam Ubay bin Ka’ab. Setelah dia melihat mereka pada malam lain melaksanakan shalat malam dalam berjama’ah, Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah bid’ah seperti ini”. Maka di mana mereka tidur lebih baik daripada malam di mana mereka shalat, yakni akhir malam sedangkan orang-orang lain shalat di awalnya.” (Riwayat al-Bukhari).

Maksudnya dinamakan bid’ah itu karena  bentuk shalat, waktunya dan ketetapannya – bahkan bilangannya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan tidak diperintahkannya secara langsung, walaupun beliau pernah shalat malam berjama’ah beberapa malam. Maka anjuran Umar ra adalah perintah kepada publik umat untuk shalat malam Ramadhan di masjid secara berjama’ah pada awal malam.

Ibnu al-Tin dan lainnya berkata, “Umar menetapkan hukum itu dari pengakuan Nabi Saw terhadap orang yang shalat bersama beliau pada malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi mereka, karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi mereka.

Tetapi setelah Nabi Saw wafat maka dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal itu menjadi pegangan bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan umat, dan karena persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang menjalankan shalat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button